BismillAh...
Oleh : Syaikh Mushthaha Al-‘Adawi
Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata [Shahih Al-Bukhari, hadits no. 971]
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ قَالَ حَدَّثَنَا
أَبِي عَنْ عَاصِمٍ عَنْ حَفْصَةَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا
نُؤْمَرُ أَنْ نَخْرُجَ يَوْمَ الْعِيدِ حَتَّى نُخْرِجَ الْبِكْرَ مِنْ
خِدْرِهَا حَتَّى نُخْرِجَ الْحُيَّضَ فَيَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ
فَيُكَبِّرْنَ بِتَكْبِيرِهِمْ وَيَدْعُونَ بِدُعَائِهِمْ يَرْجُونَ
بَرَكَةَ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَطُهْرَتَهُ
"Muhammad telah menceritakan kepada kami,[1] Umar bin Hafs telah
menceritakan kepada kami, ia berkata: ayahku telah menceritakan kepada
kami, dari ‘Ashim, dari Hafshah dari Ummu ‘Athiyah ia berkata: “Dahulu
kami diperintahkan untuk keluar pada hari ‘Ied, sampai kami mengeluarkan
gadis dari pingitannya, mereka bertakbir dengan takbir mereka [2],
(para sahabat) dan juga berdo’a dengan do’a mereka, mengharap keberkahan
dan kesucian hari itu" [Juga diriwayatkan oleh Muslim (hal 606) dan Abu
Daud (1138).
Imam Al-Bukhari juga berkata (hadits no:1650)]
حَدَّثَنَا عَبْدُاللهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ
عَبْدِالرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِي
اللهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ قَدِمْتُ مَكَّةَ وَأَنَا حَائِضٌ وَلَمْ
أَطُفْ بِالْبَيْتِ وَلاَ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ قَالَتْ
فَشَكَوْتُ ذَلِكَ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ افْعَلِي كَمَا يَفْعَلُ الْحَاجُّ غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِي
بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami, Malik telah
mengkhabarkan kepada kami, dari Abdurrahman bin Al-Qasim, dari ayahnya,
dari ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata: “Aku datang ke Mekkah
sedangkan aku dalam keadaan haid dan aku belum thawaf di Ka’bah dan
juga belum (sa’i) antara Shafa dan Marwa.” Aisyah berkata: “Maka aku
adukan hal tersebut kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,”
lalu beliau bersabda: “Lakukanlah apa-apa yang dilakukan oleh orang yang
berhaji [3] selain thawaf di Ka’bah" [Hadits Shahih] [4]
BANTAHAN HUJJAH LARANGAN WANITA HAIDH MEMBACA AL-QUR'AN [4]
Sedangkan larangan, yaitu hadits Ali Radhiyallahu 'anhu : (yang dipakai
hujjah oleh sebagian ulama untuk melarang orang yang berhadats,
-termasuk wanita haidh- membaca al-Qur’an -Red) adalah :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقْضِي حَاجَتَهُ
ثُمَّ يَخْرُجُ فَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَأْكُلُ مَعَنَا اللَّحْمَ وَلاَ
يَحْجُبُهُ إِلاَّ الْجَنَابَةُ
1. "Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyelesaikan hajat beliau,
kemudian keluar, lalu beliaupun membaca al-Qur’an, serta makan daging
bersama kami, dan tidak ada sesuatupun yang menghalangi beliau selain
janabat." [6]
Hadits ini (tidak dapat diterima, karena) :
Pertama : Di dalamnya tidak ada larangan untuk membaca al-Qur’an bagi
orang yang junub dan orang yang haidh, ia hanyalah semata-mata perbuatan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua : Bahwa hadits ini dibicarakan (keshahihannya), karena
diriwayatkan dari jalan Abdullah bin Salamah, sedangkan hafalannya sudah
berubah. Ada riwayat senada dari Abul Gharif dari Ali, akan tetapi
riwayat tersebut menunjukkan cacat perawi yang menyatakannya sebagai
hadits marfu’ (hadits yang diriwayatkan sampai Nabi Shallallahu 'alaihi
wa sallam). Terlebih lagi jika perawi yang menyatakannya sebagai hadits
marfu’ adalah seorang yang ada sesuatu dalam hafalannya (yakni
hafalannya tidak kuat-Red), seperti Abdullah bin Salamah. Karena riwayat
Abil Gharif dari Ali berselisih, tentang marfu’ (sampai) nya kepada
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tentang mauquf (berhenti) nya
sampai sahabat Ali saja.
Pendapat yang lebih kuat adalah yang menyatakan sebagai mauquf, maka
yang nampak olehku bahwa hadits ini mauquf sampai Ali Radhiyallahu
'anhu.
2. Riwayat lain yang (dijadikan hujjah) larangan (dalam hal ini) adalah sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
إِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ
"Sesungguhnya aku tidak menyukai untuk berdzikir kepada Allah dalam keadaan tidak suci." [7]
Akan tetapi “ketidaksukaan” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di
sini hanyalah untuk tanzih (keutamaan; bukan larangan haram), hal ini
berdasarkan apa yang dijelaskan dalam hadits shahih dari Aisyah
Radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata:
وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَذْكُرُ اللهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
"Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdzikir kepada Allah setiap saat" [8]
3. Kaum yang melarang juga berdalil bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam bertayamum untuk menjawab salam. Maka di dalam hadits ini juga
tidak ada larangan bagi wanita haidh, dan orang yang junub untuk membaca
al-Qur’an, karena ia hanyalah semata-mata perbuatan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sedangkan Aisyah telah berkata
sebagaimana yang telah lewat: “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam berdzikir kepada Allah pada setiap saat”.
4. Kaum yang melarang juga berdalil dengan hadits Jabir dan Ibnu Umar
Radhiyallahu 'anhu secara marfu’ (sampai Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam):
لاَ يَقْرَأُ الْجُنُبُ وَلاَ الْحَائِضُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
"Tidak boleh bagi orang junub dan haidh membaca al-Qur’an". [9]
Hadits ini dhaif, tidak shahih dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Lihat kitab ‘Ilal Ibni Abi Hatim (1/49).
Demikianlah, sebagian ulama berpendapat terlarangnya wanita haidh
membaca al-Qur’an, dan sandaran mereka adalah sebagaimana yang telah
lewat dan telah kami jelaskan kelemahan-kelemahan yang ada pada
dalil-dalil mereka. Sedang sebagian ulama yang lain berpendapat bolehnya
wanita haidh membaca al-Qur’an dan berdzikir, dan pendapat terakhir
inilah yang kami pilih, berikut ini (kami bawakan) pendapat-pendapat
ulama yang membolehkan:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata (Majmu’al Fatawa
21/459): “Adapun membaca al-Qur’an bagi orang yang junub dan haidh, maka
ada 3 pendapat ulama dalam hal tersebut:
1. Ada yang berpendapat: boleh bagi keduanya, dan inilah madzhab Abu Hanifah dan yang masyhur dari madzhab Syafi’i dan Ahmad.
2. Ada juga yang berpendapat: tidak boleh bagi junub dan boleh bagi
wanita haidh, baik secara mutlak ataupun karena takut lupa, dan ini
adalah madzhab Imam Malik, dan satu pendapat pada madzhab Ahmad dan
selainnya. Karena tidak ada riwayat tentang wanita haidh membaca
Al-Qur’an, kecuali hadits yang diriwayatkan dari Ismail bin ‘Ayasy dari
Musa dari ‘Uqbah dari Nafi’ dari Ibnu Umar:
لاَ يَقْرَأُ الْحَائِضُ وَلاَ الْجُنُبُ شَيْئًا مِنَ الْقُرْآنِ
"Tidak boleh bagi yang haidh dan junub membaca al-Qur’an". [Diriwayatkan oleh Abu Daud dan yang lainnya].
Tetapi hadits tersebut dha’if menurut kesepakatan ahlul hadits. Karena
riwayat-riwayat Isma’il bin Ayyasy dari penduduk Hijaz adalah
hadits-hadits dhaif [10], berbeda dengan riwayat-riwayat yang ia ambil
dari penduduk Syam. Dan tidak ada seorang tsiqah (yang terpercaya) pun
meriwayatkan hadits tersebut dari Nafi’. Padahal telah diketahui bahwa
para wanita pada zaman Nabi juga mengalami haidh, namun beliau tidak
melarang mereka untuk membaca al-Qur’an, juga tidak melarang mereka
untuk berdzikir dan berdo’a.
Bahkan beliau memerintahkan para wanita haidh untuk keluar pada hari
‘Ied, sehingga mereka bertakbir dengan takbir kaum muslimin. Beliaupun
memerintahkan kepada wanita yang haidh untuk (melakukan) manasik haji
seluruhnya selain thawaf di Ka’bah. Ia (wanita haidh ) bertalbiyah
(mengucapkan “Labbaik Allahumma labbaik...-Red) sedangkan ia dalam
keadaan haidh, demikian pula halnya di Muzdalifah, Mina dan
tempat-tempat mengerjakan ibadah haji lainnya.
Adapun bagi orang yang junub, beliau tidak memerintahkan untuk
menghadiri ‘ied, shalat ataupun menunaikan sesuatu dari manasik haji.
Karena orang yang junub memungkinkan baginya untuk (segera ) bersuci,
dan tidak ada ‘udzur (alasan) baginya untuk menunda-nunda bersuci,
berbeda keadaanya dengan wanita haidh yang hadatsnya terus berlangsung
(selama darah masih keluar) dan tidak memungkinkan baginya untuk segera
bersuci. Oleh karena itu para ulama menyebutkan: “Tidak boleh bagi orang
yang junub wukuf di Arafah, Mudzalifah, dan Mina sampai ia suci”,
walaupun bersuci bukanlah syarat untuk wukuf tersebut. Akan tetapi yang
dimaksud adalah bahwa Asy-Syari’ (Pembuat syari’at) memerintahkan wanita
haidh -baik perintah wajib ataupun mustahab/tidak wajib- untuk
berdzikir kepada Allah dan berdo’a kepadaNya, sedangkan hal itu makruh
(tidak disukai) bagi orang yang junub. Oleh karena itulah diketahui
bahwa wanita haidh -karena udzur- diberi rukhshah (keringanan) pada
hal-hal yang rukhsah tersebut tidak diberikan kepada orang yang junub,
walaupun hadats wanita haidh berlangsung lebih lama. Demikian juga dalam
hal membaca al-Qur’an Allah tidak melarang wanita haidh dari hal
tersebut.
Bisa juga dikatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang
orang yang junub (hal itu) karena ia (orang junub) memungkinkan baginya
untuk segera bersuci lalu membaca al-Qur’an. Berbeda dengan wanita
haidh, yang hadatsnya berlangsung selama beberapa hari, sehingga –jika
dilarang- akan hilang darinya ibadah membaca al-Qur’an, yang ibadah
tersebut ia butuhkan, sementara ia tidak bisa segera bersuci. Dan
tidaklah sama antara membaca al-Qur’an dengan shalat, dalam shalat
disyaratkan suci dari hadats besar, sedangkan membaca al-Qur’an boleh
dilakukan walaupun (kita) berhadats kecil berdasarkan nash dan
kesepakatan para imam/ulama. Dalam shalat harus menghadap kiblat,
menutup aurat, suci dari najis. Sedangkan dalam membaca al-Qur’an
hal-hal tersebut tidak diwajibkan, bahkan di dalam hadits shahih
disebutkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah meletakkan
kepala beliau di pangkuan ‘Aisyah Radhiyallahu 'anha, sedangkan ‘Aisyah
dalam keadaan haidh.
Dan dalam Shahih Muslim (diriwayatkan) pula bahwa Allah Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
إِنَّي مُنْزِلٌ عَلَيْكَ كِتَابًا لاَ يَغْسِلُهُ الْمَاءُ تَقْرَؤُهُ نَائِمًا وَيَقْظَانًا
"Maka membaca al-Qur’an boleh dilakukan dengan berdiri, tidur, berjalan, berbaring maupun ketika naik kendaraan".[11]
3. Abu Muhammad bin Hazm berkata (Al—Muhalla: 1/77-78): “Permasalahan:
Membaca al-Qur’an, sujud tilawah, menyentuh mushaf dan berdzikir kepada
Allah Azza wa Jalla, semua itu boleh dilakukan dengan berwudhu atau
tanpa wudhu dan (boleh) bagi yang junub dan juga yang haidh.
Dalil hal tersebut adalah bahwa membaca al-Qur’an, sujud tilawah,
menyentuh mushaf dan berdzikir kepada Allah merupakan
perbuatan-perbuatan baik yang disunahkan, dan orang yang melakukannya
mendapat pahala, maka barangsiapa yang melarang hal-hal tersebut dalam
sebagian kondisi-kondisi tertentu, wajib untuk mendatangkan dalil".
Kemudian Abu Muhammad rahimahullah mulai menyebutkan pendapat-pendapat
yang menyelisihi pendapat beliau dalam hal itu, lalu membantahnya satu
per satu.
Kesimpulan.
Bahwa wanita yang haidh boleh untuk berdzikir kepada Allah dan membaca
al-Qur’an, karena tidak ada dalil yang shahih dan sharih (jelas) dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang melarang hal tersebut.
Bahkan riwayat yang ada (justeru) membolehkan hal-hal tersebut, yaitu
yang telah dijelaskan di atas. Wallahu ‘Alam.
[Diterjemahkan oleh Meli Nur Hasanah dari kitab Jami’ Ahkamin Nisa’ I/182-187,karya Syeikh Mushthaha Al-‘Adawi]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun V/1422H/2001M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]
________
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar