BismillAh...Oleh
Ustadz Aris Munandar bin S.Ahmadi
SEJARAH DAN KEUTAMAAN PUASA ASYURA
Sesungguhnya hari Asyura (10 Muharram) meski merupkan hari bersejarah
dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid'ah di dalamnya.
Adapun yang dituntunkan syariat kepada kita pada hari itu hanyalah
berpuasa, dengan dijaga agar jangan sampai tasyabbuh dengan orang
Yahudi.
أَنَّ عَائِشَةَ رَضِي الهُِ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ الهِن صَلَّى
الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ …
"Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari asyura di masa jahiliyyah,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun melakukannya pada masa
jahiliyyah. Tatkala beliau sampai di Madinah beliau berpuasa pada hari
itu dan memerintahkan umatnya untuk berpuasa." [1]
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى الهُم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى
الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا
يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى الهُل بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ
عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى
مِنْكُمْ نَحْنُ نَصُوْمُهُ تَعْظِيْمًا لَهُ
"Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, kemudian beliau
melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Beliau bertanya
:"Apa ini?" Mereka menjawab :"Sebuah hari yang baik, ini adalah hari
dimana Allah menyelamatkan bani Israil dari musuh mereka, maka Musa
berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur. Maka beliau Rasulullah
menjawab :"Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka
kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk pengagungan kami
terhadap hari itu." [2]
Dua hadits ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura
di masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah melakukannya. Kemudian sewaktu tiba di Madinah, beliau
temukan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari itu, maka Nabi-pun
berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.
Diriwayatkan pada hadits lain.
وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى
“Ia adalah hari mendaratnya kapal Nuh di atas gunung “Judi” lalu Nuh berpuasa pada hari itu sebagai wujud rasa syukur”[3]
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِي الهُل عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ الهِ
صَلَّى الهُه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ
“Abu Musa berkata : “Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang
Yahudi dan mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulllah
Shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Puasalah kalian pada hari itu”
[4]
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa di hari
Asyura, maka beliau menjawab : “Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa
kecil) pada tahun kemarin” [5]
CARA BERPUASA DI HARI ASYURA
1. Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah disebutkan oleh Ibnul Qayyim
dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:
خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ
"Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya."
Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-Urf asy-Syadzi:
صُومُوهُ وَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا وَ لاَ تُشَبِّهُوَا بِالْيَهُوْدِ
"Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi."
Namun di dalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim
berkata (dalam Zaadud Ma'al 2/76):"Ini adalah derajat yang paling
sempurna." Syaikh Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan:"Inilah yang Utama."
Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan
cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa tiga hari tersebut
(9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan
Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury dalam Ma’arifus Sunan 5/434
Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan
untuklebih hati-hati.Ibnul Qudamah di dalam Al-Mughni 3/174 menukil
pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari)
pada saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.
2. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram
Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:
صَامَ رَسُولُ الهِع صَلَّى الهُت عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ الهِس إِنَّهُ يَوْمٌ
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهُم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ
حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ الهَِ صَلَّى الهَُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari Asyura dan
memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:"Ya Rasulullah,
sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi." Maka beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: "Di tahun depan insya Allah kita akan
berpuasa pada tanggal 9.", tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat."[6]
Dalam riwayat lain :
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
"Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan melaksanakan puasa pada hari kesembilan."[7].
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245) :"Keinginan beliau
untuk berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau
tidak hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan
pada hari kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan
mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara, kemungkinan
kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan sebagian riwayat
Muslim”
عَنْ عَطَاء أَنَّهُ سَمِعَ ابْنِ عَبَاسٍ يَقُوْلُ: وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا التَّاسِعَ وَ الْعَاشِرَ
"Dari 'Atha', dia mendengar Ibnu Abbas berkata:"Selisihilan Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.
3. Berpuasa Dua Hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11 Muharram
صُومُوا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
"Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”
Hadits marfu' ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):
-. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.
-. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
-. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu'
Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan
al-Ma'tsurah karya As-Syafi'i no 338 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam
Tahdzibul Atsar 1/218.
Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal 49):"Dalam sebagian riwayat
disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini mungkin karena
keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan…."
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):"Dan ini adalahl akhir
perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dahulu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyocoki ahli kitab dalam hal yang
tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang
musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termahsyur, beliau
suka menyelisihi ahli kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini
(masalah puasa Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau
menyocoki ahli kitab dan berkata :"Kami lebih berhak atas Musa daripada
kalian (Yahudi).", kemudian beliau menyukai menyelisihi ahli kitab, maka
beliau menambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi ahli
kitab."
Ar-Rafi'i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :"Berdasarkan ini,
seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk berpuasa
pada tanggal 11"
4. Berpuasa pada 10 Muharram saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :"Puasa Asyura mempunyai 3
tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan diatasnya
ditambah puasa pada tanggal 9, dan tingkatan diatasnya ditambah puasa
pada tanggal 9 dan 11. Wallahu a'lam."
BID’AH-BID’AH DI HARI ASYURA
1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, sholat ini disebut dengan sholat Asyura
2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut, mewarnai kuku, dan menyemir rambut.
3. Membuat makanan khusus yang tidak seperti biasanya.
4. Membakar kemenyan.
5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahannya itu.
6. Doa awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal tahun (Sebagaimana termaktub dalam Majmu' Syarif)
7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin
8. Memberi uang belanja lebih kepada keluarga.
9. As-Subki berkata (ad-Din al-Khalish 8/417):"Adapun pernyataan
sebagian orang yang menganjurkan setelah mandi hari ini (10 Muharram)
untuk ziarah kepada orang alim, menengok orang sakit, mengusap kepala
anak yatim, memotong kuku, membaca al-Fatihah seribu kali dan
bersilaturahmi maka tidak ada dalil yg menunjukkan keutamaan amal-amal
itu jika dikerjakan pada hari Asyura. Yang benar amalan-amalan ini
diperintahkan oleh syariat di setiap saat, adapun mengkhususkan di hari
ini (10 Muharram) maka hukumnya adalah bid'ah."
Ibnu Rajab berkata (Latha’iful Ma’arif hal. 53) : “Hadits anjuran
memberikan uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari
banyak jalan namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama yang
mengatakan demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin Al-Hakam Al-Uqaili
berkata :”(Hadits itu tidak dikenal)”. Adapun mengadakan ma’tam
(kumpulan orang dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan
oleh Rafidhah dalam rangka mengenang kematian Husain bin Ali
Radhiyallahu ‘anhu maka itu adalah perbuatan orang-orang yang tersesat
di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat kebaikan. Allah dan
RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma’tam pada hari lahir
atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang selain
mereka”
Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu,
Al-Hafidz Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas)
berkata : “Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura, berhias,
bersenang-senang, berpesta dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah
lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat
dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits puasa. Adapun
selainnya adalah bathil seperti.
مَنْ وَ سَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ سَائِرَ سَنَتِهِ
“Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura,
niscaya Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun”.
Imam Ahmad berkata : “Hadits ini tidak sah/bathil”. Adapun hadits-hadits
bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu
dibuat-buat oleh tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan
menjadikan hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua
goloangan ini adalah ahli bid’ah yang menyimpang dari As-Sunnah.
Sedangkan Ahlus Sunnah melaksanakan puasa pada hari itu yang
diperintahkan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi
bid’ah-bid’ah yang diperintahkan oleh syaithan”.
Adapun shalat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam Al-Lali
2/29 berkata : “Maudhu’ (hadits palsu)”. Ucapan beliau ini diambil
Asy-Syaukani dalam Al-Fawaid Al-Majmu’ah hal.47. Hal senada juga
diucapkan oleh Al-Iraqi dalam Tanzihus Syari’ah 2/89 dan Ibnul Jauzi
dalam Al-Maudlu’ah 2/122
Ibnu Rajab berkata (Latha’ful Ma’arif) : “Setiap riwayat yang
menerangkan keutamaan bercelak, pacar, kutek dan mandi pada hari Asyura
adalah maudlu (palsu) tidak sah. Contohnya hadits yang dikatakan dari
Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu secara marfu.
غْتَسَلَ وَ تَطَهَّرَ فِي يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمْرَضْ فِي سَنَتِهِ إِلاَّ مَرَضَ الْمَوْتِ
“Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian”.
Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain.
Adapun hadits,
ِمَنِ اكْتَحَلَ بِالإِثْمِدِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ لَمْ تَرْمِدْ عَيْنُهُ أَبَدًا
“Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak akan pernah sakit selamanya”
Maka ulama seperti Ibnu Rajab, Az-Zakarsyi dan As-Sakhawi menilainya sebagai hadits maudlu (palsu).
Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu’at 2/204. Baihaqi dalam
Syu’abul Iman 7/379 dan Fadhail Auqat 246 dan Al-Hakim sebagaimana
dinukil As-Suyuthi dalam Al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata : “Bercelak di
hari Asyura tidak ada satu pun atsar/hadits dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dan hal ini adalah bid’ah yang dibuat oleh para
pembunuh Husain Radhiyallahu ‘anhu.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari Asyura. Semoga kita bisa meninggalkan bid’ah-bid’ahnya. Amin
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar