BismillAh...
Oleh
Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin Abdir Razzaq
Anas berkata, “Para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
jika menyerahkan seorang wanita kepada suaminya, maka mereka
memerintahkan isteri agar berkhidmat kepada suaminya dan memelihara
haknya.”
Ummu Humaid berkata, “Para wanita Madinah, jika hendak menyerahkan
seorang wanita kepada suaminya, pertama-tama mereka datang kepada
‘Aisyah dan memasukkannya di hadapannya, lalu dia meletakkan tangannya
di atas kepalanya seraya mendo’akannya dan memerintahkannya agar
bertakwa kepada Allah serta memenuhi hak suami”[1]
‘Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib berwasiat kepada puterinya,
“Janganlah engkau cemburu, sebab itu adalah kunci perceraian, dan
janganlah engkau suka mencela, karena hal itu menimbulkan kemurkaan.
Bercelaklah, karena hal itu adalah perhiasan paling indah, dan farfum
yang paling baik adalah air.”
Abud Darda' berkata kepada isterinya, “Jika engkau melihatku marah, maka
redakanlah kemarahanku. Jika aku melihatmu marah kepadaku, maka aku
meredakanmu. Jika tidak, kita tidak harmonis.”
Ambillah pemaafan dariku, maka engkau melanggengkan cintaku.
Janganlah engkau berbicara dengan keras sepertiku, ketika aku sedang marah
Janganlah menabuhku (untuk memancing kemarahan) seperti engkau menabuh rebana, sekalipun
Sebab, engkau tidak tahu bagaimana orang yang ditinggal pergi
Janganlah banyak mengeluh sehingga melenyapkan dayaku
Lalu hatiku enggan terhadapmu; sebab hati itu berbolak-balik
Sesungguhnya aku melihat cinta dan kebencian dalam hati
Jika keduanya berhimpun, maka cinta pasti akan pergi
‘Amr bin Hajar, Raja Kindah, meminang Ummu Ayyas binti ‘Auf. Ketika dia
akan dibawa kepada suaminya, ibunya, Umamah binti al-Haris menemui
puterinya lalu berpesan kepadanya dengan suatu pesan yang menjelaskan
dasar-dasar kehidupan yang bahagia dan kewajibannya kepada suaminya yang
patut menjadi undang-undang bagi semua wanita. Ia berpesan:
“Wahai puteriku, engkau berpisah dengan suasana yang darinya engkau
keluar, dan engkau beralih pada kehidupan yang di dalamnya engkau naik
untuk orang yang lalai dan membantu orang yang berakal. Seandainya
wanita tidak membutuhkan suami karena kedua orang tuanya masih cukup dan
keduanya sangat membutuhkanya, niscaya akulah orang yang paling tidak
membutuhkannya. Tetapi kaum wanita diciptakan untuk laki-laki, dan
karena mereka pula laki-laki diciptakan.
Wahai puteriku, sesungguhnya engkau berpisah dengan suasana yang darinya
engkau keluar dan engkau berganti kehidupan, di dalamnya engkau naik
kepada keluarga yang belum engkau kenal dan teman yang engkau belum
terbiasa dengannya. Ia dengan kekuasaannya menjadi pengawas dan raja
atasmu, maka jadilah engkau sebagai abdi, niscaya ia menjadi abdimu
pula. Peliharalah untuknya 10 perkara, niscaya ini akan menjadi kekayaan
bagimu.
Pertama dan kedua, tunduk kepadanya dengan qana’ah (merasa cukup), serta mendengar dan patuh kepadanya.
Ketiga dan keempat, memperhatikan mata dan hidungnya. Jangan sampai
matanya melihat suatu keburukan darimu, dan jangan sampai mencium darimu
kecuali aroma yang paling harum.
Kelima dan keenam, memperhatikan tidur dan makannya. Karena terlambat
makan akan bergejolak dan menggagalkan tidur itu membuat orang marah.
Ketujuh dan kedelapan, menjaga hartanya dan memelihara keluarga dan
kerabatnya. Inti perkara berkenaan dengan harta ialah menghargainya
dengan baik, sedangkan berkenaan dengan keluarga ialah mengaturnya
dengan baik.
Kesembilan dan kesepuluh, jangan menentang perintahnya dan jangan
menyebarkan rahasianya. Karena jika engkau menyelisihi perintahnya, maka
hatinya menjadi kesal dan jika engkau menyebarkan rahasianya, maka
engkau tidak merasa aman terhadap pengkhianatannya. Kemudian janganlah
engkau bergembira di hadapannya ketika dia bersedih, dan jangan pula
bersedih di hadapannya ketika dia bergembira”[2]
Seseorang menikahkan puterinya dengan keponakannya. Ketika ia hendak
membawanya, maka dia berkata kepada ibunya, “Perintahkan kepada puterimu
agar tidak singgah di kediaman (suaminya) melainkan dalam keadaan telah
mandi. Sebab, air itu dapat mencemerlangkan bagian atas dan
membersihkan bagian bawah. Dan janganlah ia terlalu sering mencumbuinya.
Sebab jika badan lelah, maka hati menjadi lelah. Jangan pula
menghalangi syahwatnya, sebab keharmonisan itu terletak dalam
kesesuaian.
Ketika al-Farafishah bin al-Ahash membawa puterinya, Nailah, kepada
Amirul Mukminin ‘Utsman bin ‘Affan Radhitallahu ‘anhu, dan beliau telah
menikahinya, maka ayahnya menasihatinya dengan ucapannya, “Wahai
puteriku, engkau didahulukan atas para wanita dari kaum wanita Quraisy
yang lebih mampu untuk berdandan darimu, maka peliharalah dariku dua hal
ini : bercelaklah dan mandilah, sehingga aromamu adalah aroma bejana
yang terguyur hujan.”
Abul Aswad berkata kepada puterinya, “Jangalah engkau cemburu, sebab
kecemburuan itu adalah kunci perceraian. Berhiaslah, dan sebaik-baik
perhiasan ialah celak. Pakailah wewangian, dan sebaik-baik wewangian
ialah menyempurnakan wudhu.’”
Ummu Ma’ashirah menasihati puterinya dengan nasihat berikut ini yang
telah diramunya dengan senyum dan air matanya: “Wahai puteriku, engkau
akan memulai kehidupan yang baru… Suatu kehidupan yang tiada tempat di
dalamnya untuk ibumu, ayahmu, atau untuk seorang pun dari saudaramu.
Engkau akan menjadi teman bagi seorang pria yang tidak ingin ada
seorangpun yang menyekutuinya berkenaan denganmu hingga walaupun ia
berasal dari daging dan darahmu. Jadilah engkau sebagai isteri, wahai
puteriku, dan jadilah engkau sebagai ibu baginya. Jadikanlah ia merasa
bahwa engkau adalah segalanya dalam kehidupannya dan segalanya dalam
dunianya. Ingatlah selalu bahwa suami itu anak-anak yang besar, jarang
sekali kata-kata manis yang membahagiakannya. Jangan engkau
menjadikannya merasa bahwa dengan dia menikahimu, ia telah menghalangimu
dari keluargamu.
Perasaan ini sendiri juga dirasakan olehnya. Sebab, dia juga telah
meninggalkan rumah kedua orang tuanya dan meninggalkan keluarganya
karenamu. Tetapi perbedaan antara dirimu dengannya ialah perbedaan
antara wanita dan laki-laki. Wanita selalu rindu kepada keluarganya,
kepada rumahnya di mana dia dilahirkan, tumbuh menjadi besar dan
belajar. Tetapi dia harus membiasakan dirinya dalam kehidupan yang baru
ini. Ia harus mencari hakikat hidupnya bersama pria yang telah menjadi
suami dan ayah bagi anak-anaknya. Inilah duniamu yang baru, wahai
puteriku. Inilah masa kini dan masa depanmu. Inilah mahligaimu, di mana
kalian berdua bersama-sama menciptakannya.
Adapun kedua orang tuamu adalah masa lalu. Aku tidak memintamu melupakan
ayah dan ibumu serta saudara-saudaramu, karena mereka tidak akan
melupakanmu selama-lamanya. Wahai sayangku, bagaimana mungkin ibu akan
lupa belahan hatinya? Tetapi aku meminta kepadamu agar engkau mencintai
suamimu, mendampingi suamimu, dan engkau bahagia dengan kehidupanmu
bersamanya.”
Diriwayatkan bahwa Ibnu Abi ‘Udzr ad-Du'ali -pada hari-hari pemerintahan
‘Umar Radhiyallahu ‘anhu- menceraikan wanita-wanita yang dinikahinya.
Sehingga muncullah kepadanya beberapa peristiwa yang tidak disukainya
berkenaan dengan para wanita tersebut dari hal itu. Ketika dia
mengetahui hal itu, maka dia memegang tangan ‘Abdullah bin al-Arqam
sehingga membawanya ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada isterinya:
“Aku memintamu bersumpah demi Allah, apakah engkau benci kepadaku?” Ia
menjawab, “Jangan memintaku bersumpah demi Allah.” Dia mengatakan, “Aku
memintamu bersumpah demi Allah.” Ia menjawab, “Ya.”
Kemudian dia berkata kepada Ibnul Arqam, “Apakah engkau dengar?”
Kemudian keduanya bertolak hingga sampai kepada ‘Umar bin al-Khaththab
Radhiyallahu ‘anhu lalu mengatakan, “Kalian mengatakan bahwa aku
menzhalimi kaum wanita dan menceraikan mereka. Bertanyalah kepada
al-Arqam.” Lalu ‘Umar bertanya kepadanya dan mengabarkannya. Lalu beliau
mengirim utusan kepada isteri Ibnu Abi ‘Udzrah (untuk datang kepada
‘Umar). Ia pun datang bersama bibinya, lalu ‘Umar bertanya, “Engkaukah
yang bercerita kepada suamimu bahwa engkau marah kepadanya?” Ia
menjawab, “Aku adalah orang yang mula-mula bertaubat dan menelaah
kembali perintah Allah kepadaku. Ia memintaku bersumpah dan aku takut
berdosa bila berdusta, apakah aku boleh berdusta, wahai Amirul
Mukminin?” Dia menjawab, “Ya, berdustalah. Jika salah seorang dari
kalian tidak menyukai salah seorang dari kami, janganlah menceritakan
hal itu kepadanya. Sebab, jarang sekali rumah yang dibangun di atas
dasar cinta, tetapi manusia hidup dengan Islam dan mencari pahala”[3]
Kepada setiap muslimah yang memenuhi hak-hak suaminya dan takut terhadap
murka Rabb-nya karena dia mengetahui hak suaminya atasnya! Inilah
contoh sebagian pria yang mensifati isterinya yang tidak mengetahui hak
suaminya dan tidak pula memelihara kebaikannya. Ia tidak mempercantik
diri dan tidak berdandan untuknya, serta bermulut kasar. Ia mensifatinya
dengan sifat yang membuat hati bergetar dan telinga terngiang-ngiang.
Camkanlah sehingga engkau tidak jatuh ke tempat yang menggelincirkan
ini.
[Disalin dari kitab Isyratun Nisaa Minal Alif Ilal Yaa, Edisi Indonesia
Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Penulis Abu Hafsh Usamah bin
Kamal bin Abdir Razzaq, Penterjemah Ahmad Saikhu, Penerbit Pustaka Ibnu
Katsair]
__________
Foote Note
[1]. HR. Ibnu Abi Syaibah (IV/305-306).
[2]. Ahkaamun Nisaa’, Ibnul Jauzi (hal. 74-78).
[3]. Syarhus Sunnah (XIII/120).
http://almanhaj.or.id/content/2126/slash/0/pesan-pesan-untuk-isteri/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar