-
.

30 Des 2012

Multi Niat...Multi Pahala..

Sungguh umur kita sangat terbatas…, harus kita akui bahwa waktu yang kita gunakan untuk beramal sholeh sangat sedikit…berbeda dengan waktu yang kita gunakan untuk urusan dunia. Kita butuh strategi dalam beramal agar dengan amal yang terbatas kita bisa meraih pahala yang lebih banyak.

Diantara strategi yang mungkin bisa kita lakukan adalah memperbanyak niat yang baik dalam satu amalan. Semakin banyak niat baik yang diniatkan oleh seorang hamba maka semakin banyak pahala yang akan ia peroleh.

Beberapa perkara yang penting untuk diingat kembali :

Pertama : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إنّمَا الأَعْمَالُ بالنِّيّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امرِىءٍ مَا نَوَى

"
Hanyalah amalan-amalan tergantung pada niat-niat. Dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan" (HR Al-Bukhari no 1 dan Muslim no 1907)

Dan keumuman hadits ini menunjukkan seseorang mendapatkan ganjaran berdasarkan niatnya, maka jika ia berniat banyak ia akan mendapatkan banyak pahala.



Kedua : Sekedar niat yang kuat maka telah mendatangkan pahala

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

فَمَنْ هَمَّ بحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كَتَبَها اللهُ تَبَارَكَ وتَعَالى عِنْدَهُ حَسَنَةً كامِلَةً، وَإنْ هَمَّ بهَا فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عَشْرَ حَسَناتٍ إِلى سَبْعمئةِ ضِعْفٍ إِلى أَضعَافٍ كَثيرةٍ

“Barangsiapa berniat untuk melakukan kebaikan lalu tidak jadi melakukannya maka Allah tabaaraka wa ta’ala mencatat disisi-Nya satu kebaikan sempurna, dan jika ia berniat untuk melakukannya lalu melakukannya maka Allah mencatatnya sepuluh  kebaikan sampai tujuh puluh kali lipat sampai berlipat-lipat yang banyak.”
(HR Al-Bukhari no 6491 dan Muslim no 128)

Tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pulang dari perang Tabuk dan telah dekat dengan Madinah beliau berkata:

إِنَّ بالمدِينَةِ لَرِجَالًا ما سِرْتُمْ مَسِيرًا، وَلاَ قَطَعْتُمْ وَادِيًا، إلاَّ كَانُوا مَعَكمْ حَبَسَهُمُ الْمَرَضُ». وَفي روَايَة: «إلاَّ شَرَكُوكُمْ في الأجْرِ

“Sesungguhnya di Madinah ada para laki-laki yang mana tidaklah kalian menempuh perjalanan tidak pula melewati lembah melainkan mereka bersama kalian, sakit telah menghalangi mereka.” Diriwayat yang lain “…melainkan mereka berserikat dengan kalian dalam pahala”
(HR Al-Bukhari no 4423 dan Muslim no 1911)

Rasulullah juga bersabda :

«مَنْ سَألَ اللهَ تَعَالَى الشَّهَادَةَ بِصِدْقٍ بَلَّغَهُ اللهُ مَنَازِلَ الشُّهَدَاءِ، وَإنْ مَاتَ عَلَى فِرَاشِهِ»

“Barangsiapa meminta kepada Allah mati syahid dengan (penuh -pent) kejujuran maka Allah akan menyampaikannya pada kedudukan syuhada walaupun ia mati di atas tempat tidurnya ” (HR Muslim no 1909)

Rasulullah juga bersabda:

إنَّمَا الدُّنْيَا لأرْبَعَةِ نَفَرٍ: عَبْدٍ رَزَقَهُ اللهُ مَالًا وَعِلمًا، فَهُوَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَيَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَيَعْلَمُ للهِ فِيهِ حَقًّا، فَهذا بأفضَلِ المَنَازِلِ. وَعَبْدٍ رَزَقهُ اللهُ عِلْمًا، وَلَمْ يَرْزُقْهُ مَالًا، فَهُوَ صَادِقُ النِّيَّةِ، يَقُولُ: لَوْ أنَّ لِي مَالًا لَعَمِلتُ بِعَمَلِ فُلانٍ، فَهُوَ بنيَّتِهِ، فأجْرُهُمَا سَوَاءٌ. وَعَبْدٍ رَزَقَهُ الله مَالًا، وَلَمَ يَرْزُقْهُ عِلْمًا، فَهُوَ يَخبطُ في مَالِهِ بغَيرِ عِلْمٍ، لاَ يَتَّقِي فِيهِ رَبَّهُ، وَلاَ يَصِلُ فِيهِ رَحِمَهُ، وَلاَ يَعْلَمُ للهِ فِيهِ حَقًّا، فَهذَا بأَخْبَثِ المَنَازِلِ. وَعَبْدٍ لَمْ يَرْزُقْهُ اللهُ مَالًا وَلاَ عِلْمًا، فَهُوَ يَقُولُ: لَوْ أنَّ لِي مَالًا لَعَمِلْتُ فِيهِ بعَمَلِ فُلاَنٍ، فَهُوَ بنِيَّتِهِ، فَوِزْرُهُمَا سَوَاءٌ

Sesungguhnya dunia ini untuk empat orang: seorang hamba yang telah Allah anugerahi harta dan ilmu maka iapun mentaati Rabbnya pada (*penggunaan) harta dan ilmunya, menyambung silaturahim, dan mengetahui pada ilmu dan hartanya tersebut ada hak Allah, maka orang ini berada pada kedudukan yang paling utama. Dan seorang hamba yang Allah anugerahi ilmu akan tetapi tidak Allah anugerahi harta maka iapun mempunyai niat yang benar, ia berkata “Seandainya aku memiliki harta sungguh aku akan beramal sebagaimana amalan fulan", maka ia dengan niatnya pahala keduanya sama. Dan seorang hamba yang Allah anugerahi harta akan tetapi tidak Allah anugerahi ilmu maka iapun ngawur menggunakan hartanya tanpa ilmu. Ia tidak mentaati Rabbnya pada hartanya, tidak pula menyambung silaturahim, tidak mengetahui bahwasanya pada hartanya itu ada hak Allah. Maka orang ini berada pada tingakatan paling buruk. Dan seorang hamba yang tidak Allah anugerahi harta maupun ilmu maka iapun berkata, “Seandainya aku memiliki harta tentu aku akan menggunakan hartaku sebagaimana perbuatan si fulan” maka ia dengan niatnya dosa keduanya sama” (HR At-Thirmidzi no 2325)



Ketiga : Jika seorang telah berniat lalu berusaha beramal dan ternyata amalannya tidak sesuai dengan yang ia niatkan maka ia tetap mendapatkan pahala

وعن أبي يَزيدَ مَعْنِ بنِ يَزيدَ بنِ الأخنسِ - رضي الله عنهم - وهو وأبوه وَجَدُّه صحابيُّون، قَالَ: كَانَ أبي يَزيدُ أخْرَجَ دَنَانِيرَ يَتَصَدَّقُ بِهَا، فَوَضعَهَا عِنْدَ رَجُلٍ في الْمَسْجِدِ، فَجِئْتُ فأَخذْتُها فَأَتَيْتُهُ بِهَا. فقالَ: واللهِ، مَا إيَّاكَ أرَدْتُ، فَخَاصَمْتُهُ إِلى رسولِ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - فقَالَ: «لكَ مَا نَوَيْتَ يَا يزيدُ، ولَكَ ما أخَذْتَ يَا مَعْنُ»

Dari Abu Yazid Ma’an bin  Yazid bin Akhnas radhiyallahu ‘anhum –dia, bapaknya dan kakeknya adalah sahabat Nabi-, dia berkata, “Dulu Abu Yazid mengeluarkan dinar-dinar untuk disedekahkan, maka iapun meletakkannya  di samping seseorang di masjid, maka akupun datang dan mengambilnya. Kemudian aku mendatanginya dengan membawa sedekah tersebut”, ia berkata, “Demi Allah, yang aku inginkan bukan engkau.” Maka aku pun mengadukannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Bagimu apa yang kamu niatkan wahai Yazid dan bagimu apa yang kamu ambil wahai Ma’an ” (HR Al-Bukhari no 1422)

Sang ayah tidak bermaksud sedekahnya diberikan kepada sang anak, akan tetapi Allah menetapkan bagai sang ayah pahala karena niatnya yang baik, meskipun akhirnya harta sedekah tersebut kembali kepada sang ayah. Karena sang anak di bawah tanggungan sang ayah

Rasulullah juga bersabda :

قاَلَ رَجُلٌ لَأَتَصَدَّقَنَّ اللَّيْلَةَ بِصَدَقَةٍ، فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ زَانِيَةٍ فَأَصْبَحُوْا يَتَحَدَّثُوْنَ تُصُدِّقَ اللَّيْلَةَ عَلَى زَانِيَةٍ قَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ، لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ غَنِيٍّ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُوْنَ تُصُدِّقَ عَلَى غَنِي قَالَ اللَّهُمَّ لك الْحَمْدُ عَلَى غَنِيٍّ لَأَتَصَدَّقَنَّ بِصَدَقَةٍ فَخَرَجَ بِصَدَقَتِهِ فَوَضَعَهَا فِي يَدِ سَارِقٍ فَأَصْبَحُوا يَتَحَدَّثُوْنَ تُصُدِّقَ عَلَى سَارِقٍ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ عَلَى زَانِيَةٍ وَعَلَى غَنِيٍّ وَعَلَى سَارِقٍ فَأُتِيَ فَقِيْلَ لَهُ : أَمَّا صَدَقَتُكَ فَقَدْ قُبِلَتْ أَمَّا الزَّانِيَةُ فَلَعَلَّهَا تَسْتَعِفُّ بِهَا عَنْ زِنَاهَا وَلَعَلَّ الْغَنِيُّ يَعْتَبِرُ فَيُنْفِقُ مِمَّا أَعْطَاهُ اللهُ وَلَعَلَّ السَّارِقَ يَسْتَعِفُّ بِهَا عَنْ سَرِقَتِهِ

Seseorang telah berkata, ‘Sungguh aku akan bersedekah malam ini.’ Kemudian ia keluar untuk bersedekah maka ia menyedekahkannya ke tangan seorang pezina. Pada keesokan harinya, orang-orang membicarakan (bahwa) sedekah telah diberikan kepada seorang pezina. Ia berkata, “Yaa Allah, segala puji bagiMu, sedekahku (ternyata) jatuh pada seorang pezina, sungguh aku akan bersedekah". Kemudian ia keluar untuk bersedekah maka ia menyedekahkannya kepada orang kaya. Pada keesokan harinya, orang-orang membicarakan (bahwa) sedekah telah diberikan kepada orang kaya. Ia berkata, “Yaa Allah, segala puji bagiMu, sedekahku (ternyata) jatuh pada seorang kaya, sungguh aku akan bersedekah". Kemudian ia keluar untuk bersedekah maka ia menyedekahkannya kepada pencuri. Pada keesokan harinya, orang-orang membicarakan (bahwa) sedekah telah diberikan kepada seorang pencuri. Ia berkata, “Yaa Allah, segala puji bagiMu, sedekahku (ternyata) jatuh pada seorang pezina, orang kaya, dan seorang pencuri”. Maka ia didatangi (*dalam mimpi) dan dikatakan padanya, adapun sedekahmu maka telah diterima, adapun pezina  mudah-mudahan dengan (sebab sedekahmu) ia mejaga diri dari zina, dan mudah-mudahan orang kaya tersebut mengambil pelajaran kemudian menginfakkan harta yang Allah berikan, dan mudah-mudahan dengan sebab itu pencuri tersebut menjaga diri dari mencuri. (HR Muslim no 1022)



Keempat : Niat yang baik merubah pekerjaan yang asalnya hukumnya hanya mubah menjadi suatu qurbah (ibadah) yang diberi ganjaran oleh Allah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Sa'ad bin Abi Waqqoosh radhiallahu 'anhu

وَإنَّكَ لَنْ تُنفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغي بِهَا وَجهَ اللهِ إلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا حَتَّى مَا تَجْعَلُ في فِيِّ امْرَأَتِكَ

"Sesungguhnya tidaklah engkau menginfakkan satu infakpun yang dengan infak tersebut engkau mengharapkan wajah Allah kecuali engkau akan diberi ganjaran atasnya, sampai-sampai suapan yang kau suapkan ke mulut istrimu” (HR Al-Bukhari no 56 dan Muslim no 1628

Mu'aadz bin Jabal radhiallahu 'anhu berkata,

أَمَّا أَنَا فَأَنَامُ وَأَقُومُ وَأَرْجُو فِي نَوْمَتِي مَا أَرْجُو فِي قَوْمَتِي.

"Adapun aku, maka aku tidur dan sholat malam, dan aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana pahala yang aku harapkan dari sholat malamku" (HR Al-Bukhari no 6923 dan Muslim no 1733)

An-Nawawi berkata, "Maknanya adalah aku tidur dengan niat untuk menguatkan diriku dan berkonsentrasi untuk ibadah serta menyegarkan/menyemangatkan diri untuk ketaatan, maka aku berharap pahala pada tidurku ini sebagaimana aku berharap pahala pada sholat-sholatku" (Al-Minhaaj syarh Shahih Muslim 12/209)

Ibnu Hajr berkata,

وَمَعْنَاهُ: أَنَّهُ يَطْلُب الثَّوَاب فِي الرَّاحَة كَمَا يَطْلُبهُ فِي التَّعَب, لِأَنَّ الرَّاحَة إِذَا قُصِدَ بِهَا الْإِعَانَة عَلَى الْعِبَادَة حَصَّلَتْ الثَّوَاب

"Maknanya adalah ia mencari ganjaran pahala dalam istirahat sebagaimana ia mencarinya dalam kelelahan (ibadah), karena istirahat jika dimaksudkan untuk membantu dalam beribadah maka akan mendatangkan pahala" (Fathul Baari 8/62)

Ibnu Qudaamah berkata : Sebagian para salaf berkata, “Sungguh aku lebih senang jika pada setiap yang aku lakukan terdapat sebuah niat, sampai-sampai pada makanku, minumku, tidurku, dan ketika masuk ke dalam wc, serta pada semua yang bisa diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah". Karena semua yang menjadi sebab tegaknya badan dan luangnya hati adalah bagian dari kepentingan agama, maka, siapa saja yang meniatkan makannya sebagai bentuk ketakwaan dalam beribadah, menikah untuk menjaga agamanya, menyenangkan hati keluarganya, dan agar bisa memiliki anak yang menyembah Allah setelah wafatnya maka ia akan diberi pahala atas semua hal itu. Jangan kamu remehkan sedikitpun dari gerakanmu dan kata-katamu, dan hisablah dirimu sebelum engkau dihisab, dan luruskanlah sebelum engkau melakukan apa yang engkau lakukan, dan juga perhatikanlah niatmu terhadap hal-hal yang engkau tinggalkan. (Mukhtashor Minhaaj Al-Qooshidiin hal 363)



Contoh praktek Multi Niat Pada Satu Amalan Sholeh



Ibnu Qudaamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata :

الطاعات، وهى مرتبطة بالنيات في أصل صحتها، وفى تضاعف فضلها، وأما الأصل، فهو أن ينوى عبادة الله تعالى لا غير، فإن نوى الرياء صارت معصية . وأما تضاعف الفضل، فبكثرة النيات الحسنة، فإن الطاعة الواحدة يمكن أن ينوى بها خيرات كثيرة، فيكون له بكل نية ثواب، إذ كل واحدة منها حسنة، ثم تضاعف كل حسنة عشر أمثالها

"Ketaatan-ketaatan berkaitan dengan niat dari sisi sahnya ketaatan tersebut dan dari sisi berlipat gandanya ganjaran/pahala ketaatan tersebut. Adapun dari sisi sahnya maka hendaknya ia berniat untuk beribadah kepada Allah saja dan bukan kepada selain-Nya, jika ia meniatkan riyaa maka ketaatan tersebut berubah menjadi kemaksiatan.

Adapun dari sisi berlipat gandanya pahala, yaitu dengan banyaknya niat-niat baik. Karena satu ketaatan memungkinkan untuk diniatkan banyak kebaikan, maka baginya pahala untuk masing-masing niat. Karena setiap niat merupakan kabaikan, kemudian setiap kebaikan akan dilipat gandakan menjadi 10 kali lipat" (Mukhtashor Minhaaj Al-Qosshidiin hal 362)



Diantara contoh praktek menggandakan niat-niat kebaikan dalam satu amalan adalah :

Pertama : Duduk di mesjid

Ibnu Qudaamah berkata :

“Sebagai contoh duduk di masjid, maka sesungguhnya hal itu adalah salah satu amalan ketaatan, dengan hal itu seseorang bisa meniatkan niat yang banyak seperti meniatkan dengan masuknya menunggu waktu sholat, iktikaf, menahan anggota badan (dari maksiat –pent), menolak hal-hal yang memalingkan dari Allah dengan mempergunakan seluruh waktunya untuk di masjid, untuk dzikir kepada Allah dan yang semisalnya. Inilah cara untuk memperbanyak niat maka qiyaskanlah dengan hal ini amalan-amalan ketaatan lainnya karena tidak ada satu ketaatanpun melainkan dapat diniatkan dengan niat yang banyak.” (Mukhtashor Minhaaj Al-Qosshidiin hal 362 )



Kedua : Menuntut Ilmu

Imam Ahmad berkata :

الْعِلْمُ أَفْضَلُ الأَعْمَالِ لِمَنْ صَحَّتْ نِيَّتُهُ، قِيْلَ : بِأَيِّ شَيْءٍ تَصِحُّ النِّيَّةُ قَالَ: يَنْوِي يَتَوَاضَعُ فِيْهِ وَيَنْفِي عَنْهُ الْجَهْلَ

"Ilmu adalah amalan yang termulia bagi orang yang niatnya benar".

Lalu dikatakan kepada beliau, "Dengan perkara apa agar niat menjadi benar?", Imam Ahmad berkata, "Ia niatkan untuk bersikap tawadhu pada ilmunya, dan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya" (Al-Inshoof 2/116)

Imam Ahmad juga berkata :

العِلْمُ لاَ يَعْدِلُهُ شَيْءٌ لِمَنْ صَحَّتْ نِيَّتُهُ ". قَالُوا: كَيْفَ ذَلِكَ؟ قَالَ: "يَنْوِي رَفْعَ الْجَهْلَ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ غَيْرِهِ

"Tidak ada sesuatupun yang setara dengan ilmu bagi orang yang benar niatnya", mereka berkata, "Bagaimana caranya?". Imam Ahmad berkata, "Yiatu ia berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan juga dari orang lain" (Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Ibnu Al-'Utsaimiin 26/75)

Ilmu menjadi amalan yang paling mulia tatkala dibarengi dengan banyak niat baik, sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad yaitu jika diniatkan untuk agar bisa tawaadhu' dan juga untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya dan juga untuk berdakwah dalam rangka untuk menghilangkan kebodohan dari orang lain.

Syaikh Ibnu Al-'Utsaimin menyebutkan beberapa niat yang hendaknya ditanam dalam hati seorang penuntut ilmu tatkala ia menuntut ilmu, diantaranya ;

-         Berniat untuk menjalankan perintah Allah

-         Berniat untuk menjaga syari'at Islam, karena menuntut ilmu adalah sarana terbesar untuk menjaga kelestarian syari'at (hukum-hukum Islam)

-         Berniat untuk membela agama, karena agama memiliki musuh-musuh yang ingin merusak agama ini, diantaranya dengan menyebarkan syubhat-syubhat

-         Berniat untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya

-         Berniat untuk menghilangkan kebodohan dari orang lain



Ketiga : Tatkala berangkat ke mesjid

Bisa dengan meniatkan perkara-perkara berikut :

1.      Memakmurkan masjid, Allah berfirman "Sesungguhnya orang-orang yang memakmurkan masjid-masjid itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir" (QS At-Taubah : 18)

2.      Senyum kepada saudara, karena hal itu adalah sedekah

3.      Menyebarkan salam

4.      Menghadiri shalat jama’ah

5.      Memperbanyak jumlah kaum muslimin

6.      Berdakwah dijalan Allah

7.      Merasa bangga karena Allah menyebut-nyebut namamu

8.      Menunggu sesaat turunnya ketenangan untuk mengkhusyu’kan hati

9.      Menghadiri majelis-majelis ilmu

10. Menunggu turunnya rahmat

11. Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan wajib dan amalan-amalan sunnah untuk mendapatkan kecintaan Allah



Keempat : Tatkala membaca atau menghafal Al-Qur'an

Dengan meniatkan perkara-perkara berikut :

1.      Berniat untuk mendapat kebaikan pada setiap huruf

2.      Mengingat negeri akhirat

3.      Mentadabburi ayat-ayat al-qur’an

4.      Agar mendapatkan syafa’at al-qur’an

5.      Mendekatkan diri kepada Allah dengan membaca firman-firman-Nya

6.      Mengamalkan hal-hal yang terkandung di dalam al-qur’an

7.      Mengangkat derajat di surga dengan menghafalkan ayat-ayatNya



Kelima : Tatkala menjenguk orang sakit

1.      Berniat untuk menunaikan salah satu hak seorang muslim, yaitu menjenguknya jika sakit

2.      Mengingat Hadits qudsi "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa jika kamu mengunjunginya maka kamu mendapati-Ku disisinya"

3.      Bersyukur kepada Allah atas penjagaan-Nya  terhadap dirinya dari apa-apa yang menimpa saudaranya

4.      Meminta kepada orang yang sakit untuk dido’akan (karena kedekatannya terhadap Robbnya)



Keenam : Ketika puasa sunnah

1.      Mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan-amalan yang paling dicintai-Nya

2.      Agar Allah menjauhkan wajahku dari api neraka sejauh 70 tahun perjalanan

3.      Memerangi hawa nafsu dan menundukkannya untuk melakukan ketaatan

4.      Membelenggu syahwat (meminta penjagaan)

5.      Mengikuti sunnah Rosul shallallhu ‘alaihi wasallam (puasa senin kamis, puasa tengah bulan tgl 13-14-15 )

6.      Memperoleh kemenangan berupa sesaat dikabulkannya do’a bagi orang yang berpuasa

7.      Ikut merasakan apa yang dirasakan orang-orang fakir dan miskin

8.      Agar Allah memasukkan kita ke surga melalui pintu Ar-Rayyan

9.      Barangsiapa yang membuat haus dirinya karena Allah (berpuasa) pada hari yang panas, maka Allah akan memberikan minum pada hari kiamat yang amat panas dan amat menimbulkan dahaga.



Ketujuh : Ketika bersedekah dengan harta

Hendaknya meniatkan:

1.      Barangsiapa menghutangi Allah hutang yang baik maka Dia akan melipatgandakannya.

2.      Berlindung dari neraka walaupun dengan separuh kurma

3.      Membantu dan menyenangkan hati faqir miskin.

4.      Untuk mengobati saudara/kerabat yang saikit. Rasulullah bersada "Obatilah orang-orang sakit diantara kalian dengan sedekah"

5.      Kalian tidak akan mencapai derajat birr (kebajikan) sampai kalian berinfak dengan apa-apa yang kalian cintai

6.      Sedekah menghilangkan kemurkaan Allah



Kedelapan : Tatkala mau poligami

1.      Sebagai bentuk cinta kepada sunnah Nabi

2.      Untuk menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan

3.      Untuk memperbanyak pasukan kaum muslimin

4.      Untuk menyenangkan hati Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala di akhirat, karena Nabi membanggakan umatnya yang banyak di hadapan para nabi-nabi dan umat-umat yang lain. Beliau bersabda:

تَزَوَّجوا الودود الولود؛ فإني مُكَاثِرٌ بكم الأمَم

"Menikahilah wanita yang penyayang dan subur, karena aku akan membanggakan banyaknya kalian di hadapan umat-umat yang lain"

5.      Untuk menolong para wanita yang butuh perhatian para lelaki, terutama para janda

6.      Untuk memberi teladan kepada kaum muslimin jika pologaminya berhasil dan bahagia



Multi Niat Juga Berlaku Pada Perkara-Perkara Mubah


Sebagaimana penjelasan di atas bahwasanya perkara-perkara mubah jika dikerjakan dengan niat yang baik maka bisa berubah menjadi bernilai ibadah. Oleh karenanya sungguh kita telah merugi dan telah membuang banyak waktu dan tenaga dalam urusan dunia jika kita tidak meniatkannya untuk akhirat..terlalu banyak pahala tidak kita raih. Ibnu Qudaamah berkata:

"Tidak ada satu perkara yang mubah kecuali mengandung satu atau beberapa niat yang dengan niat-niat tersebut berubahlah perkara mubah menjadi qurbah (berpahala), sehingga dengannya diraihlah derajat-derajat yang tinggi. Maka sungguh besar kerugian orang yang lalai akan hal ini, dimana ia menyikapi perkara-perkara yang mubah (*seperti makan, minum, dan tidur) sebagaimana sikap hewan-hewan ternak.

Dan tidak selayaknya seorang hamba menyepelekan setiap waktu dan betikan-betikan niat, karena semuanya akan dipertanyakan pada hari kiamat, "Kenapa ia melakukannya?", "Apakah yang ia niatkan?". Contoh perkara mubah yang diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah adalah parfum (minyak wangi), ia memakai minyak wangi dengan niat untuk mengikuti sunnah Nabi, untuk memuliakan masjid, untuk menghilangkan bau tidak enak yang mengganggu orang yang bergaul dengannya" (Mukhtasor minhaaj Al-Qoosidhiin hal 362-363)

Sebagai contoh menggandakan niat dalam perkara-perkara mubah:

Pertama : Tatkala makan dan minum

1.      Untuk menguatkan tubuh agar bisa beribadah kepada Allah

2.      Merenungkan nikmat Allah, sebagai pengamalan firman Allah "Apakah manusia tidak melihat kepada makanannya?" (QS 'Abasa : 24)

3.      Mensyukuri nikmat Allah

4.      Berusaha menerapkan sunnah Nabi tatkala makan dan minum



Kedua : Tatkala memakai pakaian

1.      Mengingat Allah (dengan membaca do’a berpakaian)

2.      Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan mencintai keindahan

3.      Bersyukur atas nikmat Allah

4.      Menghidupkan sunnah nabi melalui cara berpakaian



Ketiga : Tatkala menggunakan internet

1.      Menyeru kepada jalan Allah

2.      Menghadiri majelis-majelis dzikir

3.      Menyebarkan islam

4.      Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai daripada seorang mukmin yang lemah

5.      Menuntut ilmu
Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 5-02-1433 H / 30 Desember 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com
READ MORE - Multi Niat...Multi Pahala..

الإِسْمُ

Setelah pada tulisan sebelumnya kita telah mengetahui macam-macam kalimah atau kata dalam bahasa Arab, yaitu Isim, Fi’il dan Huruf, maka sekarang kita akan lebih jauh membahas tentang macam-macam isim. Pembagian isim bisa banyak sekali tergantung ditinjau dari sudut pandang mana. Namun pada kesempatan ini kita akan membagi isim menjadi 9 macam, karena pembagian ini mewakili seluruh jenis isim ditinjau dari perubahan tandanya ketika kita digunakan di dalam kalimat.



  • Macam-macam isim :
    1. الإِسْمُ الْمُفْرَدُ (Isim Mufrod)
    2. الْمُثَنَّى (Mutsanna)
    3. جَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمُ (Jama’ Mudzakkar Salim)
    4. جَمْعُ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمُ (Jama’ Muannats Salim)
    5. جَمْعُ التَّكْسِيْرِ (Jama’ taksir)
    6. الأَسْمَاءُ الْخَمْسَةُ (Isim-isim yang lima)
    7. الْمَقْصُوْرُ (Isim Maqshur)
    8. الْمَنْقُوْصُ (Isim Mangqush)
    9. الإِسْمُ الَّذِى لايَنْصَرِفُ (Isim yang tidak bisa menerima tanwin)
  •  



  • Penjelasan Macam-Macam Isim

  • 1. الإِسْمُ الْمُفْرَدُ (Isim Mufrod)
    الإِسْمُ الْمُفْرَدُ adalah isim yang menunjukkan makna tunggal.
    Contoh :
    بَيْتٌ (baitun) : (sebuah) rumah
    مَجَلَّةٌ (majallatun) : (sebuah) majalah
    وَلَدٌ (waladun) : (seorang) anak

    2. الْمُثَنَّى (Mutsanna)
    الْمُثَنَّى adalah isim yang menunjukkan makna dua. Cara membuatnya adalah dengan menambahkan Alif (ا )dan Nun (ن) atau Ya’ (ي ) dan Nun (ن) pada akhir dari isim mufrod-nya.
    Contoh :

    بَيْتَانِ
    <— بَيْتٌ(baitaani) atau بَيْتَيْنِ (baitaini) : dua buah rumah

    مَجَلَّتَانِ
    <— مَجَلَّةٌ (majallataani) atau مَجَلَّتَيْنِ (majallataini) : dua buah majalah
    Jadi ada dua bentuk isim mutsanna, yaitu mustanna yang diakhiri dengan Alif dan Nun dan mutsanna yang diakhiri dengan Ya’ dan Nun. Maknanya sama, perbedaannya nanti ada pada kedudukannya dalam kalimat (secara rinci insya Allah akan dibahas pada pelajaran-pelajaran mendatang). Yang perlu diingat bahwa huruf nun-nya senantiasa berbaris bawah (kasroh) dan huruf sebelum alif atau sebelum ya’ senantiasa berbaris atas (fathah)

    3. جَمْعُ الْمُذَكَّرِ السَّالِمُ (Jama’ Mudzakkar Salim)
    جَمْعُ الْمُؤَنَّثِ السَّالِمُ adalah isim yang menunjukkan makna banyak, yakni lebih dari dua dan menunjukkan makna laki-laki. Cara membuatnya adalah dengan menambahkan Wawu (و )dan Nun (ن) atau Ya’ (ي ) dan Nun (ن) pada akhir dari isim mufrod-nya.
    Contoh :
    مُسْلِمُوْنَ <— مُسْلِمٌ (muslimuuna) atau مُسْلِمِيْنَ (muslimiina) : orang-orang muslim

    كَافِرُوْنَ
    <— كَافِرٌ(kaafiruuna) atau كَافِرِيْنَ (kaafiriina) : orang-orang kafir
    Jadi isim jama’ mudzakkar salim juga ada dua bentuk, yakni yang diakhiri dengan Wawu dan Nun dan yang diakhiri dengan Ya’ dan Nun yang keduanya memiliki makna yang sama, penggunaannya nanti tergantung kedudukannya di dalam kalimat. Berbeda dengan mutsanna, pada jama’ mudzakkar salim huruf Nun-nya senantiasa berbaris atas (fathah) kemudian huruf sebelum wawu berbaris dhommah dan huruf sebelum ya’ berbaris bawah (kasroh).



    Bersambung insya Allah
    READ MORE - الإِسْمُ

    29 Des 2012

    Maafkan Kesalahan Saudara Kita,Bergembiralah Akan Karunia Allah Padanya

    embunTermasuk hak-hak persaudaraan adalah memaafkan saudara yang bersalah. Pembahasan ini sangatlah luas. Pembahasan ini merupakan pembahasan yang agung, karena tidaklah ada dua orang sahabat, atau dua orang saudara, atau lebih, kecuali pasti ada di antara mereka yang berbuat kesalahan. Pasti salah satu melihat kesalahan yang lain, ketergelinciran yang lain, dan darinya pasti akan timbul luka, karena mereka adalah manusia, sedangkan manusia pasti bersalah.

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    كُلُّكُمْ خَطَّاءٌ وَخَيْرُ الْخّطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ

    “Masing-masing kalian pasti bersalah dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang bertaubat.”[1]
    Karena itu, termasuk hak-hak persaudaraan adalah engkau maafkan kesalahan saudaramu.
    Kesalahan itu ada dua macam: kesalahan dalam masalah agama dan kesalahan yang menyangkut hakmu. Atau dengan kata lain, kesalahan yang berkaitan dengan hak Allah dan kesalahan yang berkaitan dengan hakmu.

    Jika kesalahan menyangkut masalah agama, apabila saudaramu meninggalkan suatu kewajiban dan bermaksiat maka bentuk maafnya adalah engkau tidak menyiarkan dan membeberkannya. Engkau berusaha untuk meluruskannya karena kecintaanmu kepadanya hanya karena Allah. Dan jika semata-mata karena Allah, maka hendaknya engkau menegakkan saudaramu di atas syari’at dan peribadahan kepada Allah. Ini merupakan konsekuensi cinta karena Allah.

    Menjadi kewajibanmu untuk berusaha meluruskannya. Jika nasihat bisa meluruskannya maka nasihatilah. Jika yang meluruskannya adalah hajr (memutuskan hubungan) maka hajr-lah dia. Hajr ada dua macam: hajr ta’dib (untuk mendidik) dan hajr 'uqubah (sebagai hukuman). Ada hajr untuk kemaslahatanmu dan ada hajr untuk kemaslahatan orang banyak.[2]

    Jika saudaramu melakukan kemaksiatan, apabila hajr bermanfaat baginya, maka hajr-lah dia. Seandainya terjalin persaudaraan dan persahabatan sejati di antara dua orang, salah satu tidak bisa lepas dan membutuhkan yang lain, kemudian salah satunya melihat yang lain berbuat kesalahan sangat besar yang menyangkut hak Allah, sementara ia tahu bahwa jika dia meninggalkan saudaranya yang bersalah maka akan membuat saudaranya bersedih, di mana jika ia bertemu dengannya dengan raut wajah yang tidak biasanya maka akan timbul perasaan di hati saudaranya bahwa ia telah bermaksiat, ia merasa bahwa maksiat tersebut besar, hal ini disebabkan saudaranya tersebut masih membutuhkannya, maka yang seperti ini diterapkan hajr kepadanya. Karena hajr dalam kondisi seperti ini memperbaiki keadaan.

    Adapun jika hajr tersebut tidak bermanfaat maka janganlah dihajr. Sebab, hajr adalah sejenis pengajaran untuk memperbaiki. Karena itu sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bervariasi terhadap orang-orang yang bersalah dan bermaksiat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menghajr sebagian dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghajr sebagian yang lain. Ulama berkata: “Hajr diterapkan kepada orang yang mendapat manfaat kalau ia dihajr, yaitu jika hajr tersebut meluruskannya. Jika tidak, maka tidak diterapkan hajr.”

    Selanjutnya, jika kesalahan tersebut menyangkut hakmu, maka hak ukhuwwah yang pertama adalah jangan engkau besar-besarkan kesalahan tersebut. Lalu datanglah syaitan. Ia hembuskan di hati, ia ulang-ulangi perkataan (saudaranya yang salah), ia ulang-ulangi tindakan (saudaranya yang keliru), sehingga ia pun merasa bahwa kesalahan tersebut sangat besar, kemudian terputuslah tali cinta dan tali persaudaraan yang sebelumnya terjalin. Hubungan itu akhirnya terputus hanya karena dunia, bukan karena Allah.

    Cara mengobati hal ini adalah engkau ingat dan lihat kebaikan-kebaikannya. Engkau katakan kepada dirimu: "Kesalahannya itu merupakan musibah bagiku. Ia salah kepadaku kali ini. Ia telah menghinaku dengan perkataannya -baik di hadapanmu atau dibelakangmu-, namun lihatlah kebaikan-kebaikannya." Ingatlah bagaimana ia telah bergaul denganmu secara baik. Ingatlah persahabatannya yang sejati selama bertahun-tahun silam denganmu atau pada kondisi-kondisi yang lampau. Engkau membesar-besarkan kebaikannya dan meremehkan kesalahannya, sehingga tetap terjalin tali persaudaraan di antara kalian, dan cinta kasih yang telah lama terjalin tidak terputus.


    Hak kedelapan

    Termasuk hak-hak persaudaraan adalah gembira dengan karunia yang Allah berikan kepada saudaranya.

    Allah telah membagi-bagi akhlak-akhlak manusia sebagaimana Dia membagi rizki mereka. Allah memuliakan sebagian mereka di atas sebagian yang lain. Karena itu, hak seseorang terhadap saudaranya, jika Allah memberikan pada salah seorang dari saudara-saudaramu karunia dan kenikmatan, adalah engkau turut gembira dengan hal itu. Seolah-olah Allah juga memberikan karunia itu kepadamu. Ini merupakan konsekuensi ukhuwwah dan hal ini mejauhkan rasa hasad (dengki).

    Barangsiapa yang tidak gembira dengan karunia yang Allah berikan kepada saudaranya, maka mungkin ia hanya sekedar tidak turut gembira, atau bisa jadi hal itu diiringi dengan hasad.[3] Ini merupakan perusak persaudaraan. Sesungguhnya engkau terkadang bisa melihat bahwa seseorang jika melihat saudaranya mendapatkan kenikmatan atau ia melihat saudaranya mendapatkan kebaikan, karunia, dan kenikmatan khusus dari Allah, yang dengannya dia menjadi istimewa di kalangan orang-orang yang ada di sekitarnya atau menjadi istimewa di antara para sahabatnya maka orang ini pun mengakui kenikmatan yang ada pada saudaranya, (namun dia berkata), “Kenapa ia diberikan kenikmatan yang khusus ini?” Atau dia memandang bahwa saudaranya tersebut tidak berhak mendapatkan semua itu, atau yang semisalnya. Ini merupakan perusak tali persaudaraan. Wajib atasmu untuk terbebaskan dari kedengkian (hasad) dan gembira demi saudaramu. Engkau menginginkan kebaikan baginya sebagaimana engkau menginginkannya untuk dirimu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

    “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri.”
    Para ulama berkata, (لاَ يُؤْمِنُ) "Tidaklah beriman", yaitu iman yang sempurna, (حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ ) "hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri." Engkau suka apabila dirimu kaya, berilmu, dan mendapat pujian maka engkau juga suka bila saudaramu kaya, berilmu, dan mendapat pujian. Demikianlah seterusnya, untuk semua perkara yang beraneka ragam.

    Untuk menghilangkan hasad, engkau turut gembira terhadap karunia yang Allah berikan kepada saudaramu seolah-olah Allah mengkhususkan karunia itu kepadamu.

    Seorang mukmin selayaknya, disunnahkan, bahkan wajib baginya untuk menginginkan bagi saudaranya apa yang ia inginkan untuk dirinya. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :
    لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

    “Tidaklah beriman salah seorang dari kalian hingga dia menyukai (menginginkan) bagi saudaranya apa yang dia sukai bagi dirinya sendiri”
    Maksudnya adalah apa saja yang berbentuk kebaikan, sebagaimana dijelaskan pada riwayat yang lain; yaitu perkara-perkara kebaikan secara umum. Karena itu, inginkanlah kebaikan bagi saudaramu sebagiamana kau menginginkannya untuk dirimu. Janganlah engkau hasad kepada seorang pun dalam perkara apa saja dari karunia yang Allah berikan kepadanya.

    Berkaitan dengan harta, misalnya. Jika Allah memberi harta kepada saudaramu, sementara engkau tidak berharta, atau hartamu sedikit, saudaramu terpandang dan memiliki banyak harta, sehingga engkau terperangah melihat tindak-tanduknya, takjub dengan benda-benda yang dibelinya, terheran-heran dengan kondisi dan kedermawanannya, dan seterusnya, maka pujilah Allah yang telah menjadikan saudaramu berada pada martabat seperti ini, seolah-olah engkau juga berada pada martabat tersebut. Kondisikanlah dirimu untuk merasakan apa yang Allah karuniakan kepada saudaramu seolah-olah Allah juga mengaruniakannya kepadamu.

    Contoh lain berkaitan dengan ilmu. Sebagian manusia tidak gembira dengan ilmu yang Allah anugerahkan kepada saudaranya. Ia mendengar saudaranya membahas sebuah masalah dengan baik, menjadi pembicara yang baik di tempat tertentu, berkhutbah dengan bagus, memberi pengaruh kepada masyarakat dengan ilmunya, menyampaikan ilmu dengan baik, dan yang semisalnya, maka semua kelebihan ini terbayang dalam batinnya, sehingga ia tidak suka saudaranya berada pada martabat tersebut, dalam kondisi seperti itu. Hal ini tidak dibolehkan. Termasuk hak persaudaraan adalah engkau gembira jika saudaramu berilmu. Apabila engkau tidak seperti dia dalam keilmuan, ilmumu berada di bawahnya, ia lebih tajam pemahamannya, lebih kuat hafalannya, atau yang semisalnya, maka pujilah Allah yang telah menjadikan dan menyiapkan dari umat Islam seseorang yang menunaikan kewajiban ini (yaitu menuntut ilmu dan menyebarkannya, pen), sementara ia sangat cemerlang dalam ilmu. Janganlah engkau dengki kepada saudara-saudaramu pada ilmu mereka.

    Hasad (dengki) adalah penyakit yang membinasakan sekaligus menghilangkan kebaikan. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
    إِيَّاكُمْ وَالتَّحَاسُدَ فَإِنَّهُ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارَ الْحَطَبَ

    “Hati-hatilah kalian terhadap saling hasad, karena hasad memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”[4]
    Hasad itu terkadang pada ilmu, harta, atau kedudukan. Banyak perkara yang bisa menimbulkan hasad.

    Dua orang yang bersaudara dan bersahabat. Yang satu memandang bahwa saudaranya lebih diutamakan darinya, lebih didengar dalam majelis, lebih terpandang, dan lebih dimuliakan, padahal pada hakekatnya tidak demikian (itu hanyalah perasaannya saja, pen), maka perasaannya ini menjadikan hatinya tidak sreg terhadap saudaranya. Hal ini tidak boleh dan termasuk hasad. Sementara wajib baginya adalah untuk membebaskan diri dari hasad, karena hasad hukumnya haram. Semestinya ia menginginkan bagi saudaranya apa yang ia inginkan bagi dirinya berupa kebaikan-kebaikan, dan bersikap seolah-olah kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada saudaranya itu Allah anugerahkan kepadanya.

    Begitu juga dalam agama dan keshalihan. Sebagian manusia mendapat anugerah dari Allah dengan dibukakan salah satu pintu ibadah, sehingga ia menjadi orang yang banyak puasa atau shalat.

    Imam Malik pernah ditanya, “Engkau adalah seorang Imam. Kedudukanmu mulia di hadapan manusia. Namun sepertinya kami tidak melihatmu banyak beribadah, banyak shalat, banyak puasa, dan tidak berjihad di jalan Allah.” Maka berkatalah Imam Malik kepada orang tadi, “Sesungguhnya di antara manusia ada yang Allah bukakan baginya pintu shalat, ada yang Allah bukakan baginya pintu puasa, ada yang Allah bukakan baginya pintu sedekah, ada yang Allah bukakan baginya pintu jihad di jalan Allah, dan ada yang Allah bukakan baginya pintu ilmu. Telah dibukakan bagiku pintu ilmu, dan saya ridha dengan apa yang Allah bukakan bagiku.”

    Manusia itu beraneka ragam.

    Jika seseorang melihat saudaranya banyak beribadah sehingga orang-orang pun memujinya, sedangkan ia tidak gembira terhadap hal itu, maka bisa saja ia kemudian menyebarkan aib saudaranya, atau perkataan saudaranya yang keliru. Pokoknya ia menyebarkan sesuatu yang bisa mengurangi martabat saudaranya. Hal ini tidaklah semestinya ia lakukan. Semestinya ia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya. Ia berusaha agar saudaranya dipuji orang, meskipun saudaranya tidak tahu usaha baiknya tersebut. Sebab, perkaranya bukanlah di hadapan manusia, namun di hadapan Allah. Bahkan perkaranya adalah mengikhlaskan hati dan membersihkan jiwa, sehingga tidak ada tujuan jiwa kecuali Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
    أِنَّ اللهَ لاَيَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

    “Sesungguhnya Allah tidaklah memandang kepada rupa-rupa kalian, juga tidak pada jasad-jasad kalian tetapi Allah melihat pada hati-hati kalian dan amal perbuatan kalian.”[5]
    Allah melihat hati dan melihat amal perbuatan. Terkadang ada orang yang tidak dikenal dan tersembunyi, tiada seorang pun yang mengetahuinya, namun ternyata di sisi Allah ia berada pada tempat yang agung. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
    إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللهِ لَأَبَرَّهُ

    “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat orang-orang yang kalau dia bersumpah atas nama Allah, maka Allah akan menunaikan (mengabulkan) sumpahnya.”[6]
    Masih ada hak-hak persaudaraan lain yang akan saya sebutkan dua di antaranya, yaitu hak kesembilan dan kesepuluh. Kalian perhatikan kedua hak tersebut, lalu kalian jabarkan sendiri sebagaimana penjelasan kami.
    Hak kesembilan

    Hendaknya antara engkau dan saudaramu terjalin kerjasama dalam kebaikan dan kebajikan. Allah telah memerintahkan hal ini dalam firman-Nya:

    “Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran” (al-Maa-idah: 2)
    Hak kesepuluh

    Terakhir, hendaknya di antara sesama saudara terjadi musyawarah dan kesatuan. Janganlah salah seorang dari mereka memutuskan perkaranya sendiri, namun hendaknya dimusyawarahkan. Allah telah memuji orang-orang beriman yang bermusyawarah dalam firman-Nya:
    وَأَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ

    “Dan urusan mereka (diputuskan) dengan bermusyawarah di antara mereka, dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka” (asy-Syuura: 38)
    Dua hak ini, yaitu hak kesembilan dan kesepuluh, butuh penjelasan panjang lebar, namun sayangnya waktu terbatas.[7]

    Saya mohon kepada Allah agar menjadikan kita semua sebagai orang-orang yang saling mencintai karena Allah, yang Allah nantinya berkata kepada mereka:
    أَيْنَ الْمُتَحَابُّوْنَ بِجَلَالِي, الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِيْ طِلِّي يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّي

    “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena Aku, maka pada hari ini Aku naungi mereka dibawah naungan-Ku, di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.”[8]
    Aku mohon kepada Allah agar menjadikan aku dan kalian termasuk orang-orang yang saling tolong-menolong dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, termasuk orang-orang yang saling nasihat-menasihati dalam hal ini, orang-orang yang berkorban demi kebaikan, membuka pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu kejelekan, menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencari wajah Allah dengan amalan mereka, dan mengaruniakan semua itu kepada kita. Sesungguhnya tidak ada daya dan upaya kecuali dengan idzin-Nya. Kita mohon kepada Allah agar mengampuni kita, kedua orang tua kita, dan saudara-saudara kita yang telah mendahului kita dengan keimanan, juga mengampuni saudara-saudara kita kaum muslimin secara umum. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita menuju apa yang diridhai-Nya. Shalawat, salam, dan keberkahan semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.[9]

    Yogyakarta, 15 Agustus 2005
    Penerjemah : Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
    Artikel: www.firanda.com



    Catatan Kaki:

    [1] HR At-Tirmidzi (2499), dan beliau berkata, "Hadits hasan gharib,” serta Ibnu Majah (4251).

    [2] Lihat pembahasannya lebih lanjut pada risalah kami yang berjudul Kaidah-Kaidah Hajr Menurut Ibnu Taimiyyah.

    [3] Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin: “Para ulama berselisih tentang definisi hasad. Sebagian ulama mendefinisikan hasad adalah keinginan agar kenikmatan yang ada pada orang lain (saudaranya) hilang (baik kenikmatan tersebut berupa harta, kedudukan, atau ilmu). Ulama yang lainnya mendefinisikan bahwa hasad adalah benci terhadap kenikmatan yang Allah karuniakan kepada orang lain (saudaranya). Definisi kedua inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata, 'Jika seorang hamba benci terhadap kenikmatan yang Allah anugerahkan kepada selainnya, maka dia telah hasad terhadapnya, walaupun dia tidak berkeinginan agar kenikmatan tersebut hilang darinya'. Beliau juga berkata, 'Merupakan hal yang maklum bahwa konsekuensi dari membenci yaitu keinginan agar kenikmatan tersebut hilang (dari saudaranya)'. Definisi Ibnu Taimiyyah ini lebih detail. Hanya sekedar engkau benci bahwa Allah telah memberi suatu kenikmatan terhadap saudaramu berarti engkau telah hasad kepadanya” Syarh al-Arba’iin an-Nawawiyyah.



    [4] HR. Abu Dawud (4903).

    Hadits ini dha'if. Di dalam sanadnya terdapat rawi yang majhul.

    Lihat penjelasaan al-Arna-uth dalam komentarnya terhadap Jaami’ al-'Ulum (II/261).

    [5] HR Muslim (2564).

    [6] HR Al-Bukhari (6894). Lihat al-Fath (XII/279).

    [7] Karena risalah ini pada asalnya adalah ceramah beliau dalam satu majelis.

    [8] HR Muslim (2566), dari hadits Abu Hurairah, kitab al-Adab, bab Fadhlul Hubb fillah.

    [9] Sampai di sini akhir nasehat dari Syaikh Shalih Alu Syaikh –hafizhahulllah-.


    READ MORE - Maafkan Kesalahan Saudara Kita,Bergembiralah Akan Karunia Allah Padanya

    28 Des 2012

    Kecintaan dan Pengagungan Salaf Kepada Nabi


    muhammadDisebutkan bahwasanya Imam Malik pernah ditanya tentang Ayyub As-Sikhtiani?, maka beliaupun menjawab, “Tidaklah aku menyampaikan hadits kepada kalian dari seorangpun kecuali Ayyub lebih tsiqoh (terpercaya) daripada orang tersebut”[1] Imam Malik bercerita tentang Ayyub, beliau berkata, “Ayyub telah berhaji dua kali dan aku (dulu) telah melihatnya namun aku tidak mendengar (mengambil) hadits darinya, hanya saja Ayyub jika ia menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diapun menangis hingga akhirnya akupun menyayanginya. Dan tatkala aku menyaksikan apa yang aku lihat dan pengagungannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akupun menulis (mengambil) hadits darinya.”[2]

    Berkata Mush’ab bin Abdillah, “Imam Malik jika menyebut Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berubah wajahnya dan menunduk hingga hal itu memberatkan orang-orang yang duduk bersama dia. Pada suatu hari Imam Malik ditanya tentang sikapnya itu maka iapun berkata, “Seandainya kalian melihat apa yang aku lihat maka kalian tidak akan mengingkari (merasa berat) dengan sikapku ini”. Imam Malik menyebutkan dari Muhammad bin Al-Munkadir –dia adalah pemimpin para qori’- “Hampir-hampir tidak pernah sama sekali kami bertanya kepada Muhammad bin Al-Munkadir tentang satu haditspun kecuali ia menangis hingga kamipun menyayanginya.”[3] Dan aku (Mush’ab bin Abdillah) telah melihat Ja’far bin Muhammad –dan dia adalah orang yang suka bercanda dan tersenyum- jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dihadapannya maka menguning  (pucat) wajahnya, tidak pernah aku melihatnya menyampaikan satu haditspun dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali dia dalam keadaan telah bersuci. Beberapa lama aku sering bolak-balik menghampirinya dan tidaklah aku melihatnya kecuali dalam tiga kondisi. Sedang shalat, atau dalam keadaan diam (tidak berbicara) atau sedang membaca Al-Qur’an. Dan dia tidaklah berbicara sesuatu yang tidak berfaedah, dan dia adalah termasuk ulama dan ahli ibadah yang takut kepada Allah. Hasan Al-Bashri jika menyebutkan hadits tentang rintihan dan tangisan akar pohon korma[4] beliau berkata, “Wahai kaum muslimin, kayu merintih kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena rindu ingin bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kalian lebih berhak untuk rindu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”[5]

    Abdurrahman bin Qosim pernah menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka pucatlah wajahnya seakan-akan telah kering darah dari wajahnya. Lidahnya kering di mulutnya karena pengagunggannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku (Mush’ab bin Abdillah) pernah mendatangi ‘Amir bin Abdillah, jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapannya maka diapun menangis hingga kering air matanya”

    Dan aku telah melihat Imam Az-Zuhri –dan dia adalah orang yang paling dermawan dan paling dekat dengan manusia-, jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sisinya maka seakan-akan engkau tidak mengenalnya dan dia tidak mengenalmu.

    Dan aku pernah mendatangi Sofwan bin Sulaim –dan dia adalah termasuk ahli ibadah dan kesungguhan-, jika disebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapannya maka iapun menangis hingga orang-orang pergi meninggalkaannya”[6]

    Berkata ‘Amr bin Maimun, “Aku bolak-balik mendatangi Ibnu Mas’ud selama setahun, dan tidaklah aku pernah mendengarnya berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda” kecuali pada suatu hari ia menyampaikan hadits dan keluar dari lisannya perkataan “Rasulullah telah bersabda”, kemudian menimpa beliau ketakutan hingga aku melihat keringat keluar dari keningnya kemudian ia berakat, هكذا إن شاء الله، أو فوق ذا، أَو مَا دون ذا “Seperti ini insya Allah, atau kurang lebih seperti ini (lafal haditsnya sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) kemudian mengembang kedua pipi beliau, berubah masam wajahnya dan kedua matanya berlinang air mata,[7]

    Para imam ahli hadits, banyak diantara mereka yang tidak menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali mereka dalam keadaan berwudhu. Diantara mereka adalah Qotadah, Ja’far bin Muhammad, Malik bin Anas, Al-A’masy. Bahkan hal ini jadi mustahab bagi mereka dan mereka membenci penyampaian hadits tanpa wudhu. Berkata Dhiror bin Murroh, “Mereka membenci mereka menyampaikan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan tanpa berwudhu”. Berkata Ishaq, “Aku melihat Al-A’masy jika dia hendak menyampaikan hadits dan dia dalam keadaan tidak berwudhu maka dia bertayammum”[8]

    Berkata Abu Usamah Al-Khuza’i, “Imam Malik jika ingin keluar untuk menyampaikan hadits ia berwudhu sebagaimana wudhu untuk melaksanakan sholat dan memakai pakaiannya yang paling indah, memakai kopiah beliau dan menyisir (merapikan) jenggot beliau. Beliau ditanya tentang sikapnya itu maka kata beliau, “Aku mengagungkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berbuat demikian”[9]

    Berkata Ibnu Abi Az-Zinad, “Said ibn Al-Musayyib tatkala beliau sakit beliau berkata, “Dudukkan aku, aku merasa berat untuk menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berbaring”[10]

    Muhammad bin Sirin berbicara dan tertawa, namun jika datang hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka iapun dalam keadaan khusyu’”[11]

    Berkata Ahmad bin Sulaiman Al-Qotton, “Tidak ada yang berbicara di majelis penyampaian hadits Abdurrahman bin Mahdi, dan tidak ada yang meruncing alat tulisnya, dan tidak seorangpun yang tersenyum. Jika ada yang berbicara atau meruncing alat tulisnya di majelisnya maka iapun berteriak dan memakai kedua sendalnya lalu masuk dalam rumahnya (tidak jadi menyampaikan hadits). Demikian juga yang dilakukan oleh Ibnu Numair, dan dia adalah termasuk orang yang paling tegas dalam perkara ini. Waki’ juga demikian, orang-orang yang berada di majelisnya seakan-akan mereka sedang melaksanakan sholat. Jika ia mengingkari suatu perkara yang dilakukan diantara mereka maka iapun memakai sendalnya lalu masuk dalam rumahnya. Ibnu Numair marah dan berteriak, dan jika ia melihat ada yang meruncing alat tulisnya maka berubahlah wajahnya”. Berkata Hammad bin Salamah, “Kami sedang bersama Ayyub lalu kami mendengar suara (keras namun tidak jelas), maka Ayyub berkata, “Suara apa ini?, apakah kalian tidak tahu bahwasanya mengangkat suara tatkala hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disampaikan (dibacakan) seperti mengangkat suara dihadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala ia masih hidup??[12]

    Sampai kabar kepada Mu’awiyah bahwasanya Kabis bin Robi’ah menyerupai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tatkala Kabis masuk melalui pintu rumah menemui Mu’awiyah maka berdirilah Mu’awiyyah dari tempat duduknya dan menemuinya, mencium keningnya, serta memberikannya pemberian hanya karena keserupaan wajahnya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”[13]

    Wahai saudaraku..., bagaimana kita jika dibandingkan dengan mereka para salaf?? mana tanda dan buah cinta kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?? Lihatlah buah cinta salaf kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pengagungan mereka terhadapnya?? Mana bukti pengakuan cinta kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, manakah hakekatnya??

    Firanda Andirja
    www.firanda.com

    Catatan Kaki:
    [1] Siar A’lam An-Nubala 6/24

    [2] Siar A’lam An-Nubala 6/17

    [3] Hilyatul Aulya’ 3’147, As-Siar 5/354,355

    [4] HR Al-Bukhari no 3583, 3584, 3585, Nabi dahulu berkhutbah di sebuah pohon korma, lalu dibuatkan mimbar bagi beliau. Tatkala tiba hari jum’at dan Nabi berkhutbah di atas mimbar terdengarlah suara rintihan dan tangisan pohon kurma tersebut karena ditinggalkan oleh Nabi.

    [5] Siar A’lam An-Nubala 4/570, Jami’ byanil ‘ilmi wa fadhlihi karya Ibnu Abdilbar hal 572 (maktabah ibnu Taimiyah)

    [6] As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa, karya Al-Qodi Iyadh hal 598

    [7] Atsar ini dikeluarkan oleh Al-Khothib Al-Bagdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqi Ar-Rawi wa Adabis Sami’ 2/66-67, lihat As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa, karya Al-Qodi Iyadh 2/599. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin di zaman kita ini yang menyampaikan hadits dengan tanpa memperhatikan teks hadits tersebut dengan baik. Terkadang mereka menyampaikan hadits tersebut dengan hanya membawakan maknanya dan mereka keliru dalam memahami makna tersebut. Ibnu Mas’ud yang mendengar langsung hadits Rasulullah saja sangat takut jika teks hadits yang dia sampaikan tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Bagaimana pula dengan begitu banyak orang yang menyampaikan hadits yang lemah bahkan hadits-hadits palsu dengan berkata, “Rasulullah telah bersabda demikian…” dan tidak ada sama sekali rasa takut dalam diri mereka.

    [8] Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi, karya ibnu Abdilbar 2/1217 dan syarh As-Syifa 2/77

    [9] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 2/34 dan lihat syarh AS-Syifa 2/77

    [10] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 2/34, Jami’ bayanil ‘ilmi wa fadhlihi 2/1220

    [11] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi 2/57

    [12] Al-Jami’ karya Al-Khotib Al-Bagdadi  1/128,130

    [13] As-Syifa bita’rifi huquqil Musthofa, karya Al-Qodi Iyadh 2/610
    READ MORE - Kecintaan dan Pengagungan Salaf Kepada Nabi

    25 Des 2012

    HUKUM CADAR (Bag. 1) : Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan


    Pembahasan ini diambil dari rubrik tanya jawab majalah As Sunnah dan kami mendapatkan naskah ini dari kumpulan artikel Ustadz Kholid Syamhudi jazaahullahu khairan. Untuk memudahkan dalam pembacaan, pembahasan ini akan kami bagi menjadi dua bagian yaitu: Bag. 1 (dalil para ulama yang mewajibkan) dan Bag. 2 (dalil para ulama yang mengatakan tidak wajib berikut kesimpulan). Kami sarankan pada pembaca untuk menyimak dengan seksama dalil-dalil yang dipaparkan dalam artikel ini. Selamat membaca…

    Pertanyaan:

    Apakah hukum cadar (menutup wajah) bagi wanita, wajib atau tidak?

    Jawaban:

    Banyak pertanyaan yang ditujukan kepada kami, baik secara langsung maupun lewat surat, tentang masalah hukum cadar (menutup wajah) bagi wanita. Karena banyak kaum muslimin belum memahami masalah ini, dan banyak wanita muslimah yang mendapatkan problem karenanya, maka kami akan menjawab masalah ini dengan sedikit panjang. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Sebagian mengatakan wajib, yang lain menyatakan tidak wajib, namun merupakan keutamaan. Maka di sini -insya Allah- akan kami sampaikan hujjah masing-masing pendapat itu, sehingga masing-masing pihak dapat mengetahui hujjah (argumen) pihak yang lain, agar saling memahami pendapat yang lain.

    Dalil yang Mewajibkan

    Berikut ini akan kami paparkan secara ringkas dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar bagi wanita.

    Pertama, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

    وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ

    “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.” (QS. An Nur: 31)

    Allah ta’ala memerintahkan wanita mukmin untuk memelihara kemaluan mereka, hal itu juga mencakup perintah melakukan sarana-sarana untuk memelihara kemaluan. Karena menutup wajah termasuk sarana untuk memelihara kemaluan, maka juga diperintahkan, karena sarana memiliki hukum tujuan. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 7, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Kedua, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

    وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا

    “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka.” (QS. An Nur: 31)

    Ibnu Mas’ud berkata tentang perhiasan yang (biasa) nampak dari wanita: “(yaitu) pakaian” (Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al Adawi, Jami’ Ahkamin Nisa’ IV/486). Dengan demikian yang boleh nampak dari wanita hanyalah pakaian, karena memang tidak mungkin disembunyikan.

    Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

    وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

    “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. An Nur: 31)

    Berdasarkan ayat ini wanita wajib menutupi dada dan lehernya, maka menutup wajah lebih wajib! Karena wajah adalah tempat kecantikan dan godaan. Bagaimana mungkin agama yang bijaksana ini memerintahkan wanita menutupi dada dan lehernya, tetapi membolehkan membuka wajah? (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 7-8, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Keempat, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

    وَلاَ يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَايُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ

    “Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.” (QS. An Nur: 31)

    Allah melarang wanita menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasannya yang dia sembunyikan, seperti gelang kaki dan sebagainya. Hal ini karena dikhawatirkan laki-laki akan tergoda gara-gara mendengar suara gelang kakinya atau semacamnya. Maka godaan yang ditimbulkan karena memandang wajah wanita cantik, apalagi yang dirias, lebih besar dari pada sekedar mendengar suara gelang kaki wanita. Sehingga wajah wanita lebih pantas untuk ditutup untuk menghindarkan kemaksiatan. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 9, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Kelima, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

    وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

    “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 60)

    Wanita-wanita tua dan tidak ingin kawin lagi ini diperbolehkan menanggalkan pakaian mereka. Ini bukan berarti mereka kemudian telanjang. Tetapi yang dimaksud dengan pakaian di sini adalah pakaian yang menutupi seluruh badan, pakaian yang dipakai di atas baju (seperti mukena), yang baju wanita umumnya tidak menutupi wajah dan telapak tangan. Ini berarti wanita-wanita muda dan berkeinginan untuk kawin harus menutupi wajah mereka. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 10, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Abdullah bin Mas’ud dan Ibnu Abbas berkata tentang firman Allah “Tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka.” (QS An Nur:60):  

    “(Yaitu) jilbab”. (Kedua riwayat ini dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/523)

    Dari ‘Ashim Al-Ahwal, dia berkata: “Kami menemui Hafshah binti Sirin, dan dia telah mengenakan jilbab seperti ini, yaitu dia menutupi wajah dengannya. Maka kami mengatakan kepadanya: “Semoga Allah merahmati Anda, Allah telah berfirman,

    وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَآءِ الاَّتِي لاَيَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَن يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

    “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (QS. An-Nur: 60)

    Yang dimaksud adalah jilbab. Dia berkata kepada kami: “Apa firman Allah setelah itu?”  Kami menjawab:

    وَأَن يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَّهُنَّ وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

    “Dan jika mereka berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nur: 60)

    Dia mengatakan, “Ini menetapkan jilbab.” (Riwayat Al-Baihaqi. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/524)

    Keenam, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

    غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ

    “Dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan.” (QS. An-Nur: 60)

    Ini berarti wanita muda wajib menutup wajahnya, karena kebanyakan wanita muda yang membuka wajahnya, berkehendak menampakkan perhiasan dan kecantikan, agar dilihat dan dipuji oleh laki-laki. Wanita yang tidak berkehendak seperti itu jarang, sedang perkara yang jarang tidak dapat dijadikan sandaran hukum. (Lihat Risalah Al-Hijab, hal 11, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al- ‘Utsaimin, penerbit: Darul Qasim).

    Ketujuh, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

    يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا

    “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

    Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,  

    “Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah mereka dengan jilbab (pakaian semacam mukena) dari kepala mereka. Mereka dapat menampakkan satu mata saja.” (Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan bahwa perawi riwayat ini dari Ibnu Abbas adalah Ali bin Abi Thalhah yang tidak mendengar dari ibnu Abbas. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/513)

    Qatadah berkata tentang firman Allah ini (QS. Al Ahzab: 59),

    Allah memerintahkan para wanita, jika mereka keluar (rumah) agar menutupi alis mereka, sehingga mereka mudah dikenali dan tidak diganggu.”  (Riwayat Ibnu Jarir, dihasankan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/514)

    Diriwayatkan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata,

    “Wanita itu mengulurkan jilbabnya ke wajahnya, tetapi tidak menutupinya.” (Riwayat Abu Dawud, Syaikh Mushthafa Al-Adawi menyatakan: Hasan Shahih. Lihat Jami’ Ahkamin Nisa IV/514)

    Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya mempraktekkan cara mengulurkan jilbab itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya sebagai kerudung, lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah kiri, dan menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu dia mengulurkan selendangnya dari atas (kepala) sehingga dekat ke alisnya, atau di atas alis. (Riwayat Ibnu Jarir, dishahihkan oleh Syaikh Mushthafa Al-Adawi di dalam Jami’ Ahkamin Nisa IV/513)

    As-Suyuthi berkata,

    “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 51, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

    Perintah mengulurkan jilbab ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil:

    1. Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah: Pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.

    2. Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliah adalah wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri dan anak-anak perempuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta istri-istri orang mukmin untuk mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka. Kata idna’ (pada ayat tersebut يُدْنِينَ -ed) yang ditambahkan huruf (عَلَي) mengandung makna mengulurkan dari atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah dan badan.

    3. Menutupi wajah, baju, dan perhiasan dengan jilbab itulah yang dipahami oleh wanita-wanita sahabat.

    4. Dalam firman Allah: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu”, merupakan dalil kewajiban hijab dan menutup wajah bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada perselisihan dalam hal ini di antara kaum muslimin. Sedangkan dalam ayat ini istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan bersama-sama dengan anak-anak perempuan beliau serta istri-istri orang mukmin. Ini berarti hukumnya mengenai seluruh wanita mukmin.

    5. Dalam firman Allah: “Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita baik-baik, dengan demikian tidak akan diganggu. Demikian juga jika wanita menutupi wajahnya, maka laki-laki yang rakus tidak akan berkeinginan untuk membuka anggota tubuhnya yang lain. Maka membuka wajah bagi wanita merupakan sasaran gangguan dari laki-laki nakal/jahat. Maka dengan menutupi wajahnya, seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki sehingga dia tidak akan diganggu.
    (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 52-56, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

    Kedelapan, firman Allah subhanahu wa ta’ala:

    لاَّ جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي ءَابَآئِهِنَّ وَلآ أَبْنَآئِهِنَّ وَلآ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلآ أَبْنَآءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلاَ نِسَآئِهِنَّ وَلاَ مَامَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللهَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ شَهِيدًا

    “Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 55)

    Ibnu Katsir berkata,

    “Ketika Allah memerintahkan wanita-wanita berhijab dari laki-laki asing (bukan mahram), Dia menjelaskan bahwa (para wanita) tidak wajib berhijab dari karib kerabat ini.” Kewajiban wanita berhijab dari laki-laki asing adalah termasuk menutupi wajahnya.

    Kesembilan, firman Allah:

    وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

    “Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (QS. Al Ahzab: 53)

    Ayat ini jelas menunjukkan wanita wajib menutupi diri dari laki-laki, termasuk menutup wajah, yang hikmahnya adalah lebih menjaga kesucian hati wanita dan hati laki-laki. Sedangkan menjaga kesucian hati merupakan kebutuhan setiap manusia, yaitu tidak khusus bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat saja, maka ayat ini umum, berlaku bagi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan semua wanita mukmin. Setelah turunnya ayat ini maka Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam menutupi istri-istri beliau, demikian para sahabat menutupi istri-istri mereka, dengan menutupi wajah, badan, dan perhiasan. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal: 46-49, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

    Kesepuluh, firman Allah:

    يَانِسَآءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِّنَ النِّسَآءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلاَ تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَّعْرُوفًا {32} وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَءَاتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا

    “Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta’atilah Allah dan Rasul-Nya.Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al Ahzab: 32-33)

    Ayat ini ditujukan kepada para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi hukumnya mencakup wanita mukmin, karena sebab hikmah ini, yaitu untuk menghilangkan dosa dan membersihkan jiwa sebersih-bersihnya, juga mengenai wanita mukmin. Dari kedua ayat ini didapatkan kewajiban hijab (termasuk menutup wajah) bagi wanita dari beberapa sisi:

    1. Firman Allah: “Janganlah kamu tunduk dalam berbicara” adalah larangan Allah terhadap wanita untuk berbicara secara lembut dan merdu kepada laki-laki. Karena hal itu akan membangkitkan syahwat zina laki-laki yang diajak bicara. Tetapi seorang wanita haruslah berbicara sesuai kebutuhan dengan tanpa memerdukan suaranya. Larangan ini merupakan sebab-sebab untuk menjaga kemaluan, dan hal itu tidak akan sempurna kecuali dengan hijab.

    2. Firman Allah: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu” merupakan perintah bagi wanita untuk selalu berada di dalam rumah, menetap dan merasa tenang di dalamnya. Maka hal ini sebagai perintah untuk menutupi badan wanita di dalam rumah dari laki-laki asing.

    3. Firman Allah: “Dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” adalah larangan terhadap wanita dari banyak keluar dengan berhias, memakai minyak wangi dan menampakkan perhiasan dan keindahan, termasuk menampakkan wajah.
    (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 39-44, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit, Darul ‘Ashimah).

    Kesebelas, Ummu ‘Athiyah berkata:

    أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلَّاهُنَّ قَالَتِ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا

    “Pada dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haidh dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa mereka. Tetapi wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat mereka. Seorang wanita bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab: “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.”” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Hadits ini menunjukkan kebiasaan wanita sahabat keluar rumah memakai jilbab. Dan Rasulullah tidak mengizinkan wanita keluar rumah tanpa jilbab, walaupun dalam perkara yang diperintahkan agama. Maka hal ini menjadi dalil untuk menutupi diri. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 15, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Keduabelas, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:

    كُنَّ نِسَاءُ الْمُؤْمِنَاتِ يَشْهَدْنَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الْفَجْرِ مُتَلَفِّعَاتٍ بِمُرُوطِهِنَّ ثُمَّ يَنْقَلِبْنَ إِلَى بُيُوتِهِنَّ حِينَ يَقْضِينَ الصَّلَاةَ لَا يَعْرِفُهُنَّ أَحَدٌ مِنَ الْغَلَسِ

    “Dahulu wanita-wanita mukmin biasa menghadiri shalat subuh bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menutupi tubuh mereka dengan selimut. Kemudian mereka kembali ke rumah-rumah mereka ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun mengenal mereka karena gelap.” (HR. Bukhari dan Muslim)

    Menutupi diri merupakan kebiasaan wanita sahabat yang merupakan teladan terbaik. Maka kita tidak boleh menyimpang dari jalan mereka itu. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 16-17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Ketiga belas, Perkataan ‘Aisyah: “Seandainya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat wanita-wanita (di zaman ini) apa yang kita lihat, niscaya beliau melarang para wanita ke masjid, sebagaimana Bani Israil dahulu melarang para wanita mereka.”  Diriwayatkan juga seperti ini dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu.

    Dari riwayat ini diketahui bahwa setiap perkara yang mengakibatkan sesuatu yang berbahaya maka hal itu dilarang. Karena membuka wajah bagi wanita akan mengakibatkan bahaya, maka terlarang. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Keempat belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ قَالَ يُرْخِينَ شِبْرًا فَقَالَتْ إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ قَالَ فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ

    “Barang siapa menyeret pakaiannya dengan sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” Kemudian Ummu Salamah bertanya: “Bagaimana para wanita membuat ujung pakaian mereka?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sejengka.l” Ummu Salamah berkata lagi: “Kalau begitu telapak kaki mereka akan tersingkap?” Beliau menjawab: “Hendaklah mereka menjulurkan sehasta, mereka tidak boleh melebihkannya.” (HR. Tirmidzi, dan lainnya)

    Hadits ini menunjukkan kewajiban menutupi telapak kaki wanita, dan hal ini sudah dikenal di kalangan wanita sahabat. Sedangkan terbukanya telapak kaki wanita tidak lebih berbahaya dari pada terbukanya wajah dan tangan mereka, maka ini menunjukkan wajibnya menutupi wajah dan tangan wanita. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 17-18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Kelima belas, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    إِذَا كَانَ عِنْدَ مُكَاتَبِ إِحْدَاكُنَّ مَا يُؤَدِّي فَلْتَحْتَجِبْ مِنْهُ

    “Jika budak mukatab (budak yang ada perjanjian dengan tuannya bahwa dia akan merdeka jika telah membayar sejumlah uang tertentu -pen) salah seorang di antara kamu (wanita) memiliki apa yang akan dia tunaikan, maka hendaklah wanita itu berhijab (menutupi diri) darinya.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)

    Hadits ini menunjukkan kewajiban wanita berhijab (menutupi dirinya) dari laki-laki asing (bukan mahram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Keenam belas, ‘Aisyah berkata:

    كَانَ الرُّكْبَانُ يَمُرُّونَ بِنَا وَنَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُحْرِمَاتٌ فَإِذَا حَاذَوْا بِنَا سَدَلَتْ إِحْدَانَا جِلْبَابَهَا مِنْ رَأْسِهَا عَلَى وَجْهِهَا فَإِذَا جَاوَزُونَا كَشَفْنَاهُ

    “Para pengendara kendaraan biasa melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka jika mereka mendekati kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain)

    Wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan sebagaimana disebutkan di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim). Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). (Lihat Risalah Al Hijab, hal 18-19, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Ketujuh belas, Asma’ binti Abi Bakar berkata: “Kami menutupi wajah kami dari laki-laki, dan kami menyisiri rambut sebelum itu di saat ihram.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim. Al-Hakim berkata: “Shahih berdasarkan syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)

    Ini menunjukkan bahwa menutup wajah wanita sudah merupakan kebiasaan para wanita sahabat. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 68-69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

    Kedelapan belas, ‘Aisyah berkata:

    لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا

    “Mudah-mudahan Allah merahmati wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan lainnya)

    Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490): “Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah mereka.” (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 69, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

    Kesembilan belas, Dari Urwah bin Zubair:

    عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا وَهُوَ عَمُّهَا مِنَ الرَّضَاعَةِ بَعْدَ أَنْ نَزَلَ الْحِجَابُ فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ

    Dari ‘Aisyah bahwa Aflah saudara Abul Qu’eis, paman Aisyah dari penyusuan, datang minta izin untuk menemuinya setelah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Maka aku tidak mau memberinya izin kepadanya. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah datang maka aku memberitahukan apa yang telah aku lakukan, maka beliau memerintahkanku agar memberi izin kepadanya.” (HR. Bukhari dan lainnya)

    Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 9/152): “Dalam hadits ini terdapat dalil kewajiban wanita menutupi diri dari laki-laki asing.”
    Kedua puluh, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ

    “Wanita adalah aurat, jika dia keluar, setan akan menjadikannya indah pada pandangan laki-laki.” (HR. Tirmidzi dan lainnya)

    Kalau wanita adalah aurat, maka semuanya harus ditutupi. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 74-75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

    Kedua puluh satu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

    إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ

    “Janganlah kamu masuk menemui wanita-wanita.” Seorang laki-laki Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana pendapat Anda tentang saudara suami (bolehkah dia masuk menemui wanita, istri saudaranya)? Beliau menjawab: “Saudara suami adalah kematian. (Yakni: lebih berbahaya dari orang lain).” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya)

    Jika masuk menemui wanita-wanita bukan mahram tidak boleh, maka menemui mereka harus di balik tabir. Sehingga wanita wajib menutupi tubuh mereka, termasuk wajah. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 75, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

    Kedua puluh dua, Perkataan ‘Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki:

    وَقَدْ كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي

    “Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: “Inna lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku.” (HR. Muslim)

    Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah hijab. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 72, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

    Kedua puluh tiga, Aisyah berkata:

    خَرَجَتْ سَوْدَةُ بَعْدَ مَا ضُرِبَ عَلَيْهَا الْحِجَابُ لِتَقْضِيَ حَاجَتَهَا وَكَانَتِ امْرَأَةً جَسِيمَةً تَفْرَعُ النِّسَاءَ جِسْمًا لَا تَخْفَى عَلَى مَنْ يَعْرِفُهَا فَرَآهَا عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ فَقَالَ يَا سَوْدَةُ وَاللَّهِ مَا تَخْفَيْنَ عَلَيْنَا فَانْظُرِي كَيْفَ تَخْرُجِينَ

    “Setelah diwajibkan hijab pada Saudah, dia keluar (rumah) untuk menunaikan hajatnya, dia adalah seorang wanita yang besar (dalam riwayat lain: tinggi), tubuhnya melebihi wanita-wanita lainnya, tidak samar bagi orang yang mengenalnya. Lalu Umar melihatnya, kemudian berkata: “Hai Saudah, demi Allah engkau tidaklah tersembunyi bagi kami, perhatikanlah bagaimana engkau keluar!” (HR. Muslim)

    Karena Umar mengetahui Saudah dengan tinggi dan besarnya, maka ini menunjukkan wajahnya tertutup. (Lihat Jami Ahkamin Nisa’ IV/486, karya Syaikh Mushthafa Al-Adawi).

    Kedua puluh empat, terjadinya ijma’ tentang kewajiban wanita untuk selalu menetap di rumah dan tidak keluar kecuali jika ada keperluan, dan tentang wanita tidak keluar rumah dan lewat di hadapan laki-laki kecuali dengan berhijab (menutupi diri) dan menutup wajah. Ijma’ ini dinukilkan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan lainnya. (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 38, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

    Kedua puluh lima, banyaknya kerusakan yang ditimbulkan oleh terbukanya wajah wanita. Seperti wanita akan menghiasi wajahnya sehingga mengundang berbagai kerusakan; hilangnya rasa malu dari wanita; tergodanya laki-laki; percampuran laki-laki dengan wanita; dan lain-lainnya. (Lihat Risalah Al Hijab, hal 20-24, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, penerbit Darul Qasim).

    Kedua puluh enam, bantahan terhadap dalil-dalil yang membolehkan wanita membuka wajah secara ringkas:
    1. Dalil-dalilnya shahih dan jelas penunjukan dalilnya. Tetapi dalil-dalil itu telah mansukh (dihapus hukumnya) dengan ayat yang mewajibkan hijab yang turun pada tahun 5 H, atau itu dilakukan oleh wanita tua yang tidak wajib berhijab, atau di hadapan anak kecil yang belum tahu aurat wanita.
    2. Dalil-dalilnya shahih tetapi tidak jelas penunjukan dalilnya. Sehingga tidak kuat melawan dalil-dalil yang mewajibkan wanita menutup wajahnya. Sedangkan yang wajib adalah mengembalikan dalil-dalil mutasyabih (maknanya tidak pasti) kepada yang muhkam (maknanya pasti).
    3. Dalil-dalilnya jelas penunjukan dalilnya tetapi tidak shahih, sehingga tidak dapat diterima.

    (Lihat Hirasah Al-Fadhilah, hal 82-83, karya Syaikh Bakar bin Abu Zaid, penerbit Darul ‘Ashimah).

    Ringkasan Dalil-Dalil di Atas

    Inilah ringkasan dalil-dalil para ulama yang mewajibkan hijab. Jika disimpulkan dalil-dalil itu, maka dapat dikelompokkan pada beberapa point:
    1. Menjaga kemaluan hukumnya wajib, sedangkan menutup wajah termasuk sarana untuk menjaga kemaluan, sehingga hukumnya juga wajib.
    2. Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk berhijab (menutupi diri) dari laki-laki selain mahramnya. Perintah hijab ini meliputi menutup wajah.
    3. Perintah Allah dan Rasul-Nya kepada wanita untuk memakai jilbab. Jilbab ini meliputi menutup wajah.
    4. Perintah Allah kepada wanita untuk menutupi perhiasannya, ini mencakup menutupi wajah.
    5. Ijma yang mereka nukilkan.
    6. Qiyas. Yaitu kalau wanita wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah wanita lebih wajib.
    7. Kebiasaan para wanita sahabat, termasuk Ummahatul mukminin, menutupi wajah mereka.

    Di Antara Ulama Zaman Ini yang Mewajibkan Cadar

    Di antara para ulama zaman ini yang menguatkan pendapat ini adalah: Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa Al-Adawi dan para ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama yang mewajibkan cadar (menutup wajah) bagi wanita. Selanjutnya akan kita sampaikan dalil-dalil para ulama yang tidak mewajibkan cadar.

    Lanjutan: HUKUM CADAR (Bag. 2) : Dalil-Dalil Ulama Yang Tidak Mewajibkan & Kesimpulan

    ***

    Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
    Sumber: Kumpulan tulisan ustadz Kholid Syamhudi
    Dipublikasikan kembali oleh www.muslimah.or.id

    Semoga bermanfaat...
    READ MORE - HUKUM CADAR (Bag. 1) : Dalil-Dalil Ulama yang Mewajibkan

    23 Des 2012

    `` SEMAKIN RENDAH SEMAKIN TINGGI ``


    (¯`v´¯)¸
    `•.¸.•❤•..•♥ Assalamu'alaikum ♥¸.•❤•..
    ♥♥ بِسْــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْـــــمِ ♥


    Oleh : أُسْتَاذُ Firanda Andirja

    Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

    Semakin seorang hamba tunduk, hina, dan butuh kpd Allah maka ia semakin dekat kepadaNya dan semakin tinggi kedudukannya di sisiNya.

    Maka orang yang paling berbahagia adalah orang yang paling tinggi peribadatannya kepada Allah.

    Adapun terhadap makhluk (orang lain) maka sebagaimana yang dikatakan:

    - Butuhlah kepada siapa saja yang kau kehendaki maka jadilah engkau tawanannya

    - Cukupkanlah dirimu dari siapa saja yang kau kehendaki maka engkau semisal dengannya

    - Berbuat baiklah kepada siapa saja yang kau kehendaki maka engkau akan menjadi pemimpinnya.

    Maka seorang hamba sangat tinggi kedudukannya dan sangat dihormati oleh msyarakat jika ia sama sekali tidak butuh kepada mereka.



    Jika engkau berbuat baik kepada mereka sedangkan engkau tdk butuh kpd mereka maka engkau sangat mulia dan dihormati oleh mereka.

    Kapan saja engkau butuh kpd mereka -meskipun hanya seteguk air- maka berkuranglah kedudukanmu seiring dengan kadar kebutuhanmu kpd mereka.
    Karenanya tatkala Hatim Al-Ashom ditanya : "Bagaimanakah selamat dari manusia?", ia berkata, "Engkau memberikan kebaikan kpd mereka, dan engkau tidak mengharap sesuatupun Dari mereka"

    (Majmu al-fataawaa 1/39)
    READ MORE - `` SEMAKIN RENDAH SEMAKIN TINGGI ``

    Nasihat Lukman Keenam(Jangan Bertingkah Sombong)

    jangan_bertingkah_sombongMasih melanjutkan nasehat Lukman pada anaknya. Dalam ayat selanjutnya, Lukman mengajarkan bagaimanakah akhlak mulia jika seseorang bercakap-cakap dengan yang lain, termasuk pula pada orang tua. Begitu pula diajarkan agar tidak berperilaku sombong.

    Allah Ta’ala berfirman,
    وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
    Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18).
    Ayat ini mengajarkan akhlak yang mulia yaitu bagaimana seorang muslim sebaiknya bersikap ketika berbicara, di manakah pandangan wajahnya. Dalam ayat ini diajarkan agar seorang muslim tidak bersikap sombong. Inilah yang dinasehatkan Lukman pada anaknya.
    Memalingkan Wajah Ketika Berbicara
    Dalam ayat mulia di atas disebutkan,
    وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ
    Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia.” Yang dimaksud adalah janganlah engkau memalingkan wajahmu ketika sedang berbicara pada yang lain atau ada yang mengajak bicara. Ini menunjukkan sifat sombong pada mereka. Ketika berbicara arahkanlah wajahmu kepada lawan bicara. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
    ولو أن تلقى أخاك ووجهك إليه مُنْبَسِط، وإياك وإسبال الإزار فإنها من المِخيلَة، والمخيلة لا يحبها الله
    Jika engkau bertemu saudaramu, berwajahlah ceria di hadapannya. Waspadalah dengan menjulurkan celana di bawah mata kaki karena perbuatan tersebut termasuk kesombongan. Namanya sombong tidak disukai oleh Allah.” (HR. Ahmad 5: 63).
    Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata mengenai ayat tersebut, “Janganlah bersikap sombong sehingga membuatmu meremehkan hamba Allah dan wajahmu malah berpaling ketika mereka mengajakmu bicara.” Demikian diriwayatkan oleh Al ‘Aufi dan ‘Ikrimah dari Ibnu ‘Abbas.
    Zaid bin Aslam pun berkata yang serupa, “Janganlah bercakap-cakap dengan yang lain dalam keadaan wajahmu berpaling dari lawan bicaramu.” Demikian pula diriwayatkan dari Mujahid, Ikrimah, Zaid bin Al Ashom, Abul Jauzaa’, Sa’id bin Jubair, Adh Dhohak, Ibnu Yazid dan lainnya.
    Ibrahim An Nakho’i berkata bahwa yang dimaksud adalah cara berbicara yang keras.
    Syaikh As Sa’di menjelaskan, “Janganlah berpaling atau bermuka cemberut ketika bercakap-cakap dengan yang lain karena sombong dan angkuh.”
    Berjalan dengan Sombong
    Dalam lanjutan ayat disebutkan,
    وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا
    dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh.” Maksud ayat ini adalah janganlah bersikap sombong dan angkuh. Janganlah melakukan hal tersebut karena dibenci oleh Allah. Oleh karenanya, Allah Ta’ala berfirman,
    إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
    Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
    Syaikh As Sa’di berkata mengenai ayat ini, “Yang dimaksud adalah jangan bersikap sombong yaitu begitu bangga dengan nikmat dan akhirnya lupa pada pemberi nikmat. Dan jangan pula merasa ujub terhadap diri sendiri.”
    Haramnya Isbal pada Pakaian
    Adz Dzahabi  berkata dalam Al Kabair mengenai haramnya isbal. Beliau membawakan ayat,
    وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا
    Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh” (QS. Lukman: 18). Dan beliau menyertakan dengan hadits,
    مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الإِزَارِ فَفِى النَّارِ
    Kain yang berada di bawah mata kaki tempatnya di neraka” (HR. Bukhari no. 5787). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
    لاَ يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
    Allah tidak akan melihat (pada hari kiamat) orang yang menjulurkan kainnya (di bawah mata kaki) dengan sombong” (HR. Bukhari no. 5788 dan Muslim no. 2087). (Dinukil dari Tafsir Al Imam Adz Dzahabi, 2: 602)
    Berarti isbal itu terlarang lebih-lebih jika dengan sombong. Isbal adalah menjulurkan kain celana atau sarung di bawah mata kaki.
    Wasiat Lukman ini mengajarkan kita beberapa akhlak mulia. Ketika berbicara dengan orang lain, hadapkanlah wajah kepada lawan bicara dan jangan bersikap sombong. Dalam bersikap jangan terlalu angkuh, sombong dan ujub. Karena Allah tidak menyukai orang-orang yang demikian.
    Ya Allah, anugerahkanlah pada kami akhlak yang mulia dan jauhkanlah dari kami akhlak-akhlak tercela.
    Semoga Allah memberi hidayah demi hidayah.

    Referensi:
    1. Tafsir Al Imam Adz Dzahabi, Su’ud ‘Abdullah Al Fanisah, terbitan Maktabah Al ‘Ubaikan, cetakan pertama, 1424 H.
    2. Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
    3. Taisir Al Karimir Rahman fii Tafsir Kalamil Manan, Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, 1420 H.


    www.rumaysho.com
    READ MORE - Nasihat Lukman Keenam(Jangan Bertingkah Sombong)