BismillAh...
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍٍ اْلأَنْصَاريِ الْبَدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((إِنَّ
مِـمَّـا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِِ النُّبُوَّةِ اْلأُوْلَى : إِذَا
لَمْ تَسْتَحْيِ ؛ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ)). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu
ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari
kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah
sesukamu.’”
TAKHRÎJ HADÎTS
Hadits ini shahîh diriwayatkan oleh: Al-Bukhâri (no. 3483, 3484, 6120),
Ahmad (IV/121, 122, V/273), Abû Dâwud (no. 4797), Ibnu Mâjah (no. 4183),
ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmul Ausath (no. 2332), Abu Nu’aim dalam
Hilyatul Auliyâ' (IV/411, VIII/129), al-Baihaqi (X/192), al-Baghawi
dalam Syarhus Sunnah (no. 3597), ath-Thayâlisi (no. 655), dan Ibnu
Hibbân (no. 606-at-Ta’lîqâtul Hisân).
PENJELASAN HADÎTS
A. Pengertian Malu
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan menjauhi segala apa yang dibenci.[1]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah
(hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa
(hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati
seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula
dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh
seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa
malu menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu yaitu melihat kenikmatan dan
keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu.
Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan
dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[2]
Kesimpulan definisi di atas ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai)
yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang
buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan
dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.[3]
B. Keutamaan Malu
1. Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.
Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan yang mulia dan
menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” [Muttafaq ‘alaihi]
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu kebaikan seluruhnya.” [4]
Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis
yang sedang dipingit.
2. Malu Adalah Cabang Keimanan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً،
فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ
اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang
yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling
rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah
salah satu cabang Iman.”[5]
3. Allah Azza Wa Jalla Cinta Kepada Orang-Orang Yang Malu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ ، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu, Maha Menutupi, Dia
mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang dari kalian
mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”[6]
4. Malu Adalah Akhlak Para Malaikat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.
“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”[7]
5. Malu Adalah Akhlak Islam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan akhlak Islam adalah malu.”[8]
6. Malu Sebagai Pencegah Pemiliknya Dari Melakukan Maksiat.
Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu anhu yang mengecam saudaranya
dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah
merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”[9]
Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata, “Maknanya, bahwa orang itu
berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa malunya, sehingga rasa
malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan perbuatan
maksiat.”[10]
7. Malu Senantiasa Seiring Dengan Iman, Bila Salah Satunya Tercabut Hilanglah Yang Lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”[11]
8. Malu Akan Mengantarkan Seseorang Ke Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.
“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman tempatnya di Surga dan
perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang tabiat kasar
tempatnya di Neraka.”[12]
C. Malu Adalah Warisan Para Nabi Terdahulu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda , “Sesungguhnya salah
satu perkara yang telah diketahui manusia dari kalimat kenabian
terdahulu…"
Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang sangat agung, yang mengajak
kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang diwariskan oleh para
Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada generasi awal
umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Di antara perkara
yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa
Jalla adalah berakhlak malu.[13]
Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji, dianggap baik, dan
diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at para nabi
terdahulu.[14]
D. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu
Allah Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ النَّبِيِّ إِلَّا
أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ إِنَاهُ وَلَٰكِنْ
إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ فَانْتَشِرُوا وَلَا
مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ
فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi
kecuali bila kamu diizinkan untuk Makan dengan tidak menunggu-nunggu
waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang Maka masuklah dan
bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang
percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu
Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu
(menerangkan) yang benar. [al-Ahzâb/ 33:53]
Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ فِـيْ خِدْرِهَا.
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.”[15]
Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu
yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan
perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi,
tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab),
sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi n memiliki dua jenis malu ini,
akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang
dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak
tertinggi.”[16]
E. Makna Perintah Untuk Malu Dalam Hadits Ini
Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”
Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, di antaranya:
1. Perintah Tersebut Mengandung Arti Peringatan Dan Ancaman
Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja
sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal
dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat atau
kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla :
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.[Fushilat/41:40]
2. Perintah Tersebut Mengandung Arti Penjelasan.
Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa malu, maka ia berbuat apa
saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk
berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak malu akan larut
dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi
orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja, hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.”[17]
Sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas bentuknya berupa
perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa barangsiapa berdusta
terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.[18]
3. Perintah Tersebut Mengandung Arti Pembolehan.
Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah tersebut mengandung arti
pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka
lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau
tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka
lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.”[19]
Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.[20]
F. Malu Itu Ada Dua Jenis
1. Malu Yang Merupakan Tabiat Dan Watak Bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Azza wa
Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.”[21]
Malu seperti ini menghalangi seseorang dari mengerjakan perbuatan buruk
dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak mulia. Dalam konteks ini,
malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh al-Hakami berkata, “Aku
tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian aku
mendapatkan sifat wara’ (takwa).”[22]
2. Malu Yang Timbul Karena Adanya Usaha.
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh (mengenal Allah Azza wa
Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya,
perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata yang
berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat
dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai
bagian dari iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal
dari tabi’at maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama
sekali yang menahannya dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat
sehingga seorang hamba menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di
muka bumi dengan tubuh manusia. Kita memohon keselamatan kepada Allah
Azza wa Jalla .[23]
Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di atas kebodohannya- sangat
merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk karena dicegah oleh
rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami oleh Abu Sufyan
ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Abu Sufyan berkata,
فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ عَلَيْهِ.
“Demi Allah Azza wa Jalla , kalau bukan karena rasa malu yang menjadikan
aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai pendusta, niscaya aku akan
berbohong kepadanya (tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam).”[24]
Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat kedustaan atas nama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena ia malu jika dituduh
sebagai pendusta.
G. Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ
حَقَّ الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا
حَوَى وَلْيَذْكُرٍِِِِِِِِِِِِِِ الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ
اْلأَخِِِِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ
اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.
Hendaklah kalian malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar
malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan
sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada
padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan
hendaklah ia selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang
menginginkan kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan
dunia. Dan barangsiapa yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia
telah malu kepada Allah Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu.[25]
H. Malu Yang Tercela
Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang
menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan
itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan dengan sebutan
malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.”[26] Dengan demikian,
malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla
sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya
tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak
orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah
tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan
ketidakberdayaan.[27]
Di antara sifat malu yang tercela adalah malu untuk menuntut ilmu
syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan amar ma’ruf
nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk shalat
berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah
yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi
laki-laki, dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena
akan menghalanginya memperoleh kebaikan yang sangat besar.
Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.
Orang yang malu dan orang yang sombong tidak akan mendapatkan ilmu.[28]
Ummul Mukminin ‘Âisyah Radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.[29]
Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu bertanya kepada
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika ada permasalahan agama
yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi
menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah, “Wahai
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Sesungguhnya Allah Azza wa
Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang wanita wajib mandi
apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Apabila ia melihat air.”[30]
I. Wanita Muslimah Dan Rasa Malu
Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa malu. Di dalamnya kaum
muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik generasi dengan
kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim telah
mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak
perempuan dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala
berfirman,
فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِي يَدْعُوكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua perempuan itu
berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya ayahku
mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu
memberi minum (ternak kami)…” [Al-Qashash/28: 25]
Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya, berjalan dengan cara
berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika menemui kaum
laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak
merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap
dapat menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan
tidak terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat,
bersih, dan lurus. Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika
bertemu dengan kaum laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena
kesuciannya dan keistiqamahannya, dia tidak panik karena kepanikan
sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan rangsangan. Dia berbicara
sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari itu.
Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu sebagai wanita yang suka
keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang disebut sebagai wanita
tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur dengan laki-laki
tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita tersebut
adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam. Dia
mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang,
maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan
musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan
akhirat.[31] Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.
Setiap suami atau kepala rumah tangga wajib berhati-hati dan wajib
menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak mengikuti pergaulan
dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu seperti
terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan mahram,
ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain.
Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di
atas rasa malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia
melepaskan rasa malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun
ikut hilang.
J. Buah Dari Rasa Malu
Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan). Siapa saja yang
memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya, niscaya ia akan
berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa'
(setia/menepati janji).
Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah berkata, “Wajib bagi orang yang
berakal untuk bersikap malu terhadap sesama manusia. Diantara berkah
yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap malu adalah akan
terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela. Disamping
itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan cara
senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah.
Karena, manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan
Allah dan saat berhubungan sosial dengan orang lain.
Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula perilaku baiknya, sedang
perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah, maka sikap buruknya
menguat dan kebaikannya meredup.[32]
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa
malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam
kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang
rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang
kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang
dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan
bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya
tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan
tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki
rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat
setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan.
Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan
berucap apa saja yang disukainya.”
FAWÂÎD HADÎTS
1. Malu adalah salah satu wasiat yang disampaikan oleh para Nabi terdahulu.
2. Sifat malu semuanya terpuji dan senantiasa disyari’atkan oleh para Nabi terdahulu.
3. Hadits ini menunjukkan bahwa malu itu seluruhnya baik. Barangsiapa
banyak rasa malunya, banyak pula kebaikannya dan manfaatnya lebih
menyeluruh. Dan barangsiapa yang sedikit rasa malunya, sedikit pula
kebaikannya.
4. Malu adalah sifat yang mendorong pemiliknya untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk.
5. Malu yang mencegah seseorang dari menuntut ilmu dan mencari kebenaran adalah malu yang tercela.
6. Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak Islam adalah malu.
7. Buah dari malu adalah ‘iffah (menjaga kehormatan) dan wafa' (setia).
8. Malu adalah bagian dari iman yang wajib.
9. Orang-orang Jahiliyyah dahulu memiliki rasa malu yang mencegah mereka dari mengerjakan sebagian perbuatan jelek.
10. Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu dan menyukai sifat malu serta mencintai hamba-hamba-Nya yang pemalu.
11. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.
12. Malaikat mempunyai sifat malu.
13. Lawan dari malu adalah tidak tahu malu (muka tembok), ia adalah
perangai yang membawa pemiliknya melakukan keburukan dan tenggelam di
dalamnya serta tidak malu melakukan maksiat secara terang-terangan.
Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ أُمَّـتِيْ مُعَافًى إِلاَّ الْـمُجَاهِرِيْنَ.
Setiap umatku pasti dimaafkan, kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.[34]
14. Para orang tua wajib menanamkan rasa malu kepada anak-anak mereka.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Penerbit
Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 53)
[2]. Madârijus Sâlikîn (II/270). Lihat juga Fathul Bâri (X/522) tentang definisi malu.
[3]. Lihat al-Haya' fî Dhau-il Qur-ânil Karîm wal Ahâdîts ash-Shahîhah (hal. 9).
[4]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37/60), dari Shahabat ‘Imran bin Husain.
[5]. Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no.
35), Abû Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no.
57), dari Shahabat Abû Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no.
2800).
[6]. Shahîh: HR.Abû Dawud (no. 4012), an-Nasâ-i (I/200), dan Ahmad (IV/224) dari Ya’la.
[7]. Shahîh: HR.Muslim (no. 2401).
[8]. Shahîh: HR.Ibnu Mâjah (no. 4181) dan ath-Thabrâni dalam
al-Mu’jâmush Shaghîr (I/13-14) dari Shahabat Anas bin Malik. Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 940).
[9]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 24, 6118), Muslim (no. 36), Ahmad
(II/9), Abû Dâwud (no. 4795), at-Tirmidzî (no. 2516), an-Nasâ-i
(VIII/121), Ibnu Mâjah (no. 58), dan Ibnu Hibbân (no. 610) dari Ibnu
‘Umar radhiyallâhu ‘anhu.
[10]. Fathul Bâri (X/522).
[11]. Shahîh: HR.al-Hâkim (I/22), ath-Thabrâni dalam al-Mu’jâmush
Shaghîr (I/223), al-Mundziri dalam at-Targhîb wat Tarhîb (no. 3827), Abû
Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat
Shahîh al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 3200).
[12]. Shahîh: HR.Ahmad (II/501), at-Tirmidzî (no. 2009), Ibnu Hibbân
(no. 1929-Mawârid), al-Hâkim (I/52-53) dari Abû Hurairah t . Lihat
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 495) dan Shahîh al-Jâmi’ish
Shaghîr (no. 3199).
[13]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/497) dan Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 179-180). Cet. I Dâr Ibni Hazm.
[14]. Lihat Syarh al-Arba’în (hal. 83) karya Ibnu Daqîq al-‘Îed.
[15]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6119).
[16]. Fathul Bâri (X/522).
[17]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 110), Muslim (no. 30), dan selainnya dengan sanad mutawâtir dari banyak para Shahabat.
[18]. Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/498) dan Qawâ’id wa Faawâid (hal. 180)
[19]. Fathul Bâri (X/523).
[20]. Lihat Madârijus Sâlikîn (II/270).
[21]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6117) dan Muslim (no. 37).
[22]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (I/501).
[23]. Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id (hal. 181).
[24]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 7).
[25]. Hasan: HR.at-Tirmidzi (no. 2458), Ahmad (I/ 387), al-Hâkim
(IV/323), dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (no. 4033). Lihat Shahîh
al-Jâmi’ish Shaghîr (no. 935).
[26]. Fathul Bâri (X/522).
[27]. Lihat Qawâ’id wa Fawâid (hal. 182).
[28]. Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri secara mu’allaq dalam
Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr
dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/534-535, no. 879).
[29]. Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh al-Bukhâri dalam Shahîhnya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil ‘Ilmi secara mu’allaq.
[30]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 130) dan Muslim (no. 313).
Maksud hadits ini ialah, wajib bagi laki-laki dan wanita mandi janabat
apabila ia mimpi jimâ’ (bersetubuh) lalu keluar mani. Apabila ia mimpi
jima’ tetapi tidak keluar mani maka tidak wajib mandi. Adapun jika
suami-istri jimâ’ (bersetubuh) keduanya wajib mandi meskipun tidak
keluar mani.
[31]. Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în an-Nawawiyyah (hal. 153).
[32]. Raudhatul ‘Uqalâ wa Nuzhatul Fudhalâ' (hal. 55).
[33]. Ibid (hal. 55).
[34]. Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah
Shahîh: HR.al-Bukhâri (no. 6096) dan Muslim (no. 2990) dari Abû Hurairah .
http://almanhaj.or.id/content/3441/slash/0/malu-adalah-akhlak-islam/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar