BismillAh...
Manhaj Salaf,[1] merupakan satu-satunya metode pemahaman dan pengamalan
agama Islam yang dijamin kebenarannya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, jaminan
mendapatkan keridhaan Allah Azza wa Jalla hanya diberikan kepada para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang
mengikuti petunjuk mereka dengan ihsan (kebaikan). Dinyatakan dalam
firman Allah Azza wa Jalla :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ
وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا
عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di
antara orang-orang Muhajirin dan Anshar (para sahabat Radhiyallahu
anhum) dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan
bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka
kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.
[at-Taubah/9:100].
Dalam ayat ini, Allah Azza wa Jalla menyebutkan jaminan keridhaan-Nya
bagi orang-orang yang mengikuti petunjuk para sahabat Radhiyallahu
anhum, dengan syarat mereka mengikutinya dengan ihsan (kebaikan).
Artinya, yaitu mengikuti petunjuk mereka secara keseluruhan dalam
memahami dan mengamalkan agama ini, baik dalam aqidah (keyakinan),
ibadah, tingkah laku, bergaul, bersikap, berdakwah, dan semua sisi
lainnya dalam beragama. Ringkasnya, mengikuti petunjuk para sahabat
Radhiyallahu anhum dalam mengilmui (memahami) dan mengamalkan agama ini
secara menyeluruh.
Tentang penafsiran ayat di atas, Imam Ibnu Katsir berkata: “Orang-orang
yang mengikuti mereka dengan kebaikan, ialah orang-orang yang mengikuti
jejak (petunjuk) mereka yang baik, dan sifat-sifat mereka yang terpuji,
serta selalu mendoakan kebaikan bagi mereka secara diam-diam maupun
terang-terangan”.[2]
MANHAJ SALAF: MANHAJ ILMU DAN AMAL
Inilah salah satu keistimewaan terbesar yang terdapat pada manhaj salaf.
Manhaj ini dibangun di atas ilmu (pemahaman) agama yang benar, dan
pengamalan yang baik. Seseorang yang benar-benar mengikuti manhaj ini,
ia akan terbimbing dalam pemahaman agamanya, sehingga akan terhindar
dari segala bentuk syubhat,[3] sekaligus terbimbing dalam pengamalan
ilmu tersebut sehingga terhindar dari segala bentuk syahwat (hawa nafsu,
Red.).[4]
Dengan keistimewaan ini pula, Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
pensifatan terhadap petunjuk yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam dalam firman-Nya:
مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَىٰ
Kawanmu (Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak sesat (dalam
ilmu) dan tidak pula menyimpang (dalam amal). [an-Najm/53:2].
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mensucikan petunjuk yang
dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua kerusakan.
Yaitu: adh-dhalâl (kesesatan),[5] dan al-ghawâyah/al-ghayy
(penyimpangan).[6] Ini berarti, tedapat dua bimbingan sekaligus. Yaitu
al-huda (bimbingan dalam ilmu dan pemahaman) dan ar-rusyd (bimbingan
dalam amal). Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah seorang
yang paling sempurna dalam memahami dan mengamalkan agama ini.[7]
Demikian pula dua bimbingan ini ada pada petunjuk yang dibawa
al-khulafa` ar-râsyidîn (para sahabat utama yang menggantikan
kepemimpinan Rasulullah setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam).
Disebutkan dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnah (petunjuk)ku dan
petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin …”.[8]
Dalam hadits ini Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut para
sahabat utama yang menggantikan kepemimpinan beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagai al-khulafa’ ar-râsyidîn al-mahdiyyin. Artinya para
khalifah yang memiliki ar-rusyd, yaitu bimbingan dalam amal (lawan dari
al-ghawâyah); dan memiliki al-huda, yaitu bimbingan dalam ilmu dan
pemahaman (lawan dari adh-dhalâl). Ini menunjukkan, seseorang yang
benar-benar mengikuti petunjuk al-khulafa’ ar-râsyidîn dan termasuk pula
para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara keseluruhan,
maka orang itu akan terbimbing dengan baik dalam memahami dan
mengamalkan agama Islam ini.
Kita mengetahui, para ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah dari kalangan
at-Tabi’in yang menimba ilmu secara langsung dari para sahabat
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , mereka tidak hanya
mempelajari secara teori belaka, akan tetapi juga mempelajari cara
mengamalkan dan mempraktekkan ilmu tersebut.
Abu 'Abdirrahmân 'Abdullah bin Habib bin Rubayyi’ah as-Sulami
al-Kuufi[9] berkata: “Kami mempelajari Al-Qur`ân dari suatu kaum (para
sahabat Radhiyallahu anhum) yang menyampaikan kepada kami, bahwa
dulunya, ketika mereka mempelajari sepuluh ayat (Al-Qur`ân dari
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), mereka tidak akan berpindah
ke sepuluh ayat berikutnya sampai mereka (benar-benar) memahami
kandungan ayat-ayat tersebut. Maka kamipun mempelajari Al-Qur`ân
sekaligus cara mengamalkannya. Dan setelah kami nanti, akan datang suatu
kaum yang mereka mempelajari Al-Qur`an seperti meminum air, yaitu
Al-Qur`ân itu tidak melampui tenggorokan mereka (maksudnya, tidak masuk
ke dalam hati mereka)”[10].
PARA ULAMA SALAF, MEREKA MERUPAKAN IMAM DALAM ILMU DAN AMAL
Jika mencermati dengan seksama biografi para imam besar Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah, kita akan mengetahui, mereka tidak hanya disifati sebagai
orang-orang yang mendalam ilmu agamanya saja, akan tetapi, mereka juga
orang-orang yang menjadi teladan dalam ibadah dan amal shalih.
Misalnya Rabî’ bin Khutsaim al-Kûfi (wafat tahun 65 H),[11] ia merupakan
salah seorang imam besar dari kalangan Tabi’in ‘senior’ yang terpercaya
dalam meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid sahabat yang mulia
'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu. Lantaran ketekunannya dalam
ibadah dan ketakwaan, sehingga guru beliau sendiri -Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu - memujinya dengan mengatakan: “Seandainya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatmu, maka sungguh beliau akan
mencintaimu. Setiap kali melihatmu, aku mengingat orang-orang yang
selalu menundukkan diri (kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala).”[12]
Muhammad bin Sirin al-Bashri (wafat tahun 110 H),[13] ia seorang imam
besar Tabi’in yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan
hadits. Di dalam biografinya diterangkan, beliau ialah seorang yang
sangat wara` (hati-hati dalam masalah halal dan haram) dan seorang yang
tekun beribadah. Abu ‘Awânah al-Yasykuri mengomentari tentang beliau:
“Aku melihat Muhammad bin Sirin di pasar; tidak seorangpun melihatnya,
kecuali orang itu akan mengingat Allah”.[14]
Tsabit bin Aslam al-Bunâni al-Bashri (wafat tahun 123 H atau 127 H),[15]
ia juga seorang imam besar dari kalangan Tabi’in yang terpercaya dalam
meriwayatkan hadits. Dia termasuk murid senior sahabat yang mulia, Anas
bin Mâlik Radhiyallahu anhu. Tsabit bin Aslam sangat tekun beribadah,
bahkan ia disifati sebagai orang yang paling tekun beribadah pada
masanya, sehingga Anas bin Malik Radhiyallahu anhu memujinya dengan
mengatakan: “Sesungguhnya, Tsabit termasuk pembuka pintu-pintu
kebaikan”.[16]
Dalam memujinya, Anas bin Malik Radhiyallahu anhu mengisyaratkan kepada
hadits yang diriwayatkannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , bahwa beliau bersabda: “Sesungguhnya di antara manusia ada
pembuka pintu-pintu kebaikan dan penutup pintu-pintu keburukan”.[17]
'Abdullah bin al-Mubarak al-Marwazi (wafat tahun 181 H),[18] ia seorang
imam besar ternama dari kalangan Atba’ut Tabi’in (murid para Tabi’in)
yang sangat terpercaya dan teliti dalam meriwayatkan hadits. Pensifatan
terhadapnya, ialah sebagai orang yang pada diri beliau terkumpul semua
sifat-sifat kebaikan; sampai-sampai Imam Sufyan bin ‘Uyainah memujinya
dengan mengatakan: “Aku memperhatikan (membandingkan) sifat-sifat para
sahabat Radhiyallahu anhum dengan sifat-sifat 'Abdullah bin al-Mubarak,
maka aku tidak melihat para sahabat Radhiyallahu anhum melebihi
keutamaannya, kecuali karena para sahabat Radhiyallahu anhum menyertai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berjihad bersamanya".[19]
Begitu pula dengan Ibnu Hajar dalam Taqrîbut-Tahdzîb (hlm. 271), ia
berkata: “Dia ('Abdullah bin al-Mubarak, Red.) adalah seorang yang
terpercaya lagi sangat teliti (dalam meriwayatkan hadits), memiliki ilmu
dan pemahaman (yang mendalam), dermawan lagi (sering) berjihad (di
jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala). Pada dirinya terkumpul (semua)
sifat-sifat baik”.
Sehubungan dengan pembahasan di atas, ada satu nukilan menarik yang
disebutkan oleh al-Khathib al-Baghdaadi dalam kitab beliau, Tarikh
Baghdad (9/58), dan adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin Nubalâ` (13/203),
dalam biografi imam besar penghafal hadits yang ternama, yaitu Abu Dawud
Sulaiman bin al-Asy’ats as-Sijistani (wafat tahun 275 H), pemilik kitab
Sunan Abi Dawud.
Dalam nukilan itu disebutkan mata rantai guru-guru beliau dalam
mempelajari ilmu hadits sehingga diketahui sampai kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka ialah Imam Ahmad bin Hambal,
beliau guru utama Imam Abu Dawud; kemudian Waqi’ bin al-Jarrah
ar-Ruaasi, beliau termasuk guru utama Imam Ahmad; lalu Sufyan bin Sa’id
ats-Tsauri, beliau merupakan guru utama Imam Waqi’ bin al-Jarrah;
selanjutnya Manshur bin al-Mu’tamir, beliau termasuk guru utama Sufyan
ats-Tsauri, selanjutnya Ibrahim bin Yazid an-Nakhâ`i, ialah termasuk
guru utama Manshur bin al-Mu’tamir; kemudian ‘Alqamah bin Qais
an-Nakhaa`i, beliau merupakan guru utama Ibrahim an-Nakhâ`i dan termasuk
murid "senior' sahabat yang mulia 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu
anhu. Selanjutnya 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, beliaulah yang
langsung menimba ilmu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Mereka ini, semua merupakan imam-imam besar Ahlul-Hadits yang sangat
terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , sehingga hadits-hadits mereka dicantumkan dalam kitab-kitab
hadits ternama, seperti Shahîh al-Bukhâri, Shahîh Muslim, dan lain-lain.
Yang menarik dari nukilan itu, bahwasanya semua imam-imam besar tersebut
disifati sebagai “orang yang diserupakan dengan gurunya dalam petunjuk
dan tingkah lakunya”; mulai dari Sahabat 'Abdullah bin Mas’ud
Radhiyallahu anhu, beliau diserupakan dengan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam petunjuk dan tingkah lakunya, kemudian ‘Alqamah
diserupakan dengan 'Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu dalam petunjuk
dan tingkah lakunya, seterusnya sampai kepada Imam Abu Dawud, beliau
diserupakan dengan Imam Ahmad bin Hambal dalam petunjuk dan tingkah
lakunya.
Dalam nukilan tersebut, kita mendapati para ulama Ahlus Sunnah dalam
menimba ilmu agama tidak hanya mengutamakan pengambilan ilmu secara
teori belaka, akan tetapi juga mengambil dan meneladani petunjuk dan
tingkah laku guru-guru mereka secara maksimal, sehingga Imam Abu Dawud
dapat mengambil dan meneladani petunjuk dan tingkah laku Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui teladan yang diambil dari
guru-guru beliau, padahal rentang masa antara beliau dengan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat jauh.
NASIHAT UNTUK PARA PENGIKUT MANHAJ SALAF
Dari keterangan di atas sangat jelaslah, di antara keistimewaan terbesar
yang ada pada manhaj salaf, yaitu perhatian dan kesemangatan mereka
dalam mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Oleh karena itu, maka kita
yang menisbatkan diri kepada manhaj ini, seharusnya berusaha untuk
mengikuti petunjuk mereka, agar kita termasuk ke dalam golongan
“orang-orang yang mengikuti petunjuk mereka dengan kebaikan” dan
mendapatkan ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala . Karena kalau bukan kita –
terlebih lagi para penuntut ilmu di antara kita – yang semangat
mempelajari dan mengamalkan petunjuk Al- Qur`ân dan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu siapa lagi?!
Marilah kita perhatikan dengan seksama nasihat Imam al-Khatîb
al-Baghdadi[20] tentang adab-adab utama yang seharusnya dimiliki oleh
para penuntut ilmu. Beliau berkata, semestinya para penuntut ilmu hadits
(berusaha) membedakan (antara) dirinya dengan kebiasaan orang-orang
awam dalam semua urusan (tingkah laku dan sikap)nya, dengan (berusaha)
mengamalkan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semaksimal
mungkin, dan membiasakan dirinya mengamalkan sunnah-sunnahnya, karena
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu. [al-Ahzâb/33:21].
Kemudian al-Khatîb al-Baghdadi membawakan beberapa atsar (riwayat) dari
ulama Salaf, di antaranya ucapan Imam al-Hasan al-Bashri: “Dahulu, jika
seseorang menuntut ilmu agama, maka tidak lama kemudian terlihat
(pengaruh ilmu tersebut) pada sifat khusyu’ (tunduk)nya (kepada Allah),
tingkah lakunya, ucapannya, pandangannya dan (perbuatan) tangannya”.
Juga atsar dari Imam Ahmad bin Hambal, ketika ada seorang penuntut ilmu
yang bermalam di rumah beliau, maka Imam Ahmad menyiapkan air (untuk
berwudhu), kemudian paginya Imam Ahmad datang kepada tamunya tersebut
dan mendapati air yang beliau siapkan tidak berkurang sama sekali, maka
beliau berkata: “Subhanallah (Maha Suci Allah)! Seorang penuntut ilmu
tidak melakukan wirid (dzikir dan shalat) pada malam hari?!”
Demikianlah, petunjuk para ulama Salaf dalam menjalankan agama ini; yang
kita mengaku menisbatkan diri kepada manhaj mereka, akan tetapi
sudahkah kita menerapkan petunjuk mereka dalam diri kita?
Semoga tulisan ini menjadi koreksi dan penambah motivasi bagi kita untuk
lebih semangat mencari ilmu yang bermanfaat, dan berusaha melatih diri
mengamalkan ilmu tersebut, serta tidak lupa banyak berdoa kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala , agar kita diberi kemudahan dalam menempuh manhaj
yang lurus ini.
Akhirnya, kami menutup tulisan ini dengan berdoa kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala , semoga Dia senantiasa melimpahkan taufik dan petunjuk-Nya
kepada kita, sehingga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang
mengikuti petunjuk para ulama Salaf dengan kebaikan, serta menjadikan
diri kita tetap istiqamah di atas manhaj yang lurus ini sampai akhir
hayat.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Metode beragama yang telah ditempuh oleh para sahabat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para ulama Ahlus-Sunnah yang mengukuti
petunjuk mereka.
[2]. Tafsir Ibnu Katsir, 4/432.
[3]. Artinya kerancuan dan kesalahpahaman dalam memahami agama Islam,
yang disebabkan ketidakmampuan membedakan antara yang benar dan yang
batil (salah). Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitabnya
Igâtsatul-Lahafân, hlm. 40 –Mawâridul-Amân.
[4]. Artinya memperturutkan keinginan nafsu yang buruk dan
mendahulukannya daripada petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Ibid.
[5]. Kerusahan dalam ilmu dan pemahaman.
[6]. Kerusakan dalam amal.
[7]. Lihat keterangan Ibnul-Qayyim dalam kitab Miftahu Dâris-Sa’âdah, 1/40.
[8]. HR Abu Dawud (no. 4607), at-Tirmidzi (no. 2676), Ibnu Majah (no. 42
dan 43) dan al-Hakim (no. 329) dan lain-lain, dari sahabat yang mulia
al ‘Irbaadh bin Saariyah Radhiyallahu anhu. Riwayat ini dinyatakan
shahîh oleh at- Tirmidzi, al-Hakim, dan disepakati oleh adz-Dzahabi,
begitu pula Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah (no. 937).
[9]. Beliau ialah seorang Tabi’in senior yang terpercaya dan teliti
dalam meriwayatkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
sehingga riwayat hadits beliau dicantumkan oleh para imam ahli hadits
dalam kitab-kitab hadits mereka, seperti halnya al-Bukhari, Muslim, Abu
Dawud, an-Nasâ`i, dan lain-lain. Beliau wafat pada sekitar tahun 73 atau
74 H. Biogarafi beliau terdapat di dalam kitab Tahdzîbul-Kamala
(14/408), Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/267), dan Taqrîbut-Tahdzîb (hlm.
250).
[10]. Atsar ini dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam Siyaru A’lâmin
Nubalâ` (4/269). Dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama
‘Atha` bin as-Saaib al-Kuufi. Ibnu Hajar di dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb
(hlm. 250) berkata tentang perawi ini: “Dia adalah seorang yang sangat
jujur, akan tetapi (hafalannya) tercampur”.
Meskipun demikian, perawi yang meriwayatkan darinya dalam atsar ini
ialah Hammâd bin Zaid al-Bashri yang meriwayatkan darinya sebelum
hafalannya tercampur, sebagaimana ucapan Imam Ali bin al-Madîni dan
al-‘Uqaili (lihat kitab Tahdzîbul-Kamâl, 7/185). Riwayat ini juga
dikuatkan dengan riwayat lain dari ucapan sahabat yang mulia 'Abdullah
bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam
Tafsir-nya (1/60) dengan sanad yang semua perawinya terpercaya, akan
tetapi Sulaiman bin Mihraan al-A’masy meriwayatkannya dengan ‘an’anah,
sedangkan ia seorang mudallis.
[11]. Biografi beliau dalam Tahdzîbul-Kamâl (9/70) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258).
[12]. Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/258), juga dinukil oleh al-Mîzi dalam
Tahdzîbul-Kamâl (9/72) dan Ibnu Hajar dalam kitab Taqrîbut-Tahdzîb (hal.
157).
[13]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (25/344) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/606).
[14]. Lihat Siyaru A’lâmin Nubalâ` (4/610). Sifat beliau ini menunjukkan
bahwa beliau ialah wali (kekasih) Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena
Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wali (kekasih) Allah
ialah seseorang yang jika (manusia) memandangnya maka mereka akan ingat
kepada Allah”. HR ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul-Kabîr (no. 12325),
Dhiya’uddin al-Maqdisi dalam al-Ahâditsul-Mukhtârah (2/212), dan
lain-lain. Hadits ini dinyatakan kuat oleh Syaikh al-Albani dalam
ash-Shahîhah (no. 1733) karena diriwayatkan dari jalur lain yang saling
menguatkan.
[15]. Biografi beliau terdapat dalam Tahdzibul-Kamal (4/342) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (5/220).
[16]. Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (no 35679). Semua
perawinya terpercaya kecuali Zaid bin Dirham al-Bashri; tidak ada
seorang imampun yang menyatakannya sebagai orang yang terpercaya kecuali
Ibnu Hibban yang menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqât (4/247).
[17]. HR Ibnu Majah (no. 237) dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab as-Sunnah
(no. 251). Dinyatakan hasan (baik) oleh Syaikh al-Albâni dalam
ash-Shahîhah (no. 1332) karena diriwayatkan dari berbagai jalur lain
yang saling menguatkan.
[18]. Biografi beliau dalam Tahdzibul-Kamal (16/5) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/378).
[19]. Lihat Tahdzibul-Kamal (16/16) dan Siyaru A’lâmin Nubalâ` (8/390).
[20]. Lihat kitab beliau, al-Jâmi’ li Akhlâqir-Râwi wa Âdâbis-Sâmi’ (1/215).
http://almanhaj.or.id/content/3449/slash/0/meniti-ilmu-di-atas-manhaj-salaf/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar