BismillAh...
(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah)
Dalam pembahasan yang lalu telah kita ketahui bahwa dalam masalah ziarah
kubur bagi wanita, ahlul ilmi terbagi dalam tiga pendapat: yang
mengatakan makruh tidak haram, mubah tidak makruh, dan yang berpendapat
haram. Di akhir pembahasan, kami telah menyinggung bahwa pendapat yang
kuat dan menenangkan hati kami dengan melihat dalil yang ada dan
memperhatikan ucapan ulama adalah pendapat yang membolehkan ziarah kubur
bagi wanita, bahkan hukumnya mustahab sebagaimana laki-laki, wallahu
ta’ala a’lam, dengan beberapa alasan yang akan kami bawakan dalam
pembahasan berikut ini, wabillahi at-taufiq.
Pertama: Hadits-hadits yang membolehkan ziarah kubur bagi wanita lebih shahih daripada hadits-hadits yang melarang.
Kedua: Lafadz: yang terdapat dalam hadits Abu Hurairah z:
Sesungguhnya Rasulullah n melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan1.
menunjukkan mubalaghah, artinya yang dilaknat adalah wanita yang banyak
berziarah. Sehingga wanita yang berziarah hanya sekali-kali tidaklah
masuk dalam ancaman hadits di atas. Kalau ada yang berargumen bahwa ada
hadits lain yang tidak dalam bentuk mubalaghah yaitu hadits Ibnu ‘Abbas
c, ia berkata:
Sesungguhnya Rasulullah n melaknat wanita-wanita yang berziarah ke kuburan2.
Maka penjelasannya sebagai berikut: Ha-dits: telah diriwayatkan dari
beberapa shahabat Rasulullah n yaitu Abu Hurairah, Hassan bin Tsabit,
dan Ibnu ‘Abbas g. Semuanya membawakan dengan bentuk mubalaghah: ,
kecuali satu riwayat dari hadits Ibnu ‘Abbas c dari jalan Abu Shalih
maula Ummu Hani’ bintu Abi Thalib xdibawakan dengan lafadz:
Kita perhatikan lafadznya tidak berbentuk mubalaghah. Namun perlu
diketahui, rawi yang berkunyah Abu Shalih ini bernama Badzan atau
Badzam. Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t: “Ia perawi yang dha’if
(lemah).” (Taqribut Tahdzib, hal. 59, no. 634)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Ia dha’if menurut jumhur nuqqad3. Tidak
ada seorang pun yang mentsiqahkannya kecuali Al-’Ijli sebagaimana
dikatakan Al-Hafizh dalam At-Tahdzib, bahkan Isma’il bin Abi Khalid dan
Al-Azdi mendustakannya. Sebagian yang lain menjelekkannya dengan suka
berbuat tadlis. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah, hadits no. 225,
hal. 393-394 dan Al-Irwa`, 3/212)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa yang shahih dari hadits ini
hanyalah yang menyebutkan lafadz mubalaghah karena bersepakatnya hadits
Abu Hurairah dan hadits Hasan c. Bahkan disepakati pula oleh hadits Ibnu
‘Abbas c dalam riwayat dari kebanyakan perawi, walaupun padanya ada
kelemahan sehingga tidak pantas dijadikan sebagai syahid (pendukung),
namun tidak menjadi masalah, kata Asy-Syaikh Al-Albani t. Dengan
demikian yang dilaknat dari hadits tersebut adalah wanita-wanita yang
banyak melakukan ziarah kubur. Adapun yang tidak sering maka tidaklah
masuk dalam laknat tersebut.
Sekarang menjadi jelaslah ketidak-bolehan mempertentangkan hadits ini
dengan hadits-hadits yang menunjukkan disunnah-kannya ziarah kubur bagi
wanita. Karena hadits ini khusus (hanya tertuju bagi wanita yang sering
melakukan ziarah), sedangkan hadits tentang sunnahnya ziarah kubur
adalah umum. Maka, masing-masingnya diamalkan sesuai tempatnya.
Mengumpulkan dalil-dalil yang ada adalah lebih utama daripada menganggap
adanya naskh (adanya dalil yang dihapus hukumnya). (Lihat Ahkamul
Jana`iz wa Bida’uha, Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 235-237)
Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Laknat yang disebutkan dalam hadits
hanyalah ditujukan kepada para wanita yang banyak ziarah kubur karena
dalam hadits disebutkan dengan bentuk mubalaghah. Sebab pelarangannya
mungkin karena bila wanita sering ziarah kubur akan mengantarkannya
untuk menyia-nyiakan hak suami dan keluar dengan tabarruj. Di samping
juga akan muncul teriakan-teriakan/suara keras dari si wanita di sisi
kubur dan semisalnya. Dan dinyatakan bahwa bila aman dari terjadinya
semua itu maka tidak ada larangan memberi izin kepada mereka untuk
datang ziarah ke kubur, karena mengingat kematian dibutuhkan bagi
laki-laki dan juga bagi wanita.” (Fathul Bari, 3/190)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata mengomentari ucapan Al-Imam Al-Qurthubi
di atas: “Ucapan ini sepantasnya dijadikan sebagai sandaran/pegangan
dalam mengumpulkan di antara hadits-hadits dalam pembahasan ini yang
secara dzahir terlihat saling bertentangan.” (Nailul Authar, 4/147)
Ketiga: Keumuman sabda Nabi n:
“Aku pernah melarang kalian dari ziarah kubur maka (sekarang) ziarahilah kuburan.”4
Sehingga termasuk di dalamnya perintah kepada kaum wanita. Karena ketika
pada awalnya Nabi n melarang ziarah kubur, tidak diragukan bahwa
larangan itu umum mencakup laki-laki dan perempuan. Tatkala beliau
nyatakan: dipahami bahwa beliau juga menujukan pembicaraan kepada
laki-laki dan perempuan. Maka bila kalimat yang awal ini ditujukan bagi
laki-laki dan perempuan berarti kalimat selanjutnya, yaitu: juga
ditujukan kepada kedua jenis tersebut.
Yang memperkuat keterangan di atas adalah kelanjutan dari hadits ini,
seperti tersebut dalam riwayat Muslim dari hadits Buraidah z yang telah
disebutkan di atas:
“Dan aku pernah melarang kalian untuk menyimpan daging hewan kurban
lebih dari tiga hari, maka sekarang tahanlah (simpanlah) berapa hari
yang kalian inginkan. Aku pernah melarang kalian dari nabidz5 kecuali
yang di dalam bejana tempat minum, maka sekarang minumlah yang ada di
dalam bejana tempat minum seluruhnya dan jangan kalian meminum minuman
yang memabukkan.”
Asy-Syaikh Al-Albani t mengatakan: “Semua perbuatan yang disebutkan
dalam hadits di atas, pembicaraannya ditujukan kepada dua jenis
(laki-laki dan perempuan) secara pasti, sebagaimana sasaran pembicaraan
pada kalimat yang awal: . Bila dikatakan sasaran pembicaraan pada sabda
Nabi n: itu hanya khusus bagi laki-laki, niscaya akan rusak/kacau
susunan kalimat yang ada dan akan hilang kesegarannya. Ini merupakan
perkara yang tidak pantas bagi sang pemilik jawami’ul kalim6 (yakni
Rasulullah n).” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 229)
Keempat: Berserikatnya perempuan dengan laki-laki dalam tujuan
disyariatkannya ziarah kubur, yaitu melunakkan hati, mengalirkan air
mata, mengingatkan pada kematian dan hari akhir.
Kelima: Pemahaman Aisyah x dalam masalah ini. Bahkan ia sendiri
melakukan ziarah kubur, sebagaimana diberitakan Abdullah ibnu Abi
Mulaikah: “Suatu hari Aisyahx datang dari pekuburan, maka aku berkata
kepadanya: “Wahai Ummul Mukminin! Dari mana engkau datang?”
Aisyah x menjawab: “Dari kubur saudaraku Abdurrahman bin Abi Bakar.”
“Bukankah Rasulullah n melarang melakukan ziarah kubur?” tanyaku.
“Iya, kemudian beliau perintahkan untuk ziarah kubur,” jawab ‘Aisyah x.
(HR. Al-Hakim 1/376, Al-Baihaqi 4/78 dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Al Irwa‘, no. 775)
Suatu hari Muhammad bin Qais bin Makhramah ibnul Muthallib berkata:
“Maukah aku beritakan kepada kalian tentang aku dan ibuku?” Perawi yang
mendengar ucapan itu berkata: “Kami menyangka bahwa yang dimaksudkan
oleh Muhammad bin Qais adalah ibu yang melahirkannya.” Namun ternyata
Muhammad bin Qais berkata: “Aisyah x berkata: ‘Maukah aku ceritakan
kepada kalian tentang aku dan Rasulullah n?’
‘Tentu kami mau,’ jawab kami
‘Aisyah x pun mulai bercerita: ‘Suatu ketika, di malam giliranku,
Rasulullah n meletakkan rida`-nya, melepas kedua sandalnya dan
meletakkannya di sisi kedua kakinya. Lalu beliau membentangkan ujung
sarungnya di atas tempat tidurnya, setelahnya beliau pun berbaring.
Tidak berapa lama sekadar beliau menyangka aku telah tertidur, beliau
bangkit lalu mengambil rida`-nya dengan perlahan dan mengenakan
sandalnya dengan perlahan, kemudian membuka pintu dan keluar, setelahnya
pintu ditutup kembali dengan perlahan. Aku pun bangkit dan mengenakan
pakaianku, menutup kepalaku dan menutup wajahku dengan sarung. Kemudian
aku mengikuti jejak beliau, hingga sampai di pekuburan Baqi’. Rasulullah
n berdiri lama lalu mengangkat kedua tangannya sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau berbalik, akupun berbalik. Beliau bersegera, aku pun
bersegera. Beliau berlari kecil, akupun berlari kecil. Beliau berlari
lebih cepat, aku pun melakukan yang sama, hingga aku dapat mendahului
beliau lalu segera masuk ke dalam rumah. Belum lama aku merebahkan
tubuhku, beliau masuk. Melihat keadaanku beliau bertanya heran: ‘Ada apa
dengan dirimu, wahai ‘Aisy? Kulihat nafasmu memburu.’
‘Tidak apa-apa,’ kilahku.
‘Beritahu aku, atau Allah yang akan mengabarkan kepadaku!’ ancam beliau.
Aku pun menceritakan kejadian yang baru berlangsung. Mendengar
penuturanku, beliau berkata: ‘Berarti engkau adalah sosok yang aku lihat
di hadapanku tadi?’
‘Iya,’ jawabku.
Beliau mendorong dadaku dengan kuat hingga membuatku kesakitan. Kemudian
beliau bersabda: ‘Apakah engkau menyangka Allah dan Rasul-Nya akan
berbuat tidak adil terhadapmu7?’
‘Aisyah x berkata: ‘Bagaimana pun manusia menyembunyikannya niscaya Allah mengetahuinya. Memang semula aku menyangka demikian.’
Rasulullah n menjelaskan: ‘Jibril datang menemuiku saat itu. Dia
memanggilku, maka aku pun menyembunyikannya darimu. Aku penuhi
panggilannya karena Jibril tidak mungkin masuk ke kamar ini sementara
engkau telah melepaskan pakaianmu. Dan tadi aku menyangka engkau sudah
tidur maka aku tidak ingin membangunkanmu, karena aku khawatir engkau
akan merasa sendiri dalam sepi di kegelapan malam. Jibril berkata
kepadaku saat itu: ‘Sesungguhnya Rabbmu memerintahkanmu untuk mendatangi
pekuburan Baqi’ guna memintakan ampun bagi penghuninya.’
‘Aisyah x berkata: ‘Apa yang aku ucapkan bila menziarahi mereka (penghuni kubur) wahai Rasulullah?’
Beliau mengajarkan: ‘Katakanlah:
“Salam sejahtera atas penghuni negeri ini dari kalangan mukminin dan
muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah menda-hului kami
dan orang-orang yang belakangan. Insya Allah kami akan menyusul
kalian.” (HR. Muslim no. 2253, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Yuqalu ‘inda
Dukhulil Qubur wad Du’a li Ahliha)
Hadits ini dijadikan dalil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam kitab
At-Talkhish (2/702) untuk menyatakan bolehnya ziarah kubur bagi wanita.
Demikian dzahir yang ditunjukkan oleh hadits ini, sebagaimana ia
mendukung pendapat yang menyatakan rukhshah ziarah kubur setelah
pelarangan juga mencakup wanita. Karena kisah yang disebutkan di atas
terjadi di Madinah, saat Rasulullah n telah kumpul dengan Aisyah x.
Sedangkan larangan ziarah kubur ditetapkan ketika Rasulullah n masih
tinggal di Makkah. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Kami memastikan hal
ini walaupun kami tidak mengetahui tarikh yang memperkuatnya, karena
penarikan kesimpulan yang shahih yang menjadi saksi/pendukungnya, yaitu
ucapan Rasulullah n: (Dahulu aku melarang kalian). Tidaklah bisa
dinalar larangan semisal ini ditetapkan di masa Madani (ketika beliau
telah menetap di Madinah), bukan di masa Makki (saat beliau masih
tinggal di Makkah), di mana saat beliau tinggal di Makkah mayoritas
hukum yang ditetapkan adalah yang berkaitan dengan tauhid dan aqidah.
Sementara larangan ziarah kubur termasuk pembahasan tauhid/aqidah karena
larangan dimaksudkan sebagai penutup jalan/perantara yang mengantarkan
kepada kesyirikan. Pensyariatan larangan ziarah kubur ini hanyalah cocok
diterapkan di masa Makki karena manusia ketika itu baru saja masuk
Islam dan baru saja meninggalkan kesyirikan. Sehingga Nabi n pun
melarang mereka ziarah kubur agar tidak menjadi perantara kepada syirik.
Sampai ketika tauhid telah kokoh dalam dada-dada mereka dan mereka
mengetahui jenis-jenis syirik yang berlawanan dengan tauhid, beliau n
pun mengizinkan mereka berziarah. Adapun kalau dianggap beliau
membiarkan mereka terus melakukan ziarah sepanjang masa Makki
sebagaimana kebiasaan mereka, kemudian baru beliau larang setelah di
Madinah, maka anggapan ini sangat jauh dari hikmah syariat. Karena
itulah kami memastikan bahwa larangan tersebut ditetapkan di Makkah.
Bila demikian keadaannya, izin beliau n kepada ‘Aisyah x untuk berziarah
kubur di Madinah merupakan dalil yang jelas atas apa yang telah kami
sebutkan. Maka perhatikanlah, karena ini adalah sesuatu yang membekas
dalam jiwa. Sementara aku belum pernah melihat ada orang yang mensyarah/
menjelaskan masalah ini sebagaimana sisi yang aku jelaskan. Kalau aku
benar maka itu datangnya dari Allah, adapun bila aku salah maka itu
semata dari diriku sendiri.” (Ahkamul Jana`iz wa Bida’uha, hal. 232-233)
Keenam: Persetujuan Nabi n terhadap seorang wanita yang berada di sisi kuburan, sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas z:
Nabi n melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur, maka
Nabi pun menasehati si wanita: “Bertakwalah engkau kepada Allah9 dan
bersabarlah.”
Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang
menasehatinya: “Menjauhlah dariku, karena engkau tidak ditimpa musibah
seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan –pen.)”
Dikatakanlah kepada si wanita: “Yang menasehatimu adalah Nabi n.” Wanita
itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi n dan tidak didapatkannya
penjaga pintu di sisi (pintu) Nabi n. “Aku tadi tidak mengenalmu,”
katanya menyampaikan uzur.
Nabi bersabda: “Hanyalah kesabaran itu pada goncangan yang pertama.” 10
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t berkata: “Sisi pendalilan dari
hadits ini adalah Nabi n tidak mengingkari duduknya si wanita di sisi
kuburan dan persetujuannya ini merupakan hujjah.” (Fathul Bari, 3/190)
Al-’Aini t berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya ziarah kubur secara
mutlak. Sama saja baik yang berziarah itu laki-laki atau wanita, dan
sama saja baik kubur yang diziarahi itu adalah kubur seorang muslim atau
orang kafir11, karena tidak adanya perincian dalam hal ini.”
(Al-’Umdah, 3/76)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Apa yang ditunjukkan dalam hadits
(Anas) berupa kebolehan ziarah kubur bagi wanita merupakan makna yang
langsung dipahami dari hadits tersebut. Namun penunjukan itu barulah
sempurna apabila kisah ini tidak terjadi sebelum adanya pelarangan
ziarah kubur12. Dan inilah yang nampak, apabila kita mengingat
penjelasan yang telah lewat bahwasanya larangan ziarah kubur terjadi di
Makkah. Sementara kisah yang diriwayat-kan oleh Anas bin Malik z ini,
-dan dia adalah Madani (orang Madinah), yang ketika berusia sepuluh
tahun dia dibawa oleh ibunya Ummu Sulaim x ke hadapan Nabi n saat beliau
hijrah ke Madinah-, terjadi di Madinah. Maka kuatlah penetapan yang
ada, bahwa kisah ini terjadi setelah adanya larangan ziarah kubur13.
Dengan demikian sempurnalah pendalilan dari hadits ini untuk menunjukkan
bolehnya ziarah kubur (bagi wanita). Adapun ucapan Ibnul Qayyim t dalam
kitabnya Tahdzibus Sunan (4/350): “Takwa kepada Allah14 adalah
mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang
dilarang-Nya, di antara sejumlah larangan-Nya adalah larangan ziarah
kubur (bagi wanita)15.” Maka ucapan beliau ini benar bila seandainya si
wanita mempunyai ilmu tentang dilarangnya ziarah kubur bagi wanita dan
larangan itu berlaku terus-menerus, tidak dihapus (dengan kebolehan
ziarah kubur yang datang kemudian). Bila demikian keadaannya tepatlah
ucapan beliau: “… di antara sejumlah larangan-Nya adalah larangan ziarah
kubur (bagi wanita).” Namun sebenarnya ini adalah pendalilan yang tidak
tepat. Karena, kalau larangan itu berlaku terus-menerus niscaya
Rasulullah n akan melarang si wanita dari ziarah kubur secara
terang-terangan, dan beliau akan menerangkannya kepada si wanita. Beliau
tidak akan mencukupkan dengan memerintahkannya bertakwa kepada Allah
dalam bentuk yang umum. Ini jelas sekali insya Allah.” (Ahkamul Jana`iz
wa Bida’uha, hal. 234-235)
Ibnu Hazm t menyatakan ziarah kubur itu sunnah, baik bagi laki-laki maupun bagi wanita. (Al-Muhalla, 3/388)
Wanita Dilarang Sering Ziarah Kubur
Sekalipun ziarah kubur dibolehkan bagi wanita namun tidak diperkenankan
bagi mereka untuk banyak atau sering melakukannya. Karena perbuatan
demikian akan mengantarkannya untuk melakukan perkara yang menyelisihi
syariat misalnya berteriak-teriak di kuburan, keluar dengan tabarruj,
menjadikan kuburan sebagai tempat rekreasi/piknik, menyia-nyiakan waktu
dengan obrolan yang sia-sia di sisi kubur, dan sebagainya, sebagaimana
banyak kita saksikan di negeri kita ini. Wanita yang banyak dan sering
berbolak-balik ke kuburan inilah yang dituju oleh hadits:
“Sesungguhnya Rasulullah n melaknat wanita-wanita yang banyak berziarah ke kuburan.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab
Catatan Kaki:
1 HR. Ahmad 2/337, At-Tirmidzi no. 1056, kitab Al-Jana`iz, bab Ma Ja‘a
fi Karahiyati Ziyaratil Qubur lin Nisa’, Ibnu Majah no. 1576, kitab
Al-Jana`iz, bab Ma Ja‘a fin Nahyi ‘an Ziyaratin Nisa‘ Al-Qubur.
Dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi dan
Shahih Sunan Ibni Majah, Irwa‘ul Ghalil no. 762.
2 HR. An-Nasa‘i no. 2043, kitab Al-Jana`iz, bab At-Taghlizh fit Tikhadzis Suruj ‘alal Qubur
3 Ulama yang ahli dalam mengkritik kelemahan yang ada pada hadits
4 HR. Muslim no. 2257, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzanun Nabi n Rabbahu U fi Ziyarati Qabri Ummihi
5 Minuman yang dibuat dari tamr/ kurma kering, anggur kering, madu, gandum dan selainnya (An-Nihayah, hal. 881)
6 Rasulullah n berbicara dengan ucapan yang ringkas/pendek, sedikit lafadznya namun banyak maknanya. (Fathul Bari, 13/304)
7 Dengan pergi ke tempat istri yang lain sementara malam ini adalah malam giliranmu. –pent
8 makna asalnya adalah pukulan pada sesuatu yang keras, kemudian
digunakan secara majaz pada segala yang dibenci/tidak disukai yang
terjadi dengan tiba-tiba. (Syarhu Muslim, 6/227)
9 Al-Imam Al-Qurthubi t berkata: “Yang dzahir di sini, tangisan si
wanita melebihi perkara yang dibolehkan berupa niyahah dan selainnya.
Karena itulah Nabi n memerintahkannya untuk bertakwa (kepada Allah).”
(Fathul Bari, 3/184)
10 HR. Al-Bukhari no. 1283, kitab Al-Jana`iz, bab Ziyaratul Qubur dan Muslim no. 626
11 Nabi n pernah menziarahi kubur ibunya, padahal sang ibu meninggal dalam keadaan musyrik dan kafir. Abu Hurairah z berkata:
“Nabi n menziarahi kubur ibunya, maka beliau menangis dan tangis beliau
membuat orang-orang yang ada di sekitar beliau ikut menangis. Beliau n
bersabda: ‘Aku minta izin kepada Rabbku untuk memintakan ampun bagi
ibuku namun Rabbku tidak mengizinkannya. Dan aku pun minta izin untuk
menziarahi kuburan ibuku maka untuk yang ini Rabbku mengizinkannya. Maka
ziarahilah kuburan karena ziarah kubur itu akan mengingatkan kepada
kematian.” (HR. Muslim no. 2255, kitab Al-Jana`iz, bab Isti`dzan An-Nabi
n Rabbahu U fi Ziyarati Qabri Ummihi)
12 Yakni kisah ini terjadi setelah disyariatkannya ziarah kubur.
13 Yaitu ketika ziarah kubur telah disyariatkan setelah sebelumnya dilarang.
14 Demikian yang diperintahkan Nabi n kepada si wanita yang sedang menangis di sisi kuburan.
15 Ibnul Qayyim t memaksudkan ziarah kubur itu dilarang bagi wanita.
Kategori: Majalah AsySyariah Edisi 022
http://asysyariah.com/hukum-ziarah-kubur-bagi-wanita-bagian-2.html