-
.

30 Sep 2012

3 Prinsip Akidah seorang Muslim

tauhid_prinsip akidah muslimPara ulama sering menjelaskan tiga prinsip yang harus jadi pegangan setiap muslim. Jika prinsip ini dipegang, barulah ia disebut muslim sejati. Para ulama mengatakan, Islam adalah:
الاستسلام لله بالتوحيد والانقياد له بالطاعة والبراءة من الشرك وأهله
Berserah diri pada Allah dengan mentauhidkan-Nya, patuh kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.
Prinsip pertama: Berserah diri pada Allah dengan bertauhid
Maksud prinsip ini adalah beribadah murni kepada Allah semata, tidak pada yang lainnya. Siapa yang tidak berserah diri kepada Allah, maka ia termasuk orang-orang yang sombong. Begitu pula orang yang berserah diri pada Allah juga pada selain-Nya (artinya: Allah itu diduakan dalam ibadah), maka ia disebut musyrik. Yang berserah diri pada Allah semata, itulah yang disebut muwahhid (ahli tauhid).
Tauhid adalah mengesakan Allah dalam ibadah. Sesembahan itu beraneka ragam, orang yang bertauhid hanya menjadikan Allah sebagai satu-satunya sesembahan. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا إِلَهًا وَاحِدًا لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُونَ
Padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah: 5).
Dalam ayat lain, Allah menyebutkan mengenai Islam sebagai agama yang lurus,
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40). Inilah yang disebut Islam. Sedangkan yang berbuat syirik dan inginnya melestarikan syirik atas nama tradisi, tentu saja tidak berprinsip seperti ajaran Islam yang dituntunkan.
Prinsip kedua: Taat kepada Allah dengan melakukan ketaatan
Orang yang bertauhid berarti berprinsip pula menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ketaatan berarti menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Jadi tidak cukup menjadi seorang muwahhid (meyakini Allah itu diesakan dalam ibadah) tanpa ada amal.
Prinsip ketiga: Berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik
Tidak cukup seseorang berprinsip dengan dua prinsip di atas. Tidak cukup ia hanya beribadah kepada Allah saja, ia juga harus berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik. Jadi prinsip seorang muslim adalah ia meyakini batilnya kesyirikan dan ia pun mengkafirkan orang-orang musyrik. Seorang muslim harus membenci dan memusuhi mereka karena Allah. Karena prinsip seorang muslim adalah mencintai apa dan siapa yang Allah cintai dan membenci apa dan siapa yang Allah benci.
Demikianlah dicontohkan oleh Ibrahim ‘alaihis salam di mana beliau dan orang-orang yang bersama beliau[1] berlepas diri dari orang-orang musyrik. Saksikan pada ayat,
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآَءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah.” (QS. Al Mumtahanah: 4). Ibrahim berlepas diri dari orang musyrik dan sesembahan mereka.
كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.” (QS. Al Mumtahanah: 4).
Dalam ayat lain disebutkan pula,
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آَبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka.” (QS. Al Mujadilah: 22).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آَبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At Taubah: 23).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Demikianlah tiga prinsip agar disebut muslim sejati, yaitu bertauhid, melakukan ketaatan dan berlepas diri dari syirik dan pelaku syirik.
Semoga Allah memudahkan kita menjadi hamba-hambaNya yang bertauhid.

(*) Dikembangkan dari tulisan Syaikhuna -guru kami- Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah- dalam kitab “Durus fii Syarh Nawaqidhil Islam”, terbitan Maktabah Ar Rusyd, tahun 1425 H, hal. 14-16.

www.rumaysho.com


[1] Ada yang mengatakan yang bersama beliau yang sama-sama berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya adalah para nabi. Sebagian lainnya maknakan orang beriman. Demikian dua pendapat yang disebutkan oleh Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir.
READ MORE - 3 Prinsip Akidah seorang Muslim

26 Sep 2012

9 Waktu Dianjurkan Membaca Surat Al Ikhlas

surat al ikhlasAlhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ’ala Rosulillah wa ’ala alihi wa shohbihi ajma’in. Beberapa kesempatan yang lalu Rumaysho.com memuat artikel mengenai tafsir dan fadhilah surat Al Ikhlas. Pada kesempatan kali ini, kami akan membahas waktu yang dianjurkan membaca surat Al Ikhlas. Semoga kita bisa mendapatkan keberkahan dengan mengamalkannya.
Pertama: waktu pagi dan sore hari.
Pada waktu ini, kita dianjurkan membaca surat Al Ikhlash bersama dengan maw’idzatain (surat Al Falaq dan surat An Naas) masing-masing sebanyak tiga kali. Keutamaan yang diperoleh adalah: akan dijaga dari segala sesuatu (segala keburukan).
Dari Mu'adz bin Abdullah bin Khubaib dari bapaknya ia berkata,
خَرَجْنَا فِى لَيْلَةِ مَطَرٍ وَظُلْمَةٍ شَدِيدَةٍ نَطْلُبُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لِيُصَلِّىَ لَنَا فَأَدْرَكْنَاهُ فَقَالَ « أَصَلَّيْتُمْ ». فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا فَقَالَ « قُلْ ». فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ « قُلْ ». فَلَمْ أَقُلْ شَيْئًا ثُمَّ قَالَ « قُلْ ». فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَقُولُ قَالَ « (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِى وَحِينَ تُصْبِحُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَىْءٍ »
Pada malam hujan lagi gelap gulita kami keluar mencari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk shalat bersama kami, lalu kami menemukannya. Beliau bersabda, "Apakah kalian telah shalat?" Namun sedikitpun aku tidak berkata-kata. Beliau bersabda, "Katakanlah". Namun sedikit pun aku tidak berkata-kata. Beliau bersabda, "Katakanlah". Namun sedikit pun aku tidak berkata-kata. Kemudian beliau bersabda, "Katakanlah". Hingga aku berkata, "Wahai Rasulullah, apa yang harus aku katakan?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Katakanlah (bacalah surat) QUL HUWALLAHU AHAD DAN QUL A'UDZU BIRABBINNAAS DAN QUL A'UDZU BIRABBIL FALAQ ketika sore dan pagi sebanyak tiga kali, maka dengan ayat-ayat ini akn mencukupkanmu (menjagamu) dari segala keburukan." (HR. Abu Daud no. 5082 dan An Nasai no. 5428. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Kedua: sebelum tidur.
Pada waktu ini, kita dianjurkan membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq, An Naas dengan terlebih dahulu mengumpulkan kedua telapak tangan, lalu keduanya ditiup, lalu dibacakanlah tiga surat ini. Setelah itu, kedua telapak tangan tadi diusapkan pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Cara seperti tadi diulang sebanyak tiga kali.
Dari ‘Aisyah, beliau radhiyallahu ‘anha berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا ( قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ ) وَ ( قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ) ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika berada di tempat tidur di setiap malam, beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya lalu kedua telapak tangan tersebut ditiup dan dibacakan ’Qul huwallahu ahad’ (surat Al Ikhlash), ’Qul a’udzu birobbil falaq’ (surat Al Falaq) dan ’Qul a’udzu birobbin naas’ (surat An Naas). Kemudian beliau mengusapkan kedua telapak tangan tadi pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Beliau melakukan yang demikian sebanyak tiga kali.” (HR. Bukhari no. 5017)
Ketiga: ketika ingin meruqyah (membaca do’a dan wirid untuk penyembuhan ketika sakit).
Bukhari membawakan bab dalam shohihnya ‘Meniupkan bacaan ketika ruqyah’. Lalu dibawakanlah hadits serupa di atas dan dengan cara seperti dijelaskan dalam point kedua.
عَنْ عَائِشَةَ - رضى الله عنها - قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ نَفَثَ فِى كَفَّيْهِ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَبِالْمُعَوِّذَتَيْنِ جَمِيعًا ، ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ ، وَمَا بَلَغَتْ يَدَاهُ مِنْ جَسَدِهِ . قَالَتْ عَائِشَةُ فَلَمَّا اشْتَكَى كَانَ يَأْمُرُنِى أَنْ أَفْعَلَ ذَلِكَ بِهِ
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata, "Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam hendak tidur, beliau akan meniupkan ke telapak tangannya sambil membaca QUL HUWALLAHU AHAD (surat Al Ikhlas) dan Mu'awidzatain (Surat An Naas dan Al Falaq), kemudian beliau mengusapkan ke wajahnya dan seluruh tubuhnya. Aisyah berkata, “Ketika beliau sakit, beliau menyuruhku melakukan hal itu (sama seperti ketika beliau hendak tidur, -pen)."  (HR. Bukhari no. 5748)
Jadi tatkala meruqyah, kita dianjurkan membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq, An Naas dengan cara: Terlebih dahulu mengumpulkan kedua telapak tangan lalu keduanya ditiup lalu dibacakanlah tiga surat tersebut. Setelah itu, kedua telapak tangan tadi diusapkan pada anggota tubuh yang mampu dijangkau dimulai dari kepala, wajah, dan tubuh bagian depan. Cara seperti ini diulang sebanyak tiga kali.
Keempat: wirid seusai shalat (sesudah salam).
Sesuai shalat dianjurkan membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An Naas masing-masing sekali. Dari ‘Uqbah bin ‘Amir, ia berkata,
أَمَرَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَقْرَأَ الْمُعَوِّذَاتِ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan padaku untuk membaca mu’awwidzaat  di akhir shalat (sesudah salam).” (HR. An Nasai no. 1336 dan Abu Daud no. 1523. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Yang dimaksud mu’awwidzaat adalah surat Al Ikhlas, Al Falaq dan An Naas sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani. (Fathul Bari, 9/62)
Kelima: dibaca ketika mengerjakan shalat sunnah fajar (qobliyah shubuh).
Ketika itu, surat Al Ikhlash dibaca bersama surat Al Kafirun. Surat Al Kafirun dibaca pada raka’at pertama setelah membaca Al Fatihah, sedangkan surat Al Ikhlash dibaca pada raka’at kedua.
Dari’ Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتِ السُّوْرَتَانِ يَقْرَأُ بِهِمَا فِي رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ الفَجْرِ : { قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ } وَ { قُلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُوْنَ
Sebaik-baik surat yang dibaca ketika dua raka’at qobliyah shubuh adalah Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) dan Qul yaa ayyuhal kaafirun (surat Al Kafirun).” (HR. Ibnu Khuzaimah 4/273. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Silsilah Ash Shohihah bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 646). Hal ini juga dikuatkan dengan hadits Ibnu Mas’ud yang akan disebutkan pada point berikut.
Keenam: dibaca ketika mengerjakan shalat sunnah ba’diyah maghrib.
Ketika itu, surat Al Ikhlash dibaca bersama surat Al Kafirun. Surat Al Kafirun dibaca pada raka’at pertama setelah membaca Al Fatihah, sedangkan surat Al Ikhlash dibaca pada raka’at kedua.
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
مَا أُحْصِى مَا سَمِعْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقْرَأُ فِى الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَفِى الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ بِ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) وَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
Aku tidak dapat menghitung karena sangat sering aku mendengar bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat pada shalat dua raka’at ba’diyah maghrib dan pada shalat dua raka’at qobliyah shubuh yaitu Qul yaa ayyuhal kafirun (surat Al Kafirun) dan qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash).” (HR. Tirmidzi no. 431. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Ketujuh: dibaca ketika mengerjakan shalat witir tiga raka’at.
Ketika itu, surat Al A’laa dibaca pada raka’at pertama, surat Al Kafirun pada raka’at kedua dan surat Al Ikhlash pada raka’at ketiga.
Dari ‘Abdul Aziz bin Juraij, beliau berkata,  “Aku menanyakan pada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, surat apa yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (setelah membaca Al Fatihah) ketika shalat witir?”
‘Aisyah menjawab,
كَانَ يُوتِرُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ يَقْرَأُ فِى الأُولَى بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَفِى الثَّانِيَةِ بِ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) وَفِى الثَّالِثَةِ بِ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ) وَالْمُعَوِّذَتَيْنِ.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada raka’at pertama: Sabbihisma robbikal a’la (surat Al A’laa), pada raka’at kedua: Qul yaa ayyuhal kafiruun (surat Al Kafirun), dan pada raka’at ketiga: Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash) dan mu’awwidzatain (surat Al Falaq dan An Naas).” (HR. An Nasai no. 1699, Tirmidzi no. 463, Ahmad 6/227)
Dalam riwayat yang lain disebutkan tanpa surat al mu’awwidzatain.
عَنْ أُبَىِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) وَ (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ) وَ (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)
Dari Ubay bin Ka’ab, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya melaksanakan shalat witir dengan membaca Sabbihisma robbikal a’la (surat Al A’laa), Qul yaa ayyuhal kafiruun (surat Al Kafirun), dan Qul huwallahu ahad (surat Al Ikhlash)” (HR. Abu Daud no. 1423 dan An Nasai no. 1730)
Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan,
وَحَدِيثُ عَائِشَةَ فِي هَذَا لَا يَثْبُتُ ؛ فَإِنَّهُ يَرْوِيهِ يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ ، وَهُوَ ضَعِيفٌ .وَقَدْ أَنْكَرَ أَحْمَدُ وَيَحْيَى بْنُ مَعِينٍ زِيَادَةَ الْمُعَوِّذَتَيْنِ .
“Hadits ‘Aisyah tidaklah shahih. Di dalamnya ada seorang perowi bernama Yahya bin Ayyub, dan ia dho’if. Imam Ahmad dan Yahya bin Ma’in telah mengingkari penambahan “mu’awwidzatain”.” (Al Mughni, 1/831)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan,
تعليق شعيب الأرنؤوط : صحيح لغيره دون قوله : والمعوذتين وهذا إسناد ضعيف عبد العزيز بن جريج لا يتابع في حديثه
“Hadits ini shahih kecuali pada perkataan “al mu’awwidzatain”, ini sanadnya dho’if karena ‘Abdul ‘Aziz bin Juraij tidak diikuti dalam haditsnya.” (Tahqiq Musnad Al Imam Ahmad bin Hambal, 6/227)
Jadi yang tepat dalam masalah ini, bacaan untuk shalat witir adalah raka’at pertama dengan surat Al A’laa, raka’at kedua dengan surat Al Kafirun dan raka’at ketiga dengan surat Al Ikhlas (tanpa mu’awwidzatain).
Namun bacaann ketika witir ini sebaiknya tidak rutin dibaca, sebaiknya diselingi dengan berganti membaca surat lainnya. Syaikh ‘Abdullah Al Jibrin rahimahullah mengatakan,
والظاهر أنه يكثر من قراءتها، ولا يداوم عليها فينبغي قراءة غيرها أحياناً حتى لا يعتقد العامة وجوب القراءة بها
“Yang nampak dari hadits yang ada, hendaklah bacaan tersebut seringkali saja dibaca, namun tidak terus-terusan. Sudah seharusnya seseorang membaca surat yang lain ketika itu agar orang awam tidak salah paham,ditakutkan mereka malah menganggapnya sebagai perkara yang wajib.” (Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin, 24/43)
Kedelapan: dibaca ketika mengerjakan shalat Maghrib (shalat wajib) pada malam jum’at.
Surat Al Kafirun dibaca pada raka’at pertama setelah membaca Al Fatihah, sedangkan surat Al Ikhlash dibaca pada raka’at kedua.
Dari Jabir bin Samroh, beliau mengatakan,
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِي صَلاَةِ المَغْرِبِ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ : ( قَلْ يَا أَيُّهَا الكَافِرُوْنَ ) وَ ( قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa ketika shalat maghrib pada malam Jum’at membaca Qul yaa ayyuhal kafirun’ dan ‘Qul ‘ huwallahu ahad’. ” (Syaikh Al Albani dalam Takhrij Misykatul Mashobih (812) mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Kesembilan: ketika shalat dua rak’at di belakang maqom Ibrahim setelah thowaf.
Dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu yang amat panjang disebutkan,
فجعل المقام بينه وبين البيت [ فصلى ركعتين : هق حم ] فكان يقرأ في الركعتين : ( قل هو الله أحد ) و ( قل يا أيها الكافرون ) ( وفي رواية : ( قل يا أيها الكافرون ) و ( قل هو الله أحد )
Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan maqom Ibrahim antara dirinya dan Ka’bah, lalu beliau laksanakan shalat dua raka’at. Dalam dua raka’at tersebut, beliau membaca Qulhuwallahu ahad (surat Al Ikhlas) dan Qul yaa-ayyuhal kaafirun (surat Al Kafirun). Dalam riwayat yang lain dikatakan, beliau membaca Qul yaa-ayyuhal kaafirun (surat Al Kafirun) dan Qulhuwallahu ahad (surat Al Ikhlas).” (Disebutkan oleh Syaikh Al Albani dalam Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 56)
Semoga sajian ini bermanfaat dan bisa diamalkan. Alhmadulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ’ala nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.


Artikel www.rumaysho.com
Muhammad Abduh Tuasikal
READ MORE - 9 Waktu Dianjurkan Membaca Surat Al Ikhlas

25 Sep 2012

Hanya Islam yang Diterima

islam_agamakuIslam telah sempurna, demikian yang harus umat Islam yakini. Islam juga adalah agama yang diridhoi oleh Allah Ta’ala dan bukan agama lainnya, ini pun harus dipahami. Setiap agama mungkin mengklaim, merekalah yang paling benar. Namun karena berdasarkan wahyu dari Allah dengan adanya realita berbagai ragam agama, yang diterima di sisi Allah hanyalah satu yaitu Islam. Allah Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” (QS. Al Ma’idah: 3).
Ketika Ibnu ‘Abbas membaca ayat di atas, beliau berkata, “Orang Yahudi mengatakan:
لو نزلت هذه الآية علينا، لاتخذنا يومها عيدًا!
Seandainya ayat ini turun di tengah-tengah kami, niscaya kami akan merayakan hari turunnya ayat tersebut sebagai ‘ied (hari besar atau hari raya).” Ibnu ‘Abbas berkata bahwa ayat ini turun saat bertemunya dua hari raya yaitu hari raya ‘ied (haji akbar) dan hari Jum’at.[1]
Beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari ayat di atas:
Pertama: Ajaran Islam telah sempurna sehingga kita tidak butuh pada agama dan nabi yang lain.
Saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wukuf di Arafah ketika Haji Wada’, turunlah ayat di atas. Inilah ayat dari Al Qur’an yang diturunkan terakhir. Karena beberapa waktu setelah ayat tersebut turun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, yaitu setelah beliau kembali ke Madinah selepas pulang dari haji. Hal ini menunjukkan bahwa ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, sudah sempurnalah Islam. Demikian penjelasan guru kami, Syaikh Dr. Sholih Al Fauzan.[2]
Seorang ahli tafsir terkemuka –Ibnu Katsir rahimahullah- berkata tentang ayat ini, "Inilah  nikmat Allah ‘azza wa jalla yang terbesar bagi umat ini di mana Allah telah menyempurnakan agama mereka, sehingga  mereka pun tidak lagi membutuhkan agama lain selain agama ini, juga tidak membutuhkan nabi lain selain nabi mereka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah menjadikan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi, dan mengutusnya kepada kalangan jin dan manusia. Maka perkara yang halal adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam halalkan dan perkara yang haram adalah yang beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam haramkan."[3]
Kedua: Tidak perlu ada penambahan dan pengurangan dalam ibadah alias kita dilarang berbuat bid’ah (amalan yang tidak ada tuntunan).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
أنه قد أكمل لهم الإيمان، فلا يحتاجون إلى زيادة أبدًا، وقد أتمه الله عز ذكره فلا ينقصه أبدًا، وقد رضيه الله فلا يَسْخَطه أبدًا.
“Allah telah menyempurnakan islam, sehingga mereka (umat Islam) tidak perlu lagi menambah ajaran Rasul –selamanya- dan Allah pun telah membuat ajaran Islam itu sempurna sehingga jangan sampai dikurangi –selamanya-. Jika Allah telah ridho, maka janganlah ada yang murka dengan ajaran Islam –selamanya-.[4]
Ketika Imam Malik rahimahullah membicarakan ayat di atas, beliau juga menyinggung bahaya bid’ah. Beliau berkata,
مَن ابْتَدَعَ في الإِسلام بدعة يَراها حَسَنة ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن مُحمّدا - صلى الله عليه وعلى آله وسلم- خانَ الرّسالةَ ؛ لأَن اللهَ يقولُ : { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ } فما لَم يَكُنْ يَوْمَئذ دينا فَلا يكُونُ اليَوْمَ دينا)
“Barangsiapa yang berbuat bid’ah dalam Islam dan ia menganggapnya hasanah (baik), ia berarti telah mengklaim bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah telah berfirman (yang artinya), “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu …” Jika di saat Rasul hidup, sesuatu bukanlah termasuk ajaran Islam, maka saat ini juga bukanlah ajaran Islam.”[5]
Dari ‘Aisyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.”[6]
Ketiga: Ayat di atas adalah sanggahan untuk orang yang mendiskreditkan Islam dengan mengatakan bahwa Islam tidak cocok untuk setiap zaman dan setiap tempat.
Seperti orang yang mengatakan bahwa Islam itu benar-benar kuno dan tidak cocok lagi untuk zaman saat ini. Jika dikatakan dalam ayat bahwa Islam telah sempurna berarti Islam itu cocok untuk setiap zaman dan tempat. Jika sebagian orang dangkal dalam memahami Islam, maka yang keliru bukan Islamnya, namun karena kedangkalan pikirannya. Jadi Islam itu sempurna dan berlaku untuk setiap zaman bagi para hamba hingga datangnya hari kiamat.[7]
Keempat: Memeluk Islam adalah nikmat yang amat besar, yang patut disyukuri.
Jika dikatakan dalam ayat bahwa Allah telah mencukupkan nikmat-Nya, maka hal ini menunjukkan Islam adalah nikmat yang paling besar bagi seorang hamba. Namun siapa yang menerima nikmat ini, itulah mereka yang bisa mengambil manfaat. Sebaliknya, siapa yang menolaknya, merekalah yang berdosa dan akan mendapat dhoror (bahaya).[8]
Kelima: Allah hanya meridhoi Islam, bukan agama lainnya.
Disebutkan dalam ayat bahwa Allah telah meridhoi Islam sebagai agama. Padahal Islam yang dikatakan telah sempurna sebagaimana disebut di awal ayat. Jadi, Allah telah menyempurnakan Islam, telah meridhoinya dan telah meridhoi hamba-Nya. Sehingga yang diridhoi hanyalah Islam, bukan agama lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
Agama yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran: 19).
Setelah datangnya agama yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka agama lainnya seperti Nashrani dan Yahudi, seluruhnya adalah agama yang batil yang tidak diridhoi oleh Allah. Dalam ayat lain disebutkan,
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imran: 85).
Keenam: Bantahan untuk yang menyatakan semua agama sama.
Ayat yang kita bahas dan dua ayat terakhir yang disebutkan di atas menunjukkan kelirunya pemahaman yang menyatakan semua agama sama. Ada yang mengklaim bahwa Nashrani, Yahudi dan Islam semuanya agama yang benar dan dapat mengantarkan pada Allah karena sama-sama agama samawi yang turun dari langit. Ini jelas pemahaman keliru dan dusta. Karena tidak ada lagi agama yang benar setelah datangnya Islam. Yang benar hanyalah Islam. Setelah datang Islam yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, terhapuslah ajaran agama sebelumnya yaitu Yahudi dan Nashrani. Agama yang lain bisa jadi terhapus atau tergantikan, yang ada dan diridhoi hanyalah satu yakni Islam. Sehingga siapa yang ingin masuk surga, maka peluklah agama Islam. Siapa yang malah mencari agama selain Islam, maka tempatnya di neraka karena ia berarti telah menolak agama yang Allah ridhoi.
Agama Yahudi yaitu ajaran Musa ‘alaihis salam yang saat itu menjadi agama dan tidak menyimpang, maka diterima. Begitu pula agama Nashrani yang tidak menyimpang demikian. Namun setelah datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi kita Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, ajaran-ajaran sebelumnya terhapus, yang tersisa hanyalah Islam.
Sehingga tidak ada pilihan dan hukumnya wajib untuk mengikuti Islam sebagaimana yang Allah perintahkan dan ini berlaku untuk setiap zaman dan tempat. Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk mengikuti agama yang dibawa oleh Muhammad sebagaimana disebut dalam ayat lainnya,
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (31) قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ (32)
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".” (QS. Ali Imran: 31-32).[9]
Semoga Allah beri hidayah pada kita untuk istiqomah dalam Islam. Wallahu waliyyut taufiq.


www.rumaysho.com


[1] Disebutkan pula oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya.
[2] Lihat Syarh Fadhlil Islam, Syaikh Sholih Al Fauzan, hal. 9.
[3] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 5: 46.
[4] Dikeluarkan oleh Ibnu Jarir Ath Thobari dalam kitab tafsirnya.
[5] Disebutkan oleh Asy Syatibi dalam Al I’tishom.
[6] HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718
[7] Lihat Syarh Fadhlil Islam, hal. 10.
[8] Idem.
[9] Syarh Fadhlil Islam, hal. 11.
READ MORE - Hanya Islam yang Diterima

19 Sep 2012

Kriteria Ruqyah yang Dibolehkan

ruqyah_syari_jampi_mantera_dukunRuqyah adalah membacakan sesuatu pada orang yang sakit, bisa jadi karena terkena ‘ain (mata hasad), sengatan, sihir, racun, rasa sakit, sedih, gila, kerasukan, dan lainnya. Ruqyah di kalangan para dukun atau paranormal dikenal dengan istilah jampi-jampi. Sedangkan ruqyah yang syar’i ada ketentuannya sebagaimana disebutkan dalam tulisan berikut. Jika tidak memenuhi kriteria yang ada maka ruqyah tersebut tidak jauh dari jampi-jampi yang dilakukan oleh para dukun. Sebagaimana dinukil dari Fathul Majid, Imam As Suyuthi berkata, “Ruqyah itu dibolehkan jika memenuhi tiga syarat:
  1. Bacaan ruqyah dengan menggunakan ayat Al Qur’an atau nama dan sifat Allah.
  2. Menggunakan bahasa Arab atau kalimat yang mempunyai makna.
  3. Harus yakin bahwa ruqyah dapat berpengaruh dengan izin Allah, bukan dari zat ruqyah itu sendiri.”
Kriteria ruqyah yang syar’i secara lebih detail dijelaskan berikut ini:
  1. Bacaan ruqyah dengan menggunakan ayat Al Qur’an, do’a yang syar’i atau yang tidak bertentangan dengan do’a yang dituntunkan.
  2. Menggunakan bahasa Arab kecuali jika tidak mampu menggunakannya.
  3. Tidak bergantung pada ruqyah karena ruqyah hanyalah sebab yang dapat berpengaruh atau tidak.
  4. Isi ruqyah jelas maknanya.
  5. Tidak mengandung do’a atau permintaan kepada selain Allah (semisal kepada jin dan setan, pen).
  6. Tidak mengandung ungkapan yang diharamkan seperti celaan.
  7. Tidak menyaratkan orang yang diruqyah mesti dalam kondisi yang aneh seperti harus dalam keadaan junub, harus berada di kuburan, atau mesti dalam keadaan bernajis. (Fatawal ‘Ulama fii ‘Ilaajus Sihr wal Mass wal ‘Ain wal Jaan, hal. 310).
Kriteria-kriteria di atas menunjukkan bagaimana kita dapat menilai praktek ruqyah dibenarkan ataukah tidak. Jika si dukun menggunakan mantera-mantera yang tidak jelas maknanya, menggunakan do’a yang tidak dipahami, atau menyembuhkan dengan jalan memindahkan penyakit yang diderita ke hewan, maka jelas kita katakan praktek dukun tersebut bermasalah.
Lebih bermasalah lagi jika di dalamnya menggunakan jampi-jampi yang mengandung kesyirikan, meminta tolong pada jin, atau meminta agar kita menyembelih hewan tertentu untuk jin. Yang seperti ini jelas syirik. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ
Sesungguhnya mantera-mantera, jimat-jimat dan pelet adalah syirik” (HR. Abu Daud no. 3883, Ibnu Majah no. 3530 dan Ahmad 1: 381. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa ada jampi-jampi atau mantera-mantera yang mengandung kesyirikan. Namun tidak semuanya demikian.
Semoga Allah menjauhkan dari kita berbagai macam bentuk syirik dan menetapkan kita di atas tauhid.

Wabillahit taufiq.


www.rumaysho.com
READ MORE - Kriteria Ruqyah yang Dibolehkan

*MEMBUANG AIR PANAS DI KAMAR MANDI*


Bismillah,

Oleh: Al Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


Perkataan yang mengatakan dilarangnya wanita membuang air panas dikamar mandi adalah, perkataan Jin Muslim kepada Muhammad Isa Dawud yang ada dalam bukunya Dialog Dengan Jin Muslim, dan bantahannya saya salinkan secara ringkas dari buku yang ditulis oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, semoga bermanfaat.

Pada halaman 72, disebutkan perkataan Jin Muslim dalam keterangannya kepada Muhamad Isa Dawud
“Ingatkan kepada kaum wanita, agar mereka tidak membuang air (panas) mendidih di lubang-lubang WC tanpa menyebut Asma (nama-nama) Allah dan tidak pula memohon perlindungan kepadaNya dari gangguan setan yang terkutuk. Kadang-kadang air tersebut dapat mematikan setan, sehingga keluarganya mencoba melakukan balas dendam terhadap pemilik rumah, khususnya kaum wanita yang melakukan hal itu. Kalau mereka (setan-setan) bisa menampakkan diri (menyurupi tubuh mereka), niscaya mereka akan melakukan hal itu ….”

Saya berkata (Al-Ustad Abdul Hakim bin Amir Abdat).
"Di sini ada sebuah anjuran yang mengatasnamakan Allah Jalla wa ‘Ala dan membuat sebuah hukum, yakni membuang air panas mendidih ke WC khusus bagi kaum wanita harus menyebut asma Allah. Yakni membaca bismillah dan memohon perlindungan kepada Allah dari gangguan setan yang terkutuk dengan membaca".
“Auudzu billahiminasysyaithonirrajiim”
Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk

Dari keterangan diatas, kita dapat mengetahui cara yang diajarkan oleh Jin Muslim adalah apabila perempuan akan buang air panas ke lubang WC, maka di mengucapkan ‘bismillah, kemudian ‘ta’awwudz’ (auudzu billahiminasy syaithonir rajiim), baru kemudian ia boleh membuang air panas itu. Ini merupakan sebuah ajaran dzikir yang tidak ada dasarnya (dalilnya). Pernahkah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan demikian? Tidak pernah sama sekali. Ini telah membuat satu ketentuan hukum yang tidk diizinkan oleh Allah dan rasulNya.

Seandainya anjuran ini dibaca oleh seorang wanita muslimah yang ta’at, akan tetapi di tidak memiliki ilmu, maka anjuran ini akan diamalkan, karena takut akan ancaman keluarga setan tersebut. Karena kalau kita diancam oleh seseorang, maka akan timbul rasa takut yang selalu menghantui pikiran kita. Kita akan selalu cemas menunggu kapan ancaman itu akan datang dan begitulah seterusnya.

Kenapa hanya harus kaum wanita ? Kenapa tida kaum laki-laki yang kuat ? Bagaimana kalau ada laki-laki yang buang air panas ke WC ? Ini merupakan sebuah pengkhususan dalam syari’at.

Koreksian diatas dapat disimpulkan

[1]. Pengkhususan perkara ini hanya bagi kaum wanita dan tidak bagi kaum laki-laki. Pembatas atau pengkhususan suatu ibadah untuk laki-laki saja atau untuk perempuan saja haruslah ada dalilnya dari Allah maupun RasulNya.
[2]. Dari lafazh keterangan Jin Muslim sahabat kita ini, ada sebuah tata cara dzikir, ucapan dua macam dzikir yang sama sekali tidak ada keterangannya dari Allah dan Rasulnya. Yang ada keterangannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah masuk WC untuk buang air besar atau buang air kecil. Ucapan secara umum baik laki-laki maupun perempuan adalah
“Allahumma inni ‘auudzu bika minalkhubtsi walkhabaaits”
Ya Allah aku berlindung kepadaMu dari Al-Khubtsi dan Al-Khabaaits

Do'a ini sudah cukup, karena do’a tersebut sudah berisi memohon perlindungan dari jin laki-laki maupun yang perempuan yang ada di dalam WC tersebut. Kita mau buang air panas atau yang lainnya tidak ada masalah.

[Disalin dari buku Alam Jin Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Bantahan Terhadap Buku Dialog Dengan Jin Muslim oleh Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam]

Semoga bermanfaat
READ MORE - *MEMBUANG AIR PANAS DI KAMAR MANDI*

18 Sep 2012

Ku Titip Mereka Kepada Mu Yaa Allah....


(¯`v´¯)¸
`•.¸.•❤•..•♥ Assalamu'alaikum ♥¸.•❤•..
♥♥ بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ ♥

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin. as-Sholatu was Salamu ‘ala Khatamin Nabiyyin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man tabi’ahum bi ihsanin ila yaumid diin. Amma ba’du.

Perjalanan jauh atau safar merupakan peristiwa yang sering dialami manusia. Dari daerah yang satu menuju daerah yang lainnya. Dari suatu negara ke negara yang lainnya. Di dalamnya mereka kerapkali menemui berbagai hal yang tidak biasa mereka temui dan hal-hal tidak menyenangkan hati, ditinjau dari sisi agama maupun dari sisi keduniaan. Perkara-perkara itulah yang terkadang menjadi sebab perubahan yang ada dalam dirinya. Bisa jadi bertambah baik, namun bisa juga justru bertambah jelek. Oleh karena itu agama Islam yang sempurna dan elok ini telah menuntunkan kepada umatnya melalui lisan dan teladan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai bekal apakah yang semestinya dipersiapkan oleh seorang mukmin sebelum keberangkatannya dan apa yang diucapkan di saat-saat menjelang perpisahan itu. Berikut ini salah satu Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kita menjumpai keadaan semacam itu.

Perpisahan dalam Naungan as-Sunnah

Imam Abu Dawud rahimahullah membuat sebuah bab di dalam Sunannya dalam Kitab al-Jihad dengan judul Bab Fid Du’a ‘indal Wada’ (Doa ketika berpisah, yaitu sebelum melakukan perjalanan/safar). Kemudian beliau membawakan hadits Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma:

عَنْ قَزَعَةَ قَالَ قَالَ لِى ابْنُ عُمَرَ هَلُمَّ أُوَدِّعْكَ كَمَا وَدَّعَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ

Dari Qoza’ah, dia berkata: Ibnu Umar -radhiyallahu’anhuma- berkata kepadaku, “Kemarilah, akan kulepas kepergianmu sebagaimana ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kepergianku (yaitu dengan doa), ‘Astaudi’ullaha diinaka wa amaanataka wa khawaatima ‘amalik‘ (Aku titipkan kepada Allah pemeliharaan agamamu, amanatmu, dan akhir penutup amalmu).” (HR. Abu Dawud, Syaikh al-Albani berkata: Hadits ini sahih dengan banyak jalannya, sebagiannya disahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan adz-Dzahabi. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud [7/353] software Maktabah asy-Syamilah)



Bacaan Doa Ketika Memberangkatkan Pasukan

Tuntunan doa seperti ini tidak khusus untuk perorangan, bahkan berlaku pula untuk rombongan. Termasuk di dalamnya rombongan pasukan perang. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الْخَطْمِىِّ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْتَوْدِعَ الْجَيْشَ قَالَ أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكُمْ وَأَمَانَتَكُمْ وَخَوَاتِيمَ أَعْمَالِكُمْ .

Dari Abdullah al-Khathmi -radhiyallahu’anhu-, dia berkata: “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak melepas keberangkatan pasukan beliau maka beliau membaca doa, ‘Astaudi’ullaha diinakum wa amaanatakum wa khawaatima a’maalikum‘ (Aku titipkan kepada Allah pemeliharaan agama kalian, amanat yang kalian emban, dan akhir penutup amal kalian).” (HR. Abu Dawud. Syaikh al-Albani mengatakan: Sanadnya sahih sesuai dengan kriteria Muslim. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud [7/354] software Maktabah asy-Syamilah)

Abu at-Thayyib rahimahullah menerangkan makna ‘pasukan’ dalam hadits ini,

أي العسكر المتوجه إلى العدو

“Artinya adalah pasukan tentara yang akan diberangkatkan untuk menyerang musuh.” (Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud [7/187] software Maktabah asy-Syamilah)

Bekali Dirimu dengan Takwa

Perjalanan tentunya membutuhkan perbekalan. Dan sebaik-baik bekal adalah ketakwaan. Karena dengan ketakwaan itulah seorang hamba akan mendapatkan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapinya, dimudahkan urusannya, dan bahkan dia akan bisa mendapatkan rezeki dari arah yang tidak dia sangka-sangka. Allah ta’ala berfirman,

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى

“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Qs. al-Baqarah: 197)

Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِب

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah berikan baginya jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka-sangka.” (Qs. at-Thalaq: 2-3)

Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah jadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Qs. at-Thalaq: 4)

Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan,

عن أنس قال : جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إني أريد سفرا فزودني قال زودك الله التقوى قال زدني قال وغفر ذنبك قال زدني بأبي أنت وأمي قال ويسر لك الخير حيثما كنت

Dari Anas -radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, saya hendak bepergian/safar maka berilah saya bekal.” Maka beliau menjawab, “Zawwadakallahut taqwa (semoga Allah membekalimu takwa).” Lalu dia berkata, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” Beliau menjawab, “Wa ghafara dzanbaka (semoga Allah mengampuni dosamu).” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku, ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu.” Beliau menjawab, “Wa yassara lakal khaira haitsuma kunta (semoga Allah mudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu berada).” (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: hadits hasan gharib. Syaikh al-Albani mengatakan: hasan sahih. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi [3/155] software Maktabah asy-Syamilah)

Imam Ibnu as-Suni rahimahullah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi doa yang sedikit berbeda,

عن أنس ، رضي الله عنه أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم، فقال : يا رسول الله ، إني أريد سفرا، فزودني. قال : زودك الله التقوى . قال : زدني. قال : وغفر لك ذنبك . قال : زدني. قال : ووجهك للخير حيثما توجهت

Dari Anas radhiyallahu’anhu bahwa ada seorang lelaki yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya hendak bepergian. Berilah saya bekal.” Maka beliau menjawab, “Semoga Allah membekalimu dengan takwa.” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” Beliau menjawab, “Dan semoga Allah mengampuni dosa-dosamu.” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” Beliau menjawab, “Semoga Allah mengarahkanmu kepada kebaikan ke arah mana pun kamu menempuh perjalanan.” (HR. Ibnu as-Suni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah [2/461], lihat juga Mir’at al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih karya Syaikh Abul Hasan Hisamuddin ar-Rehmani al-Mubarakfuri rahimahullah [8/189] software Maktabah asy-Syamilah)

at-Thibi rahimahullah menerangkan makna doa ‘zawwadakallahut taqwa‘,

زادك أن تتقي محارمه وتجتنب معاصيه

“Semoga Allah membekalimu dengan ketakwaan yang akan membuatmu menjaga diri dari perkara-perkara yang diharamkan-Nya dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Dinukil dari Mir’at al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih [8/190] software Maktabah asy-Syamilah)

Allah Tak Akan Menyia-nyiakan ‘Barang Titipan’

Imam Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan,

عن أبي هريرة قال ودعني رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال أستودعك الله الذي لا تضيع ودائعه

Dari Abu Hurairah -radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kepergianku dengan mengucapkan, ‘Astaudi’ukallahalladzi laa tadhii’u wadaa-i’uhu‘ (Kutitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan pernah tersia-siakan apa yang dititipkan kepada-Nya).” (HR. Ibnu Majah. Disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [16 dan 2547] dan Takhrij al-Kalim at-Thayyib [167], lihat Shahih Ibnu Majah [2/133] software Maktabah asy-Syamilah)

al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna bacaan ini,

أي الذي إذا استحفظ وديعة لا تضيع فإنه تعالى إذا استودع شيئا حفظه

“Artinya: -Allah adalah- sosok yang apabila diserahkan kepadanya suatu barang titipan maka barang itu tidak akan tersia-siakan, karena Allah ta’ala apabila dititipi sesuatu maka Allah pasti akan menjaganya…” (Faidh al-Qadir [1/641] software Maktabah asy-Syamilah)

Beliau juga menerangkan,

ويندب لكل من المتوادعين أن يقول للآخر ذلك وأن يزيد المقيم زودك الله التقوى وغفر ذنبك ووجهك للخير حيثما كنت

“Dianjurkan bagi masing-masing orang di antara kedua belah pihak yang berpisah untuk mengucapkan bacaan itu kepada saudaranya yang lain dan hendaknya orang yang mukim menambahkan bacaan ‘zawwadakallahut taqwa wa ghafara dzanbaka wa wajjahaka lil khairi haitsuma kunta‘.” (Faidh al-Qadir [1/641] software Maktabah asy-Syamilah)

Jagalah -aturan- Allah, Allah ‘kan menjagamu!

Ketika menerangkan kandungan hadits ‘ihfazhillaha yahfazhka‘ (jagalah Allah niscaya Allah menjagamu), al-Hafizh lbnu Rajab al-Hanbali rahimahullah menerangkan,

فإن الله عز و جل يحفظ المؤمن الحافظ لحدود دينه ويحول بينه وبين ما يفسد عليه دينه بأنواع من الحفظ وقد لا يشعر العبد ببعضها وقد يكون كارها له كما قال في حق يوسف عليه السلام كذلك لنصرف عنه السوء والفحشاء إنه من عبادنا المخلصين يوسف قال ابن عباس في قوله تعالى إن الله يحول بين المرء وقلبه قال يحول بين المؤمن وبين المعصية التي تجره إلى النار

“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla akan menjaga seorang mukmin yang berusaha untuk senantiasa menjaga batasan/aturan agama Allah dan Allah akan menghalangi dirinya dari perkara-perkara yang akan merusak agamanya dengan berbagai macam bentuk penjagaan, yang terkadang hamba tersebut tidak menyadari sebagiannya. Bahkan bisa jadi dia merasa tidak suka atas perkara itu (bentuk penjagaan Allah, pent). Hal ini sebagaimana yang Allah ceritakan mengenai keadaan -Nabi- Yusuf ‘alaihis salam (dalam ayat yang artinya), ‘Demikianlah Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia termasuk kalangan hamba Kami yang ikhlas.’ (Qs. Yusuf). Ibnu Abbas -radhiyallahu’anhuma- mengatakan ketika menafsirkan kandungan firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya Allah akan menghalangi antara seseorang dengan hatinya’ maksudnya adalah: Allah akan menghalangi antara diri seorang mukmin dengan kemaksiatan yang akan menyeretnya ke dalam neraka…” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal 243)

Ibnu Rajab menukilkan sebuah atsar dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata:

إن العبد ليهم بالأمر من التجارة والإمارة حتى ييسر له فينظر الله إليه فيقول للملائكة اصرفوه عنه فإنه إن يسرته له أدخلته النار فيصرفه الله عنه فيظل يتطير بقوله سبني فلان وأهانني فلان وما هو إلا فضل الله عز جل

“Sesungguhnya ada seorang hamba yang bertekad untuk meraih ambisinya dalam hal perdagangan (baca: urusan bisnis) dan urusan kepemimpinan sehingga diapun dimudahkan ke arah itu. Kemudian Allah memperhatikan dirinya, lalu Allah katakan kepada para malaikat, ‘Palingkanlah hal itu darinya. Sebab jika hal itu Aku mudahkan untuknya niscaya hal itu justru akan menjerumuskan dirinya ke dalam neraka’. Maka Allah pun memalingkan urusan itu darinya sampai-sampai dia merasa dirinya selalu bernasib sial seraya mengatakan, ‘Si fulan mengolok-olokku’, ‘Si fulan menghinakanku’. Padahal sebenarnya apa yang dialaminya itu tidak lain adalah karunia yang diberikan Allah ‘azza wa jalla -kepadanya-…” (Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal 243)

Pelajaran yang Bisa Dipetik

Keterangan-keterangan di atas memberikan banyak pelajaran bagi kita, antara lain:

Semestinya orang yang hendak bepergian mempersiapkan bekal (uang atau makanan, dsb), dan bekal yang terbaik adalah ketakwaan.

Perintah untuk senantiasa mengingat Allah dalam berbagai keadaan, sebab barangsiapa yang mengingat Allah maka Allah akan mengingatnya.

Hendaknya seorang mukmin menyukai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana yang dia sukai untuk dirinya sendiri, dan salah satu wujudnya adalah dengan mendoakan kebaikan untuknya.

Disyari’atkan untuk membaca doa ‘astaudi’ullaha diinaka wa amaanatak wa khawaatima ‘amalik‘, atau ‘astaudi’ukallahalladzi laa tadhii’u wadaa-i’uh‘ ketika akan berpisah. Bagi orang yang mengantarkan bisa juga dengan doa ‘zawwadakallahut taqwa, wa ghafara dzanbaka, wa yassarallahu lakal khaira haitsuma kunta‘ dan yang serupa dengannya sebagaimana disebutkan dalam riwayat.

Sebab penjagaan Allah kepada diri seorang hamba adalah keteguhan dirinya dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan di mana pun dia berada. Perkara yang wajib jelas harus lebih diprioritaskan, dan lebih bagus lagi jika ditambah dengan amalan sunnah sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi.

Bentuk penjagaan yang Allah berikan kepada seorang hamba tidak selamanya terasa menyenangkan bagi jiwa/perasaan manusia. Bisa jadi secara lahir seseorang tertimpa musibah atau perkara lain yang tidak disukainya -dalam urusan keduniaan- namun sebenarnya hal itu adalah bentuk penjagaan Allah kepada dirinya, Maha suci Allah dari perlakuan aniaya kepada hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sehingga pemberian suatu nikmat dunia kepada seseorang tidak secara otomatis menunjukkan bahwa Allah meridhai hal itu bagi kita. Karena bisa jadi nikmat yang Allah beri merupakan bentuk hukuman yang ditunda, sedangkan nikmat yang dicabut dengan adanya musibah merupakan sarana penghapusan dosa baginya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang lain (bagian akhir dari faedah ini kami peroleh dari kitab al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid).

Penjagaan yang Allah berikan kepada hamba tergantung pada tingkat kesungguhannya dalam menjalankan petunjuk-Nya. Hal itu sebagaimana ayat (yang artinya), “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada-Nya jalan-jalan (menuju keridhaan) Kami.” (Qs. al-Ankabut: 69). Dan juga ayat (yang artinya), “Orang-orang yang berjalan di atas petunjuk niscaya akan Allah tambahkan hidayah kepada mereka dan Allah akan berikan kepada mereka ketakwaan mereka.” (Qs. Muhammad: 17)

Hal ini -pelajaran no-7- sekaligus menunjukkan kepada kita kebenaran ucapan para ulama kita, ‘min tsawabil hasanati al-hasanatu ba’daha‘ (salah satu balasan kebaikan adalah munculnya kebaikan sesudahnya). Dalil ucapan ini adalah firman Allah (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11) (faedah ini kami peroleh dari kitab al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang sempurna dan mencakup berbagai sisi kehidupan manusia. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam agama (baca: bid’ah).

Hadits-hadits di atas juga menunjukkan bahwa hadits Nabi -yang sah- tidak akan pernah bertentangan dengan ayat-al-Qur’an. Dan menunjukkan bahwa apa yang beliau ajarkan adalah berlandaskan wahyu dari Allah ta’ala, bukan hasil rekayasa budaya manusia. Hal ini sekaligus menjadi bantahan bagi kaum liberal dan pluralis yang menyatakan bahwa al-Qur’an -begitu pula as-Sunnah, sebagai konsekuensi logis atasnya- yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah muntaj tsaqafi (produk budaya) dan bukan wahyu ilahi. Maha Suci Allah dari kotornya ucapan mereka… Tidakkah mereka membaca firman Allah yang sedemikian gamblang dan terang (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya. Hanya saja yang dia ucapkan itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Qs. an-Najm: 3-4)? Ataukah barangkali mata hati mereka telah membuta… Na’dzubillahi min dzalik! Maka ambillah pelajaran wahai Ulil Abshar (orang-orang yang memiliki mata hati)…

Demikianlah paparan singkat dan sangat sederhana ini. Nasehat dan teguran sangat kami harapkan demi kebaikan kita semua. Semoga kita termasuk orang yang menghidupkan Sunnah ketika banyak orang telah melupakan dan melalaikannya. Semoga Allah memberikan keteguhan kepada kita untuk bersabar di atas ketakwaan kepada-Nya hingga ajal tiba, wallahul muwaffiq. Kami juga memohon ampun kepada Allah ta’ala atas segala kekurangan dan kesalahan yang ada, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

Yogyakarta, Senin 16 Syawwal 1430 H
Hamba yang sangat membutuhkan ampunan Rabbnya

***



Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/bekal-safar-kutitipkan-mereka-kepada-mu-ya-allah.html
READ MORE - Ku Titip Mereka Kepada Mu Yaa Allah....

** PESAN-PESAN UNTUK ISTERI **

BismillAh...

Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq



Anas berkata, “Para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, maka mereka memerintahkan isteri agar berkhidmat kepada suaminya dan memelihara haknya.”

Ummu Humaid berkata, “Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada ‘Aisyah dan memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya di atas kepalanya seraya mendo’akannya dan memerintahkannya agar bertakwa kepada Allah serta memenuhi hak suami”[1]

‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berwasiat kepada puterinya, “Janganlah engkau cemburu, sebab itu adalah kunci perceraian, dan janganlah engkau suka mencela, karena hal itu menimbulkan kemurkaan. Bercelaklah, karena hal itu adalah perhiasan paling indah, dan farfum yang paling baik adalah air.”

Abud Darda' berkata kepada isterinya, “Jika engkau melihatku marah, maka redakanlah kemarahanku. Jika aku melihatmu marah kepadaku, maka aku meredakanmu. Jika tidak, kita tidak harmonis.”

Ambillah pemaafan dariku, maka engkau melanggengkan cintaku.
Janganlah engkau berbicara dengan keras sepertiku, ketika aku sedang marah
Janganlah menabuhku (untuk memancing kemarahan) seperti engkau menabuh rebana, sekalipun
Sebab, engkau tidak tahu bagaimana orang yang ditinggal pergi



Janganlah banyak mengeluh sehingga melenyapkan dayaku
Lalu hatiku enggan terhadapmu; sebab hati itu berbolak-balik

Sesungguhnya aku melihat cinta dan kebencian dalam hati
Jika keduanya berhimpun, maka cinta pasti akan pergi

‘Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti ‘Auf. Ketika dia akan dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui puterinya lalu berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan dasar-dasar kehidupan yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya yang patut menjadi undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan:

“Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar, dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik untuk orang yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya wanita tidak membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup dan keduanya sangat membutuhkanya, niscaya akulah orang yang paling tidak membutuhkannya. Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki, dan karena mereka pula laki-laki diciptakan.

Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya engkau naik kepada keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang engkau belum terbiasa dengannya. Ia dengan kekuasaannya menjadi pengawas dan raja atasmu, maka jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia menjadi abdimu pula. Peliharalah untuknya 10 perkara, niscaya ini akan menjadi kekayaan bagimu.

Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana’ah (merasa cukup), serta mendengar dan patuh kepadanya.

Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya. Jangan sampai matanya melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai mencium darimu kecuali aroma yang paling harum.

Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat makan akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah.

Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara keluarga dan kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah menghargainya dengan baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah mengaturnya dengan baik.

Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan jangan menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya, maka hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebarkan rahasianya, maka engkau tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya. Kemudian janganlah engkau bergembira di hadapannya ketika dia bersedih, dan jangan pula bersedih di hadapannya ketika dia bergembira”[2]

Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, “Perintahkan kepada puterimu agar tidak singgah di kediaman (suaminya) melainkan dalam keadaan telah mandi. Sebab, air itu dapat mencemerlangkan bagian atas dan membersihkan bagian bawah. Dan janganlah ia terlalu sering mencumbuinya. Sebab jika badan lelah, maka hati menjadi lelah. Jangan pula menghalangi syahwatnya, sebab keharmonisan itu terletak dalam kesesuaian.

Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan Radhitallahu ‘anhu, dan beliau telah menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, “Wahai puteriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal ini : bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana yang terguyur hujan.”

Abul Aswad berkata kepada puterinya, “Jangalah engkau cemburu, sebab kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian ialah menyempurnakan wudhu.’”

Ummu Ma’ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang telah diramunya dengan senyum dan air matanya: “Wahai puteriku, engkau akan memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang tiada tempat di dalamnya untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun dari saudaramu. Engkau akan menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada seorangpun yang menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia berasal dari daging dan darahmu. Jadilah engkau sebagai isteri, wahai puteriku, dan jadilah engkau sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa bahwa engkau adalah segalanya dalam kehidupannya dan segalanya dalam dunianya. Ingatlah selalu bahwa suami itu anak-anak yang besar, jarang sekali kata-kata manis yang membahagiakannya. Jangan engkau menjadikannya merasa bahwa dengan dia menikahimu, ia telah menghalangimu dari keluargamu.

Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya karenamu. Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan antara wanita dan laki-laki. Wanita selalu rindu kepada keluarganya, kepada rumahnya di mana dia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan belajar. Tetapi dia harus membiasakan dirinya dalam kehidupan yang baru ini. Ia harus mencari hakikat hidupnya bersama pria yang telah menjadi suami dan ayah bagi anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru, wahai puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu. Inilah mahligaimu, di mana kalian berdua bersama-sama menciptakannya.

Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak memintamu melupakan ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu akan lupa belahan hatinya? Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau mencintai suamimu, mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan kehidupanmu bersamanya.”

Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi ‘Udzr ad-Du'ali -pada hari-hari pemerintahan ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu- menceraikan wanita-wanita yang dinikahinya. Sehingga muncullah kepadanya beberapa peristiwa yang tidak disukainya berkenaan dengan para wanita tersebut dari hal itu. Ketika dia mengetahui hal itu, maka dia memegang tangan ‘Abdullah bin al-Arqam sehingga membawanya ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada isterinya: “Aku memintamu bersumpah demi Allah, apakah engkau benci kepadaku?” Ia menjawab, “Jangan memintaku bersumpah demi Allah.” Dia mengatakan, “Aku memintamu bersumpah demi Allah.” Ia menjawab, “Ya.”

Kemudian dia berkata kepada Ibnul Arqam, “Apakah engkau dengar?” Kemudian keduanya bertolak hingga sampai kepada ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu lalu mengatakan, “Kalian mengatakan bahwa aku menzhalimi kaum wanita dan menceraikan mereka. Bertanyalah kepada al-Arqam.” Lalu ‘Umar bertanya kepadanya dan mengabarkannya. Lalu beliau mengirim utusan kepada isteri Ibnu Abi ‘Udzrah (untuk datang kepada ‘Umar). Ia pun datang bersama bibinya, lalu ‘Umar bertanya, “Engkaukah yang bercerita kepada suamimu bahwa engkau marah kepadanya?” Ia menjawab, “Aku adalah orang yang mula-mula bertaubat dan menelaah kembali perintah Allah kepadaku. Ia memintaku bersumpah dan aku takut berdosa bila berdusta, apakah aku boleh berdusta, wahai Amirul Mukminin?” Dia menjawab, “Ya, berdustalah. Jika salah seorang dari kalian tidak menyukai salah seorang dari kami, janganlah menceritakan hal itu kepadanya. Sebab, jarang sekali rumah yang dibangun di atas dasar cinta, tetapi manusia hidup dengan Islam dan mencari pahala”[3]

Kepada setiap muslimah yang memenuhi hak-hak suaminya dan takut terhadap murka Rabb-nya karena dia mengetahui hak suaminya atasnya! Inilah contoh sebagian pria yang mensifati isterinya yang tidak mengetahui hak suaminya dan tidak pula memelihara kebaikannya. Ia tidak mempercantik diri dan tidak berdandan untuknya, serta bermulut kasar. Ia mensifatinya dengan sifat yang membuat hati bergetar dan telinga terngiang-ngiang. Camkanlah sehingga engkau tidak jatuh ke tempat yang menggelincirkan ini.

[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu Katsair]
__________
Foote Note
[1]. HR. Ibnu Abi Syaibah (IV/305-306).
[2]. Ahkaamun Nisaa’, Ibnul Jauzi (hal. 74-78).
[3]. Syarhus Sunnah (XIII/120).

http://almanhaj.or.id/content/2126/slash/0/pesan-pesan-untuk-isteri/
READ MORE - ** PESAN-PESAN UNTUK ISTERI **

12 Sep 2012

Keutamaan Anak Perempuan


Detik-detik saat kelahiran adalah saat-saat yang sangat menegangkan bagi seorang suami….begitu besar harapan yang telah ia gantungkan bagi anak yang ia nanti-nantikan kehadirannya. Begitu besar kegembiraan yang ia rasakan tatkala terdengar suara sang anak…

Akan tetapi semuanya menjadi berubah…tatkala sang suami mengetahui bahwa anak yang ia nanti-nantikan ternyata perempuan. Jadilah wajah yang tadi riang menjadi mengkerut…, nampak kegembiraan yang terkeruhkan dengan kemasaman dan kekesalan…, meskipun sang suami berusaha untuk meredamnya !!!

Yang sangat disayangkan ternyata masih ada saja kondisi para suami yang seperti ini.


Konsekuensi-Konsekuensi Buruk dari Kebencian Terhadap Anak Perempuan

Kebencian atau ketidaksukaan terhadap anak perempuan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi buruk, diantaranya :

Pertama : Sikap ini merupakan bentuk protes kepada taqdir Allah.

Kedua : Anak adalah pemberian/anugerah dari Allah, maka sikap seperti ini merupakan bentuk penolakan kepada pemberian Allah

Allah berfirman :

لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ (٤٩)أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ (٥٠)

"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki,
Atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha Kuasa" (QS Asy-Syuuroo : 49-50)

Bahkan sebagian Ahli Tafsir menyebutkan bahwa dalam ayat ini Allah mendahulukan penyebutan anak-anak perempuan sebelum anak-anak laki-laki dengan tujuan :

-         Untuk menenangkan hati ayah-ayah anak-anak perempuan tersebut, karena mendahulukan penyebutan anak-anak perempuan dari pada anak-anak laki-laki adalah tasyriif (pemuliaan) kepada anak-anak perempuan

-         Untuk mencela orang-orang jahiliyah yang telah merendahkan derajat anak-anak perempuan, bahkan hingga menguburkan mereka hidup-hidup (lihat : Fathul Qodiir 4/774, Tafsiir Ruuhul Bayaan, 8/262 dan Tafsiir Al-Muniir li Az-Zuhaili 25/101)


Ketiga : Pada sikap sang suami ini ada penghinaan terselubung kepada sang istri dan pemaksaan kepada sang istri untuk melakukan sesuatu yang diluar kemampuannya.

Seakan-akan para perempuanlah yang telah bersalah 100 persen tatkala tidak bisa melahirkan anak laki-laki.

Disebutkan bahwasanya ada seorang Arab yang menghajr (meninggalkan) istrinya hanya karena istrinya melahirkan anak perempuan. Maka sang istripun berkata :

مَا لِأَبِي حَمْزَةَ لاَ يَأْتِينَا

Kenapa (suamiku) Abu Hamzah tidak mendatangiku…??

يَظَلُّ فِي الْبَيْتِ الَّذِي يَلِينَا

Ia senantiasa berada di rumah yang lain (rumah istri Abu Hamzah yang lain)…

غَضْبَانَ أَلاَّ نَلِدَ الْبَنِينَا

Ia marah karena aku tidak bisa melahirkan anak-anak laki-laki

تَاللَّهِ مَا ذَلِكَ فِي أَيْدِينَا

Demi Allah…perkaranya bukanlah dibawah kekuasaan kami (para istri)

فَنَحْنُ كَالأَرْضِ لِزَارِعِينَا

Kami ini ibarat tanah untuk ditanami oleh para penanam kami

نُنْبِتُ مَا قَدْ زَرَعُوهُ فِينَا

Kami hanya menumbuhkan apa yang ditanam oleh mereka pada kami…


(lihat Tafsiir Al-Qurthubi 16/70, Ruuh Al-Ma'aani 25/70 akan tetapi dengan lafal syair yang sedikit berbeda)
Keempat : Sikap ini menunjukkan kebodohan dan rendahnya akal sang suami

Bagaimana seorang suami yang seperti ini tidak dikatakan bodoh jika ia memaksakan perkara yang diluar kuasa istrinya sama sekali. Bahkan bukankah anak perempuan tersebut adalah hasil tanamannya??, dialah yang menanam…lantas ia tidak menerima hasil tanamannya !!!


Kelima : Sikap seperti ini adalah bentuk meniru-niru adat jahiliyah

Allah berfirman :

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالأنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ (٥٨)يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ

"Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah, Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu" (QS An-Nahl : 58-59)


Merupakan perkara yang sangat menyedihkan dan memilukan adalah adanya sebagian suami yang sampai mengancam istrinya dengan berkata, "Jika kamu tidak bisa melahirkan anak lelaki maka kamu akan saya ceraikan !!!"

Jadilah sang perempuan tatkala hamil penuh dengan kecemasan….bahkan penuh dengan ketakutan…jika ternyata ia melahirkan anak perempuan lagi maka akan sirnalah kebahagiaan yang selama ini ia dambakan bersama suaminya.  

Di zaman sekarang ini sering pula perubahan sikap suami telah dirasakan oleh sang istri jauh sebelum kelahiran, yaitu tatkala jenis kelamin janin telah diketahui jauh sebelum waktu kelahiran dengan menggunakan USG. Jika setelah melewati proses USG nampak janin berkelamin laki-laki maka sungguh bergembira sang suami. Akan tetapi yang jadi masalah jika USG menunjukkan bahwa jenis kelamin sang janin adalah perempuan…maka akan berubahlah reaksi dan sikap sang suami. Perhatiannya terhadap sang istri menjadi kurang…kebutuhan sang istri kurang terpenuhi…kebutuhan persiapan kelahiran pun kurang diperhatikan. Inilah sisa-sisa dari adat jahiliyah yang masih ada di umat ini…



Islam Memuliakan Anak-Anak Perempuan

Islam datang mengangkat kedudukan para perempuan. Islam memerangi adat jahiliyah yang merendahkan anak-anak perempuan.

Pemuliaan anak-anak perempuan nampak dari poin-poin berikut :

Pertama : Anak-anak perempuan merekalah yang kelak akan menjadi ibu atau bibi atau saudari perempuan.

Dan sangatlah jelas bagaimana perhatian Islam dan pemuliaan Islam kepada seorang ibu, seorang bibi, dan seorang saudara perempuan.

Kedua : Sebagaimana telah lalu (dalam QS Asy-Syuuroo : 49-50) bahwasanya Allah menyatakan bahwa anak-anak perempuan adalah pemberian (anugerah) dari Allah

Ketiga : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits-haditsnya akan keutamaan memelihara, mendidik, dan menyayangi anak-anak perempuan. Bahkan keutamaan yang sangat besar…

Siapakah diantara kita yang tidak ingin terhijab/terhalangi dari Api neraka…??

Siapakah diantara kita yang tidak ingin dikumpulkan bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di padang mashyar kelak…, hari yang sangat menakutkan…??

Siapakah diantara kita yang ingin wajib baginya untuk masuk surga…?? Bahkan di surga dekat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam??

Semua ini bisa anda raih dengan kesabaran dalam mendidik putri-putri kita.

Aisyah radhiallahu 'anhaa berkata:

دَخَلَتْ امْرَأَةٌ مَعَهَا ابْنَتَانِ لَهَا تَسْأَلُ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدِي شَيْئًا غَيْرَ تَمْرَةٍ فَأَعْطَيْتُهَا إِيَّاهَا فَقَسَمَتْهَا بَيْنَ ابْنَتَيْهَا وَلَمْ تَأْكُلْ مِنْهَا ثُمَّ قَامَتْ فَخَرَجَتْ فَدَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْنَا فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ

Seorang ibu bersama dua putrinya menemuiku meminta makanan, akan tetapi ia tidak mendapati sedikit makananpun yang ada padaku kecuali sebutir kurma. Maka akupun memberikan kurma tersebut kepadanya, lalu ia membagi sebutir kurma tersebut untuk kedua putrinya, dan ia tidak makan kurma itu sedikitpun. Setelah itu ibu itu berdiri dan pergi keluar. Lalu masuklah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka akupun mengabarkannya tentang ini, maka Nabi bersabda :

مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ

"Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka" (HR Al-Bukhari no 1418 dan Muslim no 2629)

Dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda;

إنَّ اللَّهَ قَدْ أَوْجَبَ لَهَا بِهَا الْجَنَّةَ أَوْ أَعْتَقَهَا بِهَا مِنْ النَّارِ

"Sesungguhnya Allah telah mewajibkan surga bagi sang ibu atau Allah telah membebaskannya dari api neraka" (HR Muslim no 2630)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda :

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثَةُ بَنَاتٍ فَصَبَرَ عَلَيْهِنَّ وَأَطْعَمَهُنَّ وَسَقَاهُنَّ وَكَسَاهُنَّ مِنْ جِدَتِهِ كُنَّ لَهُ حِجَابًا مِنَ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan lalu ia bersabar atas mereka, dan memberi makan mereka, memberi minum, serta memberi pakaian kepada mereka dari kecukupannya, maka mereka akan menjadi penghalang baginya dari api neraka pada hari kiamat" (HR Ibnu Maajah no 3669 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 294)

Dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi bersabda

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ وَضَمَّ أَصَابِعَهُ

"Barangsiapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa maka ia akan datang pada hari kiamat bersamaku" (Anas bin Malik berkata : Nabi menggabungkan jari-jari jemari beliau) (HR Muslim no 2631)

Dalam riwayat yang lain :

دَخَلْتُ أَنَا وَهُوَ الْجَنَّةَ كَهَاتَيْنِ - وَأَشَارَ بِأُصْبُعَيْهِ

"Aku dan dia di surga seperti dua jari ini"
(dan beliau mengisyaratkan dengan dua jari jemari beliau) (HR At-Thirmidzi no : 1914 dan dishahihkan oleh Al-Albani)

Dari Jabir radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَ لَهُ ثَلاَثُ بَنَاتٍ يُؤْوِيْهِنَّ وَيَكْفِيْهِنَّ وَيَرْحَمُهُنَّ فَقَدْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةَ الْبَتَّةَ . فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ بَعْضِ الْقَوْمِ : وَثِنْتَيْنِ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : وَثِنْتَيْنِ ] . وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ : حَتَّى ظَنَنَّا أَنَّ إِنْسَانًا ( لَوْ ) قَالَ : وَاحِدَةً ؟ لَقَالَ : وَاحِدَةً

"Barangsiapa yang memiliki tiga anak perempuan, ia mengayomi mereka, mencukupi mereka, dan menyayangi mereka maka tentu telah wajib baginya surga". Maka ada salah seorang dari kaum berkata, "Kalau dua anak perempuan Ya Rasulullah?". Nabi berkata, "Dua anak perempuan juga"

Dalam riwayat lain ada tambahan, "Sampai-sampai kami menyangka kalau ada orang yang berkata, "Kalau satu anak perempuan?", maka tentu Nabi akan berkata, "Satu anak perempuan juga". (Dihasankan oleh Al-Albani dalam As-Shahihah no 1027)

Sungguh agama Islam adalah agama yang memuliakan anak-anak perempuan !!!, bahkan memuliakan orang-orang yang memuliakan mereka dengan ganjaran yang besar di akhirat kelak !!!.


Akan Tetapi Ingatlah Para Ayah…Anak-Anak Perempuan Adalah Ujian dari Allah !!


Al-Qurthubi rahimahullah mengomentari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ (Barangsiapa yang diuji dengan anak-anak perempuan…) dengan berkata :

فَفِي هَذَا الْحَدِيثِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ الْبَنَاتِ بَلِيَّةٌ، ثُمَّ أَخْبَرَ أَنَّ فِي الصَّبْرِ عَلَيْهِنَّ وَالْإِحْسَانِ إِلَيْهِنَّ مَا يَقِي مِنَ النَّارِ

"Dalam hadits ini dalil bahwa anak-anak perempuan adalah ujian. Kemudian Nabi mengabarkan bahwa pada sikap sabar terhadap anak-anak perempuan dan berbuat baik kepada mereka terdapat pencegahan dari api neraka" (Tafsiir Al-Qurthubi (10/118) dari surat An-Nahl ayat 59)

Memang merawat anak-anak perempuan hingga dewasa membutuhkan ekstra kesabaran, terlebih lagi di zaman kita yang penuh dengan fitnah dan syahwat. Merawat mereka sejak kecil dibutuhkan kesabaran, terlebih lagi jika mereka telah dewasa…bukan hanya kesabaran akan tetapi perlu ditambah dengan kehati-hatian mengingat pergaulan muda-mudi yang kian bertambah parahnya.

Hanya sekedar memiliki anak-anak perempuan tidaklah mendatangkan kemuliaan dan kebaikan bagi sang ayah… akan tetapi keutamaan-keutamaan di atas hanya bisa diperoleh bagi seorang ayah yang mengayomi, mencukupkan, dan menyayangi anak-anak perempuan mereka serta bersabar dalam menjalankan itu semua, sebagaimana telah jelas dalam lafal hadits-hadits di atas.



KARENANYA…


Janganlah bersedih jika anda mendapatkan anak perempuan…sesungguhnya itu adalah anugerah dan pilihan Allah untukmu. Ingatlah Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki 4 orang putri.

Bahkan jadikanlah putri-putrimu sebagai sarana dan kesempatan bagimu untuk meraih surga… agar engkau bisa bersanding dekat dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Ingatlah seluruh kesabaranmu…kasih sayangmu kepada putri-putrimu sangat bernilai di sisi Allah..maka janganlah kau remehkan senyuman dan pelukanmu kepada putri-putrimu.

Didiklah mereka sejak kecil…Tanamkanlah rasa malu dalam diri mereka…sesungguhnya rasa malu itu adalah perhiasan mereka…itulah nilai keperempuanan mereka.

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 01-03-1433 H / 23 Januari 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
READ MORE - Keutamaan Anak Perempuan

** HUKUM WANITA HAID BERDZIKIR DAN MEMBACA AL-QUR'AN **

BismillAh...

Oleh : Syaikh Mushthaha Al-‘Adawi

Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata [Shahih Al-Bukhari, hadits no. 971]

حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ عَاصِمٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ

"Muhammad telah menceritakan kepada kami,[1] Umar bin Hafs telah menceritakan kepada kami, ia berkata: ayahku telah menceritakan kepada kami, dari ‘Ashim, dari Hafshah dari Ummu ‘Athiyah ia berkata: “Dahulu kami diperintahkan untuk keluar pada hari ‘Ied, sampai kami mengeluarkan gadis dari pingitannya, mereka bertakbir dengan takbir mereka [2], (para sahabat) dan juga berdo’a dengan do’a mereka, mengharap keberkahan dan kesucian hari itu" [Juga diriwayatkan oleh Muslim (hal 606) dan Abu Daud (1138).
Imam Al-Bukhari juga berkata (hadits no:1650)]

حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ قَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حَائِضٌ وَلَمْ أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَلاَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَتْ فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي

Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, Malik telah mengkhabarkan kepada kami, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata: “Aku datang ke Mekkah sedangkan aku dalam keadaan haid dan aku belum thawaf di Ka’bah dan juga belum (sa’i) antara Shafa dan Marwa.” Aisyah berkata: “Maka aku adukan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,” lalu beliau bersabda: “Lakukanlah apa-apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji [3] selain thawaf di Ka’bah" [Hadits Shahih] [4]



BANTAHAN HUJJAH LARANGAN WANITA HAIDH MEMBACA AL-QUR'AN [4]
Sedangkan larangan, yaitu hadits Ali Radhiyallahu 'anhu : (yang dipakai hujjah oleh sebagian ulama untuk melarang orang yang berhadats, -termasuk wanita haidh- membaca al-Qur’an -Red) adalah :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْضِي حَاجَتَهُ ثُمَّ يَخْرُجُ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ وَلاَ يَحْجُبُهُ إِلاَّ الْجَنَابَةُ

1. "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelesaikan hajat beliau, kemudian keluar, lalu beliaupun membaca al-Qur’an, serta makan daging bersama kami, dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi beliau selain janabat." [6]

Hadits ini (tidak dapat diterima, karena) :

Pertama : Di dalamnya tidak ada larangan untuk membaca al-Qur’an bagi orang yang junub dan orang yang haidh, ia hanyalah semata-mata perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Kedua : Bahwa hadits ini dibicarakan (keshahihannya), karena diriwayatkan dari jalan Abdullah bin Salamah, sedangkan hafalannya sudah berubah. Ada riwayat senada dari Abul Gharif dari Ali, akan tetapi riwayat tersebut menunjukkan cacat perawi yang menyatakannya sebagai hadits marfu’ (hadits yang diriwayatkan sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Terlebih lagi jika perawi yang menyatakannya sebagai hadits marfu’ adalah seorang yang ada sesuatu dalam hafalannya (yakni hafalannya tidak kuat-Red), seperti Abdullah bin Salamah. Karena riwayat Abil Gharif dari Ali berselisih, tentang marfu’ (sampai) nya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tentang mauquf (berhenti) nya sampai sahabat Ali saja.

Pendapat yang lebih kuat adalah yang menyatakan sebagai mauquf, maka yang nampak olehku bahwa hadits ini mauquf sampai Ali Radhiyallahu 'anhu.

2. Riwayat lain yang (dijadikan hujjah) larangan (dalam hal ini) adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ

"Sesungguhnya aku tidak menyukai untuk berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci." [7]

Akan tetapi “ketidaksukaan” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di sini hanyalah untuk tanzih (keutamaan; bukan larangan haram), hal ini berdasarkan apa yang dijelaskan dalam hadits shahih dari Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata:

وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ

"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah setiap saat" [8]

3. Kaum yang melarang juga berdalil bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertayamum untuk menjawab salam. Maka di dalam hadits ini juga tidak ada larangan bagi wanita haidh, dan orang yang junub untuk membaca al-Qur’an, karena ia hanyalah semata-mata perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan Aisyah telah berkata sebagaimana yang telah lewat: “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah pada setiap saat”.

4. Kaum yang melarang juga berdalil dengan hadits Jabir dan Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu secara marfu’ (sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam):

لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

"Tidak boleh bagi orang junub dan haidh membaca al-Qur’an". [9]

Hadits ini dhaif, tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lihat kitab ‘Ilal Ibni Abi Hatim (1/49).

Demikianlah, sebagian ulama berpendapat terlarangnya wanita haidh membaca al-Qur’an, dan sandaran mereka adalah sebagaimana yang telah lewat dan telah kami jelaskan kelemahan-kelemahan yang ada pada dalil-dalil mereka. Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bolehnya wanita haidh membaca al-Qur’an dan berdzikir, dan pendapat terakhir inilah yang kami pilih, berikut ini (kami bawakan) pendapat-pendapat ulama yang membolehkan:

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata (Majmu’al Fatawa 21/459): “Adapun membaca al-Qur’an bagi orang yang junub dan haidh, maka ada 3 pendapat ulama dalam hal tersebut:

1. Ada yang berpendapat: boleh bagi keduanya, dan inilah madzhab Abu Hanifah dan yang masyhur dari madzhab Syafi’i dan Ahmad.
2. Ada juga yang berpendapat: tidak boleh bagi junub dan boleh bagi wanita haidh, baik secara mutlak ataupun karena takut lupa, dan ini adalah madzhab Imam Malik, dan satu pendapat pada madzhab Ahmad dan selainnya. Karena tidak ada riwayat tentang wanita haidh membaca Al-Qur’an, kecuali hadits yang diriwayatkan dari Ismail bin ‘Ayasy dari Musa dari ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar:

لاَ يَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ

"Tidak boleh bagi yang haidh dan junub membaca al-Qur’an". [Diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya].

Tetapi hadits tersebut dha’if menurut kesepakatan ahlul hadits. Karena riwayat-riwayat Isma’il bin Ayyasy dari penduduk Hijaz adalah hadits-hadits dhaif [10], berbeda dengan riwayat-riwayat yang ia ambil dari penduduk Syam. Dan tidak ada seorang tsiqah (yang terpercaya) pun meriwayatkan hadits tersebut dari Nafi’. Padahal telah diketahui bahwa para wanita pada zaman Nabi juga mengalami haidh, namun beliau tidak melarang mereka untuk membaca al-Qur’an, juga tidak melarang mereka untuk berdzikir dan berdo’a.

Bahkan beliau memerintahkan para wanita haidh untuk keluar pada hari ‘Ied, sehingga mereka bertakbir dengan takbir kaum muslimin. Beliaupun memerintahkan kepada wanita yang haidh untuk (melakukan) manasik haji seluruhnya selain thawaf di Ka’bah. Ia (wanita haidh ) bertalbiyah (mengucapkan “Labbaik Allahumma labbaik...-Red) sedangkan ia dalam keadaan haidh, demikian pula halnya di Muzdalifah, Mina dan tempat-tempat mengerjakan ibadah haji lainnya.

Adapun bagi orang yang junub, beliau tidak memerintahkan untuk menghadiri ‘ied, shalat ataupun menunaikan sesuatu dari manasik haji. Karena orang yang junub memungkinkan baginya untuk (segera ) bersuci, dan tidak ada ‘udzur (alasan) baginya untuk menunda-nunda bersuci, berbeda keadaanya dengan wanita haidh yang hadatsnya terus berlangsung (selama darah masih keluar) dan tidak memungkinkan baginya untuk segera bersuci. Oleh karena itu para ulama menyebutkan: “Tidak boleh bagi orang yang junub wukuf di Arafah, Mudzalifah, dan Mina sampai ia suci”, walaupun bersuci bukanlah syarat untuk wukuf tersebut. Akan tetapi yang dimaksud adalah bahwa Asy-Syari’ (Pembuat syari’at) memerintahkan wanita haidh -baik perintah wajib ataupun mustahab/tidak wajib- untuk berdzikir kepada Allah dan berdo’a kepadaNya, sedangkan hal itu makruh (tidak disukai) bagi orang yang junub. Oleh karena itulah diketahui bahwa wanita haidh -karena udzur- diberi rukhshah (keringanan) pada hal-hal yang rukhsah tersebut tidak diberikan kepada orang yang junub, walaupun hadats wanita haidh berlangsung lebih lama. Demikian juga dalam hal membaca al-Qur’an Allah tidak melarang wanita haidh dari hal tersebut.

Bisa juga dikatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang orang yang junub (hal itu) karena ia (orang junub) memungkinkan baginya untuk segera bersuci lalu membaca al-Qur’an. Berbeda dengan wanita haidh, yang hadatsnya berlangsung selama beberapa hari, sehingga –jika dilarang- akan hilang darinya ibadah membaca al-Qur’an, yang ibadah tersebut ia butuhkan, sementara ia tidak bisa segera bersuci. Dan tidaklah sama antara membaca al-Qur’an dengan shalat, dalam shalat disyaratkan suci dari hadats besar, sedangkan membaca al-Qur’an boleh dilakukan walaupun (kita) berhadats kecil berdasarkan nash dan kesepakatan para imam/ulama. Dalam shalat harus menghadap kiblat, menutup aurat, suci dari najis. Sedangkan dalam membaca al-Qur’an hal-hal tersebut tidak diwajibkan, bahkan di dalam hadits shahih disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meletakkan kepala beliau di pangkuan ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, sedangkan ‘Aisyah dalam keadaan haidh.

Dan dalam Shahih Muslim (diriwayatkan) pula bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

إِنَّي مُنْزِلٌ عَلَيْكَ كِتَابًا لاَ يَغْسِلُهُ الْمَاءُ تَقْرَؤُهُ نَائِمًا وَيَقْظَانًا

"Maka membaca al-Qur’an boleh dilakukan dengan berdiri, tidur, berjalan, berbaring maupun ketika naik kendaraan".[11]

3. Abu Muhammad bin Hazm berkata (Al—Muhalla: 1/77-78): “Permasalahan: Membaca al-Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla, semua itu boleh dilakukan dengan berwudhu atau tanpa wudhu dan (boleh) bagi yang junub dan juga yang haidh.

Dalil hal tersebut adalah bahwa membaca al-Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah merupakan perbuatan-perbuatan baik yang disunahkan, dan orang yang melakukannya mendapat pahala, maka barangsiapa yang melarang hal-hal tersebut dalam sebagian kondisi-kondisi tertentu, wajib untuk mendatangkan dalil".

Kemudian Abu Muhammad rahimahullah mulai menyebutkan pendapat-pendapat yang menyelisihi pendapat beliau dalam hal itu, lalu membantahnya satu per satu.

Kesimpulan.
Bahwa wanita yang haidh boleh untuk berdzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an, karena tidak ada dalil yang shahih dan sharih (jelas) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut. Bahkan riwayat yang ada (justeru) membolehkan hal-hal tersebut, yaitu yang telah dijelaskan di atas. Wallahu ‘Alam.




[Diterjemahkan oleh Meli Nur Hasanah dari kitab Jami’ Ahkamin Nisa’ I/182-187,karya Syeikh Mushthaha Al-‘Adawi]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
________
READ MORE - ** HUKUM WANITA HAID BERDZIKIR DAN MEMBACA AL-QUR'AN **

8 Sep 2012

** Hukum Ziarah Kubur bagi Wanita (bagian 2) **

 
BismillAh...

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)

Dalam pembahasan yang lalu telah kita ketahui bahwa dalam masalah ziarah kubur bagi wanita, ahlul ilmi terbagi dalam tiga pendapat: yang mengatakan makruh tidak haram, mubah tidak makruh, dan yang berpendapat haram. Di akhir pembahasan, kami telah menyinggung bahwa pendapat yang kuat dan menenangkan hati kami dengan melihat dalil yang ada dan memperhatikan ucapan ulama adalah pendapat yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita, bahkan hukumnya mustahab sebagaimana laki-laki, wallahu ta’ala a’lam, dengan beberapa alasan yang akan kami bawakan dalam pembahasan berikut ini, wabillahi at-taufiq.
Pertama: Hadits-hadits yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita lebih shahih daripada hadits-hadits yang melarang.
Kedua: Lafadz: yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah z:

Sesungguhnya Rasulullah n melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan1.
menunjukkan mubalaghah, artinya yang dilaknat adalah wanita yang banyak berziarah. Sehingga wanita yang berziarah hanya sekali-kali tidaklah masuk dalam ancaman hadits di atas. Kalau ada yang berargumen bahwa ada hadits lain yang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas c, ia berkata:



Sesungguhnya Rasulullah n melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan2.
Maka penjelasannya sebagai berikut: Ha-dits:  telah diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah n yaitu Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit, dan Ibnu ‘Abbas g. Semuanya membawakan dengan bentuk mubalaghah:  , kecuali satu riwayat dari hadits Ibnu ‘Abbas c dari jalan Abu Shalih maula Ummu Hani’ bintu Abi Thalib xdibawakan dengan lafadz:

Kita perhatikan lafadznya tidak berbentuk mubalaghah. Namun perlu diketahui, rawi yang berkunyah Abu Shalih ini bernama Badzan atau Badzam. Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t: “Ia perawi yang dha’if (lemah).” (Taqribut Tahdzib, hal. 59, no. 634)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Ia dha’if menurut jumhur nuqqad3. Tidak ada seorang pun yang mentsiqahkannya kecuali Al-’Ijli sebagaimana dikatakan Al-Hafizh dalam At-Tahdzib, bahkan Isma’il bin Abi Khalid dan Al-Azdi mendustakannya. Sebagian yang lain menjelekkannya dengan suka berbuat tadlis. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, hadits no. 225, hal. 393-394 dan Al-Irwa`, 3/212)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa yang shahih dari hadits ini hanyalah yang menyebutkan lafadz mubalaghah karena bersepakatnya hadits Abu Hurairah dan hadits Hasan c. Bahkan disepakati pula oleh hadits Ibnu ‘Abbas c dalam riwayat dari kebanyakan perawi, walaupun padanya ada kelemahan sehingga tidak pantas dijadikan sebagai syahid (pendukung), namun tidak menjadi masalah, kata Asy-Syaikh Al-Albani t. Dengan demikian yang dilaknat dari hadits tersebut adalah wanita-wanita yang banyak melakukan ziarah kubur. Adapun yang tidak sering maka tidaklah masuk dalam laknat tersebut.
Sekarang menjadi jelaslah ketidak-bolehan mempertentangkan hadits ini dengan hadits-hadits yang menunjukkan disunnah-kannya ziarah kubur bagi wanita. Karena hadits ini khusus (hanya tertuju bagi wanita yang sering melakukan ziarah), sedangkan hadits tentang sunnahnya ziarah kubur adalah umum. Maka, masing-masingnya diamalkan sesuai tempatnya. Mengumpulkan dalil-dalil yang ada adalah lebih utama daripada menganggap adanya naskh (adanya dalil yang dihapus hukumnya). (Lihat Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 235-237)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Laknat yang disebutkan dalam hadits hanyalah ditujukan kepada para wanita yang banyak ziarah kubur karena dalam hadits disebutkan dengan bentuk mubalaghah. Sebab pelarangannya mungkin karena bila wanita sering ziarah kubur akan mengantarkannya untuk menyia-nyiakan hak suami dan keluar dengan tabarruj. Di samping juga akan muncul teriakan-teriakan/suara keras dari si wanita di sisi kubur dan semisalnya. Dan dinyatakan bahwa bila aman dari terjadinya semua itu maka tidak ada larangan memberi izin kepada mereka untuk datang ziarah ke kubur, karena mengingat kematian dibutuhkan bagi laki-laki dan juga bagi wanita.” (Fathul Bari, 3/190)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata mengomentari ucapan Al-Imam Al-Qurthubi di atas: “Ucapan ini sepantasnya dijadikan sebagai sandaran/pegangan dalam mengumpulkan di antara hadits-hadits dalam pembahasan ini yang secara dzahir terlihat saling bertentangan.” (Nailul Authar, 4/147)
Ketiga: Keumuman sabda Nabi n:

“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.”4
Sehingga termasuk di dalamnya perintah kepada kaum wanita. Karena ketika pada awalnya Nabi n melarang ziarah kubur, tidak diragukan bahwa larangan itu umum mencakup laki-laki dan perempuan. Tatkala beliau nyatakan: dipahami bahwa beliau juga menujukan pembicaraan kepada laki-laki dan perempuan. Maka bila kalimat yang awal ini ditujukan bagi laki-laki dan perempuan berarti kalimat selanjutnya, yaitu: juga ditujukan kepada kedua jenis tersebut.
Yang memperkuat keterangan di atas adalah kelanjutan dari hadits ini, seperti tersebut dalam riwayat Muslim dari hadits Buraidah z yang telah disebutkan di atas:

“Dan aku pernah melarang kalian untuk menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari, maka sekarang tahanlah (simpanlah) berapa hari yang kalian inginkan. Aku pernah melarang kalian dari nabidz5 kecuali yang di dalam bejana tempat minum, maka sekarang minumlah yang ada di dalam bejana tempat minum seluruhnya dan jangan kalian meminum minuman yang memabukkan.”
Asy-Syaikh Al-Albani t mengatakan: “Semua perbuatan yang disebutkan dalam hadits di atas, pembicaraannya ditujukan kepada dua jenis (laki-laki dan perempuan) secara pasti, sebagaimana sasaran pembicaraan pada kalimat yang awal: . Bila dikatakan sasaran pembicaraan pada sabda Nabi n: itu hanya khusus bagi laki-laki, niscaya akan rusak/kacau susunan kalimat yang ada dan akan hilang kesegarannya. Ini merupakan perkara yang tidak pantas bagi sang pemilik jawami’ul kalim6 (yakni Rasulullah n).” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 229)
Keempat: Berserikatnya perempuan dengan laki-laki dalam tujuan disyariatkannya ziarah kubur, yaitu melunakkan hati, mengalirkan air mata, mengingatkan pada kematian dan hari akhir.
Kelima: Pemahaman Aisyah x dalam masalah ini. Bahkan ia sendiri melakukan ziarah kubur, sebagaimana diberitakan Abdullah ibnu Abi Mulaikah: “Suatu hari Aisyahx datang dari pekuburan, maka aku berkata kepadanya: “Wahai Ummul Mukminin! Dari mana engkau datang?”
Aisyah x menjawab: “Dari kubur saudaraku Abdurrahman bin Abi Bakar.” “Bukankah Rasulullah n melarang melakukan ziarah kubur?” tanyaku.
“Iya, kemudian beliau perintahkan untuk ziarah kubur,” jawab ‘Aisyah x.
(HR. Al-Hakim 1/376, Al-Baihaqi 4/78 dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Al Irwa‘, no. 775)
Suatu hari Muhammad bin Qais bin Makhramah ibnul Muthallib berkata: “Maukah aku beritakan kepada kalian tentang aku dan ibuku?” Perawi yang mendengar ucapan itu berkata: “Kami menyangka bahwa yang dimaksudkan oleh Muhammad bin Qais adalah ibu yang melahirkannya.” Namun ternyata Muhammad bin Qais berkata: “Aisyah x berkata: ‘Maukah aku ceritakan kepada kalian tentang aku dan Rasulullah n?’
‘Tentu kami mau,’ jawab kami
‘Aisyah x pun mulai bercerita: ‘Suatu ketika, di malam giliranku, Rasulullah n meletakkan rida`-nya, melepas kedua sandalnya dan meletakkannya di sisi kedua kakinya. Lalu beliau membentangkan ujung sarungnya di atas tempat tidurnya, setelahnya beliau pun berbaring. Tidak berapa lama sekadar beliau menyangka aku telah tertidur, beliau bangkit lalu mengambil rida`-nya dengan perlahan dan mengenakan sandalnya dengan perlahan, kemudian membuka pintu dan keluar, setelahnya pintu ditutup kembali dengan perlahan. Aku pun bangkit dan mengenakan pakaianku, menutup kepalaku dan menutup wajahku dengan sarung. Kemudian aku mengikuti jejak beliau, hingga sampai di pekuburan Baqi’. Rasulullah n berdiri lama lalu mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian beliau berbalik, akupun berbalik. Beliau bersegera, aku pun bersegera. Beliau berlari kecil, akupun berlari kecil. Beliau berlari lebih cepat, aku pun melakukan yang sama, hingga aku dapat mendahului beliau lalu segera masuk ke dalam rumah. Belum lama aku merebahkan tubuhku, beliau masuk. Melihat keadaanku beliau bertanya heran: ‘Ada apa dengan dirimu, wahai ‘Aisy? Kulihat nafasmu memburu.’
‘Tidak apa-apa,’ kilahku.
‘Beritahu aku, atau Allah yang akan mengabarkan kepadaku!’ ancam beliau.
Aku pun menceritakan kejadian yang baru berlangsung. Mendengar penuturanku, beliau berkata: ‘Berarti engkau adalah sosok yang aku lihat di hadapanku tadi?’
‘Iya,’ jawabku.
Beliau mendorong dadaku dengan kuat hingga membuatku kesakitan. Kemudian beliau bersabda: ‘Apakah engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan berbuat tidak adil terhadapmu7?’
‘Aisyah x berkata: ‘Bagaimana pun manusia menyembunyikannya niscaya Allah mengetahuinya. Memang semula aku menyangka demikian.’
Rasulullah n menjelaskan: ‘Jibril datang menemuiku saat itu. Dia memanggilku, maka aku pun menyembunyikannya darimu. Aku penuhi panggilannya karena Jibril tidak mungkin masuk ke kamar ini sementara engkau telah melepaskan pakaianmu. Dan tadi aku menyangka engkau sudah tidur maka aku tidak ingin membangunkanmu, karena aku khawatir engkau akan merasa sendiri dalam sepi di kegelapan malam. Jibril berkata kepadaku saat itu: ‘Sesungguhnya Rabbmu memerintahkanmu untuk mendatangi pekuburan Baqi’ guna memintakan ampun bagi penghuninya.’
‘Aisyah x berkata: ‘Apa yang aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?’
Beliau mengajarkan: ‘Katakanlah:

“Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah menda-hului kami dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul kalian.” (HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda Dukhulil Qubur wad Du’a li Ahliha)
Hadits ini dijadikan dalil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam kitab At-Talkhish (2/702) untuk menyatakan bolehnya ziarah kubur bagi wanita. Demikian dzahir yang ditunjukkan oleh hadits ini, sebagaimana ia mendukung pendapat yang menyatakan rukhshah ziarah kubur setelah pelarangan juga mencakup wanita. Karena kisah yang disebutkan di atas terjadi di Madinah, saat Rasulullah n telah kumpul dengan Aisyah x. Sedangkan larangan ziarah kubur ditetapkan ketika Rasulullah n masih tinggal di Makkah. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Kami memastikan hal ini walaupun kami tidak mengetahui tarikh yang memperkuatnya, karena penarikan kesimpulan yang shahih yang menjadi saksi/pendukungnya, yaitu ucapan Rasulullah n:  (Dahulu aku melarang kalian). Tidaklah bisa dinalar larangan semisal ini ditetapkan di masa Madani (ketika beliau telah menetap di Madinah), bukan di masa Makki (saat beliau masih tinggal di Makkah), di mana saat beliau tinggal di Makkah mayoritas hukum yang ditetapkan adalah yang berkaitan dengan tauhid dan aqidah. Sementara larangan ziarah kubur termasuk pembahasan tauhid/aqidah karena larangan dimaksudkan sebagai penutup jalan/perantara yang mengantarkan kepada kesyirikan. Pensyariatan larangan ziarah kubur ini hanyalah cocok diterapkan di masa Makki karena manusia ketika itu baru saja masuk Islam dan baru saja meninggalkan kesyirikan. Sehingga Nabi n pun melarang mereka ziarah kubur agar tidak menjadi perantara kepada syirik. Sampai ketika tauhid telah kokoh dalam dada-dada mereka dan mereka mengetahui jenis-jenis syirik yang berlawanan dengan tauhid, beliau n pun mengizinkan mereka berziarah. Adapun kalau dianggap beliau membiarkan mereka terus melakukan ziarah sepanjang masa Makki sebagaimana kebiasaan mereka, kemudian baru beliau larang setelah di Madinah, maka anggapan ini sangat jauh dari hikmah syariat. Karena itulah kami memastikan bahwa larangan tersebut ditetapkan di Makkah. Bila demikian keadaannya, izin beliau n kepada ‘Aisyah x untuk berziarah kubur di Madinah merupakan dalil yang jelas atas apa yang telah kami sebutkan. Maka perhatikanlah, karena ini adalah sesuatu yang membekas dalam jiwa. Sementara aku belum pernah melihat ada orang yang mensyarah/ menjelaskan masalah ini sebagaimana sisi yang aku jelaskan. Kalau aku benar maka itu datangnya dari Allah, adapun bila aku salah maka itu semata dari diriku sendiri.” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 232-233)
Keenam: Persetujuan Nabi n terhadap seorang wanita yang berada di sisi kuburan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas z:

Nabi n melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, maka Nabi pun menasehati si wanita: “Bertakwalah engkau kepada Allah9 dan bersabarlah.”
Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasehatinya: “Menjauhlah dariku,  karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan –pen.)”
Dikatakanlah kepada si wanita: “Yang menasehatimu adalah Nabi n.” Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi n dan tidak didapatkannya penjaga pintu di sisi (pintu) Nabi n. “Aku tadi tidak mengenalmu,” katanya menyampaikan uzur.
Nabi bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.” 10
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah Nabi n tidak mengingkari duduknya si wanita di sisi kuburan dan persetujuannya ini merupakan hujjah.” (Fathul Bari, 3/190)
Al-’Aini t berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya ziarah kubur secara mutlak. Sama saja baik yang berziarah itu laki-laki atau wanita, dan sama saja baik kubur yang diziarahi itu adalah kubur seorang muslim atau orang kafir11, karena tidak adanya perincian dalam hal ini.” (Al-’Umdah, 3/76)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Apa yang ditunjukkan dalam hadits (Anas) berupa kebolehan ziarah kubur bagi wanita merupakan makna yang langsung dipahami dari hadits tersebut. Namun penunjukan itu barulah sempurna apabila kisah ini tidak terjadi sebelum adanya pelarangan ziarah kubur12. Dan inilah yang nampak, apabila kita mengingat penjelasan yang telah lewat bahwasanya larangan ziarah kubur terjadi di Makkah. Sementara kisah yang diriwayat-kan oleh Anas bin Malik z ini, -dan dia adalah Madani (orang Madinah), yang ketika berusia sepuluh tahun dia dibawa oleh ibunya Ummu Sulaim x ke hadapan Nabi n saat beliau hijrah ke Madinah-, terjadi di Madinah. Maka kuatlah penetapan yang ada, bahwa kisah ini terjadi setelah adanya larangan ziarah kubur13. Dengan demikian sempurnalah pendalilan dari hadits ini untuk menunjukkan bolehnya ziarah kubur (bagi wanita). Adapun ucapan Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Tahdzibus Sunan (4/350): “Takwa kepada Allah14 adalah mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, di antara sejumlah larangan-Nya adalah larangan ziarah kubur (bagi wanita)15.” Maka ucapan beliau ini benar bila seandainya si wanita mempunyai ilmu tentang dilarangnya ziarah kubur bagi wanita dan larangan itu berlaku terus-menerus, tidak dihapus (dengan kebolehan ziarah kubur yang datang kemudian). Bila demikian keadaannya tepatlah ucapan beliau: “… di antara sejumlah larangan-Nya adalah larangan ziarah kubur (bagi wanita).” Namun sebenarnya ini adalah pendalilan yang tidak tepat. Karena, kalau larangan itu berlaku terus-menerus niscaya Rasulullah n akan melarang si wanita dari ziarah kubur secara terang-terangan, dan beliau akan menerangkannya kepada si wanita. Beliau tidak akan mencukupkan dengan memerintahkannya bertakwa kepada Allah dalam bentuk yang umum. Ini jelas sekali insya Allah.” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 234-235)
Ibnu Hazm t menyatakan ziarah kubur itu sunnah, baik bagi laki-laki maupun bagi wanita. (Al-Muhalla, 3/388)

Wanita Dilarang Sering Ziarah Kubur
Sekalipun ziarah kubur dibolehkan bagi wanita namun tidak diperkenankan bagi mereka untuk banyak atau sering melakukannya. Karena perbuatan demikian akan mengantarkannya untuk melakukan perkara yang menyelisihi syariat misalnya berteriak-teriak di kuburan, keluar dengan tabarruj, menjadikan kuburan sebagai tempat rekreasi/piknik, menyia-nyiakan waktu dengan obrolan yang sia-sia di sisi kubur, dan sebagainya, sebagaimana banyak kita saksikan di negeri kita ini. Wanita yang banyak dan sering berbolak-balik ke kuburan inilah yang dituju oleh hadits:

“Sesungguhnya Rasulullah n melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab

Catatan Kaki:

1 HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja‘a fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa’, Ibnu Majah no. 1576, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja‘a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa‘ Al-Qubur. Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa‘ul Ghalil no. 762.
2 HR. An-Nasa‘i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur
3 Ulama yang ahli dalam mengkritik kelemahan yang ada pada hadits
4 HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi n Rabbahu U fi Ziyarati Qabri Ummihi
5 Minuman yang dibuat dari tamr/ kurma kering, anggur kering, madu, gandum dan selainnya (An-Nihayah, hal. 881)
6 Rasulullah n berbicara dengan ucapan yang ringkas/pendek, sedikit lafadznya namun banyak maknanya. (Fathul Bari, 13/304)
7 Dengan pergi ke tempat istri yang lain sementara malam ini adalah malam giliranmu. –pent
8 makna asalnya adalah pukulan pada sesuatu yang keras, kemudian digunakan secara majaz pada segala yang dibenci/tidak disukai yang terjadi dengan tiba-tiba. (Syarhu Muslim, 6/227)
9 Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Yang dzahir di sini, tangisan si wanita melebihi perkara yang dibolehkan berupa niyahah dan selainnya. Karena itulah Nabi n memerintahkannya untuk bertakwa (kepada Allah).” (Fathul Bari, 3/184)
10 HR. Al-Bukhari no. 1283, kitab Al-Jana`iz, bab Ziyaratul Qubur dan Muslim no. 626
11 Nabi n pernah menziarahi kubur ibunya, padahal sang ibu meninggal dalam keadaan musyrik dan kafir. Abu Hurairah z berkata:
“Nabi n menziarahi kubur ibunya, maka beliau menangis dan tangis beliau membuat orang-orang yang ada di sekitar beliau ikut menangis. Beliau n bersabda: ‘Aku minta izin kepada Rabbku untuk memintakan ampun bagi ibuku namun Rabbku tidak mengizinkannya. Dan aku pun minta izin untuk menziarahi kuburan ibuku maka untuk yang ini Rabbku mengizinkannya. Maka ziarahilah kuburan karena ziarah kubur itu akan mengingatkan kepada kematian.” (HR. Muslim no. 2255, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzan An-Nabi n Rabbahu U fi Ziyarati Qabri Ummihi)
12 Yakni kisah ini terjadi setelah disyariatkannya ziarah kubur.
13 Yaitu ketika ziarah kubur telah disyariatkan setelah sebelumnya dilarang.
14 Demikian yang diperintahkan Nabi n kepada si wanita yang sedang menangis di sisi kuburan.
15 Ibnul Qayyim t memaksudkan ziarah kubur itu dilarang bagi wanita.

Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 022
http://asysyariah.com/hukum-ziarah-kubur-bagi-wanita-bagian-2.html
READ MORE - ** Hukum Ziarah Kubur bagi Wanita (bagian 2) **