BismillAh...
Dalam Mukhtârus Shihâh, pengertian janin (al-janîn) adalah al-waladu mâ
dâma fil bathn (anak selama masih dalam kandungan ibunya).[1] Disebut
janin karena masih tidak terlihat dan tersembunyi.[2] Pengertian senada
juga tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang
menyebutkan pengertian bakal bayi (masih dalam kandungan).[3] Janin
sebagai bakal calon manusia pun menerima bagian perhatian tersendiri
dalam syariat Islam yang sempurna, sejak pertama kali menunjukkan
tanda-tanda kehidupan di rahim sang ibu. Meski belum terlahir di alam
dunia, Islam telah menaruh perhatian kepadanya. Berikut ini beberapa
aspek perhatian Islam kepada janin.
A. Larangan Zina
Allah Azza wa Jallatelah memberitakan bahwa nasab merupakan anugerah agung bagi para hamba-Nya. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا ۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan
manusia itu (punya) keturunan dan mushâharah dan adalah Rabbmu Maha
Kuasa. [al-Furqân/25:54]
Di antara maqâshid (tujuan-tujuan luhur) syariat Islam, memelihara
an-nasl dan an-nasab (keturunan dan garis pernasaban). Atas dasar itu,
Islam melarang perzinaan, melontarkan tuduhan zina (al-qadzaf) dan
hukuman yang berat atas dua perbuatan di atas. Ketetapan ini ditujukan
untuk memelihara garis pernasaban janin. Sebab di antara efek negatif
perzinaan adalah bercampur-baurnya nasab jabang bayi lantaran benih
tersemai dalam hubungan yang tidak syar'i dan Islam telah menetapkan
jabang bayi yang akan lahir kelak tidak mempunyai ayah.
B. Perintah Memilih Calon Ayah Shalih Dan Ibu Yang Shalihah
Termasuk hak janin atas kedua orang tuanya, agar mereka memilih pasangan
yang baik (shalih/shalihah). Terdapat banyak hadits yang menganjurkan
kaum pria agar memilih wanita baik-baik. Di antaranya, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تَخَيَّرُوْا لِنُطْفِكُمْ
Pilih-pilihlah tempat untuk mani kalian… [HR. Ibnu Mâjah dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Ibni Mâjah]
Kaum pria tidak boleh terkecoh oleh penampilan wanita yang menarik atau
menjadikan pesona penampilan sebagai bahan utama menentukan pilihan
istri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan
standar dalam memilih isteri dengan bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرأَةُ لأَِرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَافَاظْفَرْبِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita dinikahi karena empat perkara; karena hartanya, status
sosialnya, kecantikannya dan agamanya. Carilah wanita yang punya agama,
engkau akan beruntung [HR. al-Bukhâri dan Muslim].
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِهَا الْمَرْأَةُ الصَّلِحَةُ
Dunia adalah perhiasan. Dan sebaik-baik perhiasan di dalamnya adalah wanita shalihah [HR. Muslim]
'Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu pernah ditanya mengenai hak
seorang anak atas ayahnya. Beliau menjawab: "Yaitu memilih ibu terbaik,
menamainya dengan nama yang baik dan mengajarinya al-Qur`an".
Abul Aswad ad-Duali rahimahullah pernah berkata kepada anak-anaknya:
"Aku telah berbuat baik kepada kalian saat masih kanak-kanak dan dewasa
serta sebelum kalian terlahirkan". Mereka bertanya-tanya: "Bagaimana
ayah berbuat baik kepada kami sebelum kami dilahirkan?". Ia menjawab:
"Aku pilihkan kalian ibu yang tidak akan menjadi celaan bagi kalian"
Seorang anak selain membutuhkan seorang ibu yang shalihah, ia juga
membutuhkan keberadaan bapak yang shalih yang memberikan perhatian
kepada ibu dan anaknya. Di sinilah letak kewajiban keluarga dan wali
wanita. Mereka hendaknya tidak menikahkan putrinya dengan lelaki mana
saja yang maju meminangnya. Harus dipastikan kebaikan budi pekerti si
pria dan agamanya, terutama di masa sekarang yang penuh dengan fitnah
dan pemikiran yang menyeleweng. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata:
إذَا أَتَاكُمْ مَنْ تَرضَوْنَ خُلُقَهُ وَدِيْنَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي اْلأَضِ وَفَسَادٌعَرِيضٌ
Jika datang kepada kalian lelaki yang kalian ridhai agama dan akhaknya,
maka nikahkanlah. Jika tidak, akan terjadi fitnah di dunia dan kerusakan
yang besar".
Al-Mubârakfuri rahimahullah menjelaskan: “Bahaya itu akan terjadi karena
kalian tidak akan menikahkannya kecuali dengan lelaki berharta atau
berstatus sosial tinggi. Sehingga kemungkinan akan banyak kaum wanita
hidup tanpa suami dan kaum lelaki hidup tanpa istri. Akibatnya, banyak
orang terjerumus dalam fitnah perzinaan. Dan pada gilirannya aib akan
melekat pada para wali, dan kemudian fitnah dan kerusakan pun semakin
menyala-nyala. Terputusnya garis nasab dan pudarnya keshalihan pribadi
dan penjagaan terhadap kehormatan jiwa pun terjadi"[4]
Akan sangat berbahaya, bila seorang muslimah berada di bawah kendali
lelaki mulhid (berpemikiran menyimpang), atau lelaki permisif yang
memandang kebebasan mutlak bagi manusia, suami yang memaksa untuk
berbuat maksiat, tidak mengenal arti penting pemeliharaan kehormatan dan
sebagainya.
C. Perhatian Islam Terhadap Kesehatan Ibu Dan Janinnya
Ibu yang sedang mengandung akan mengalami kondisi berat. Begitu juga di
waktu persalinan dan pasca persalinan saat menyusui jabang bayinya.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu
bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya
dengan susah payah (pula) [al-Ahqâf/46:15]
Kata Imam al-Qurthubi rahimahullah : “Ayat ini mengisyaratkan tentang
kesulitan dan kepayahan yang harus dialami oleh ibu saat hamil. [5]
Mengingat kondisi sulit yang mesti dijalani seorang wanita hamil, Ulama
telah mengkategorikan wanita hamil yang mengkhawatirkan jiwanya atau
kandungannya (atau mengkhawatirkan jiwa dan kandungannya sekaligus) ke
dalam golongan orang yang sudah tua renta yang boleh tidak berpuasa.
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan bahwa termasuk ke dalam
kategori orang yang sudah tua yang tidak sanggup berpuasa adalah wanita
hamil dan wanita yang sedang menyusui, jika mereka mengkhawatirkan diri
mereka atau anak-anak mereka. Dalam masalah ini Ulama berselisih
pendapat mengenai kewajiban mereka. Sebagian mengatakan: “Mereka (wanita
hamil dan menyusui) berkewajiban membayar fidyah dan mengqadha”.
Sebagian lain berpendapat: “Membayar fidyah saja, tidak mengqadha”.
Pendapat lain: “Wajib mengqadha tanpa membayar fidyah. Atau yang
mengatakan, mereka tidak berpuasa, tanpa membayar fidyah atau
mengqadha[6]
D. Penundaan Pelaksanaan Hukum Had Bagi Wanita Hamil
Perhatian Islam terhadap janin juga dapat diketahui melalui penundaan
pelaksanaan hukum had yang harus dialami oleh seorang wanita hamil. Baik
disebabkan ia murtad, membunuh, atau berzina, sampai ia melahirkan bayi
dan selesai dari nifasnya.
Begitu pula bila hukuman yang dijalani berupa jild (pukulan), wanita
hamil tidak boleh dijilid sampai ia melahirkan, dan tidak boleh dirajam
sampai ia melahirkan. Ia diberi tempo sampai masa nifasnya berakhir.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Ijma Ulama telah terbakukan menyatakan
wanita hamil karena zina padahal sudah menikah, ia tidak dikenai rajam
sampai melahirkan". [Fathul Bari12/146]
Dasar keterangan mereka adalah hadits wanita Ghamidiyyah Radhiyallahu
anha yang berbuat zina dan kemudian hamil. Disebutkan dalam hadits:
فَجَاءَتْ الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ
زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي وَإِنَّهُ رَدَّهَا فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَتْ
يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ تَرُدُّنِي لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِي كَمَا
رَدَدْتَ مَاعِزًا فَوَاللَّهِ إِنِّي لَحُبْلَى قَالَ إِمَّا لَا
فَاذْهَبِي حَتَّى تَلِدِي فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي
خِرْقَةٍ قَالَتْ هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ قَالَ اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ
حَتَّى تَفْطِمِيهِ فَلَمَّا فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ
كِسْرَةُ خُبْزٍ فَقَالَتْ هَذَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَدْ فَطَمْتُهُ
وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ فَدَفَعَ الصَّبِيَّ إِلَى رَجُلٍ مِنْ
الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا إِلَى صَدْرِهَا
وَأَمَرَ النَّاسَ فَرَجَمُوهَا
… Kemudian wanita Ghamidiyah datang seraya berkata: “Wahai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , aku telah berzina. Bersihkanlah aku".
Beliau menolaknya. Keesokan harinya, ia berkata: "Wahai Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , kenapa engkau menolakku?. Mungkin engkau
menolakku layaknya engkau menolak Maiz. Demi Allah Azza wa Jalla, aku
benar-benar hamil". Beliau menjawab: “Pergilah, kembali setelah engkau
melahirkan". Setelah melahirkan, ia mendatangi beliau dengan anaknya
dalam balutan kain. Ia berkata: "Aku telah melahirkan". Beliau berkata:
"Pulanglah, susuilah ia sampai engkau menyapihnya". Ketika ia telah
menyapihnya, ia mendatangi beliau bersama anaknya yang memegang sepotong
roti. Ia berkata: "Wahai Nabi Allah Azza wa Jalla, aku telah
menyapihnya dan ia bisa makan roti". Maka sang anak diserahkan kepada
seorang lelaki dari kalangan Muslimin. Beliau memerintahkan untuk
penggalian lubang sebatas dadanya. Orang-orang diperintahkan untuk
melemparinya dengan batu…[HR. Muslim]
Ketentuan ini ditempuh dalam rangka memelihara janin yang sedang
dikandung, agar tidak ada gangguan yang mengenainya. Sebab, terbunuhnya
si ibu melalui hukum qishâsh akan berpengaruh terhadap kelangsungan
hidup janin yang dikandungnya.
Syaikh Shalih al-Fauzân berkata: "Apabila qishâs ditegakkan terhadap
seorang wanita yang hamil, ia tidak dibunuh (langsung, red) sampai
melahirkan. Sebab kematiannya akan mengakibatkan kematian janin, padahal
janin itu tidak bersalah”. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. [al-An'âm/6:164] [7]
Beliau menambahkan : "Ini menunjukkan kesempurnaan syariat Islam dan
keadilannya. Sebab memperhatikan hak janin dalam kandungan, tidak
membiarkan adanya bahaya yang mengancamnya…".[8]
E. Kewajiban Mmenafkahi Istri Yang Hamil Yang Diceraikan
Sudah diketahui bersama, seorang wanita yang menjadi istri lelaki, maka
biaya hidupnya ditanggung oleh suami, berdasarkan firman Allah Azza wa
Jalla:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. [al-Baqarah/2:233]
Namun, kehidupan rumah tangga terkadang harus menghadapi kondisi-kondisi
sulit sehingga mengakibatkan terputusnya tali ikatan perkawinan. Dengan
kata lain, berujung pada perceraian. Dalam kasus ini, tidak menutup
kemungkinan si istri tengah mengandung anak (mantan) suaminya ini.
Kendatipun si wanita sudah bukan lagi berstatus sebagai istri, akan
tetapi lelaki yang menjadi ayah janin yang dikandung mantan istrinya
wajib menafkahinya karena janin yang dikandungnya. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di talak) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin
[ath-Thalâq/65:6]
Syaikh Abdur Rahmaan as-Sa'di rahimahullah berkata: “(Ketetapan itu)
demi kandungan yang sedang berada dalam perutnya (wanita), jika ia telah
ditalak bain. Dan demi kandungan dan dirinya bila talaknya bersifat
raj'i[9]
Ibnul 'Arabi rahimahullah berkata: "Allah menentukan hak memperoleh
tempat tinggal dan nafkah bagi wanita-wanita hamil yang telah ditalak
tiga kali"[10]
Bahkan ketentuan ini telah menjadi ijma` di kalangan Ulama. Ibnu Qudâmah
rahimahullah berkata: "Kesimpulan dalam masalah ini, seorang lelaki
yang mentalak istrinya yang sedang hamil dengan talak bain (talak yang
menyebabkan istri tidak bisa kembali lagi), baik dengan talak tiga,
khulu' (gugatan cerai yang dikabulkan), atau pernikahannya batal
(fasakh), maka ia (si isteri) berhak memperoleh nafkah dan tempat
tinggal berdasarkan ijma` Ulama, sesuai dengan firman Allah Azza wa
Jalla.
وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah di talak) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka itu nafkahnya hingga mereka bersalin
[ath-Thalâq/65:6]
Sebab janin yang dikandung adalah anak si lelaki itu, maka ia wajib
memberikan nafkah bagi janin dalam kandungan itu. Bapaknya tidak bisa
memberikan nafkah langsung kepada sang janin kecuali dengan memberi
nafkah kepada mantan istrinya. Hal ini wajib dilakukan sebagaimana wajib
membayar upah wanita yang menyusui (anaknya)". [11]
F. Penetapan Denda Atas Orang Yang Menyebabkan Keguguran Janin
Apabila dilakukan ta`dîb (pelaksanaan sanksi hukuman) terhadap seorang
wanita yang tengah hamil, sampai mengakibatkan keguguran, maka si
penghukum berkewajiban memerdekakan budak lelaki atau perempuan. Dalam
Shahîhain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan kewajiban
memerdekakan budak sahaya, lelaki atau perempuan dalam perkara
keguguran kandungan (Muttafaqun 'alaih)
Ini merupakan pendapat mayoritas Ulama
Kasus lain, apabila ada orang mengagetkan wanita yang tengah hamil,
sehingga terjadi keguguran karenanya, maka orang yang menyebabkan
kekagetan itu wajib membayar diyat. Sebab ia menjadi faktor kematian si
janin. [12]
G. Hak Waris Janin
Hak waris janin dalam kandungan juga dilindungi oleh Islam. Bila janin
memenuhi dua syarat maka akan memperoleh bagian harta warisan. Pertama,
kepastian hidupnya janin pada waktu kematian orang yang akan diwarisi
kekayaannya (bapaknya misalnya). Kedua, terlahir dalam keadaan hidup
(dengan memenuhi syarat-syarat lain yang ada dalam ilmu warisan).
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا اسْتَهَلَّ الْمََوْلُوْدُ وُرِّثَ
Jika anak terlahir dalam keadaan hidup, maka ia memperoleh hak warisan [HR. Abu Dâwud]
Penundaan pembagian warisan berpotensi menimbulkan kerugian bagi
sebagian ahli waris. Oleh karena itu, kendatipun ada ahli waris yang
'berujud' janin, hal itu tidak menghalangi dilakukannya pembagian waris
dengan segera. Meskipun pada asalnya, lebih baik ditunggu agar tidak
mesti berhadapan dengan silang pendapat Ulama dalam masalah ini. Namun
bila ada ahli waris yang tidak rela menunggu, berdasarkan pendapat
râjih, maka mereka itu (para ahli waris) boleh melakukan pembagian
langsung.[13] Sehubungan dengan nasib janin, maka akan ada prosentase
warisan kekayaan yang 'dipeti-eskan' untuk bagiannya, yang sudah
dijelaskan dalam buku-buku faraidh.
Kesimpulan
Islam sangat menaruh perhatian terhadap kelangsungan hidup umat manusia.
Nyawa dalam Islam mahal harganya, tidak seperti pada bangsa Barat yang
katanya sangat menjunjung hak asasi manusia. Mereka justru
menginjak-injak hak hidup bangsa lain, apalagi kaum Muslimin. Ini kian
menunjukkan betapa indahnya Islam dan sebaliknya alangkah buruknya wajah
hak asasi model Barat. Mestinya umat manusia sedunia menjadikan Islam
sebagai pandangan hidup dan panutan. Wallâhu a'lam (Redaksi)
Referensi:
1. Ahkâmul Qur`ân, Imam Ibnul 'Arabi tahqîq 'Abdur Razzâq al-Mahdi Dârul Kitâb al-'Arabi Cet. I Th. 1421H.
2. Ahkâmul Janîni Fil Fiqhil Islâmi, 'Umar bin Muhammad bin Ibrâhîm Ghânim, Dâr Andalus al-Khadrâ Cet I Th. 1421H.
3. Al-Jâmi' Li Ahkâmil Qur`ân, Imam al-Qurthubi, tahqîq Abdur Razzâq al-Mahdi Dârul Kitâb al-'Arabi Cet. I Th. 1421H.
4. Al-Mulakhkhash al-Fiqhi, Shalih al-Fauzân, Dârul 'Ashimah Cet. I Th. 1423H.
5. Taisîrul Karîmir Rahmân, 'Abdur Rahmân as-Sa'di, Muassasah Risâlah Beir
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XIIi/Jumadil Tsani
1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197
Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Mukhtârus Shihâh, Muhammad bin Abi Bakr ar-Râzi Dârul Kutub
al-'Ilmiyyah Cet I Th. 1410 H, hal. 55, al-Jâmi Li Ahkâmil Qur`ân
(17/97)
[2]. al-Jâmi` Li Ahkâmil Qur`ân (17/97 )
[3]. KBBI hal.
[4]. Tuhfatul Ahwadzi (4/204)
[5]. Al-Jâmi' Li Ahkâmil Qur`ân (14/64)
[6]. Tafsîrul Qur`ânil 'Azhîm (1/505), tahqîq Sâmi as-Salâmah, Dâr Thaibah
[7]. al-Mulakhkhas al-Fiqh, kitâbul qishâsh, 2/477
[8]. Ibid (2/478). Lihat juga kitâbut thalâq di halaman 422 dalam kitab yang sama.
[9]. At-Taisîr hlm. 871
[10]. Ahkâmul Qur`ân (3/215)
[11]. Al-Mughni 7/405
[12]. Lihat al-Mulakhkhash al-Fiqhi (2/492-493)
[13]. Lihat al-Mulakhkhash al-Fiqhi (2/293)
http://almanhaj.or.id/content/3364/slash/0/perhatian-syariat-islam-terhadap-janin/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar